Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah masyarakat
majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang
terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh
sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan
sukubangsa. Dalam masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara
turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui
sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga
masyarakat sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat
majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan
kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau
jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya
(Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam
masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, Sebagaimana yang
terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai
interaksi baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal baik pada
tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan
pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi orang Sakai yang
minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau)
(Suparlan 1995).
Penekanan
dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa
telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara
pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Potensi-potensi
konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan
keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan
ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas
sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan
sistem nasional atau pemerintah pusat.
Pertanyaan
mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut adalah
karena sumber-sumber daya tersebut ada di dalam wilayah-wilayah hak ulayat
masing-masing masyarakat sukubangsa, dan bahwa Indonesia sebagai sebuah
masyarakat dan bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah
proklamasi 17 Agustus 1945 atau lebih muda dibandingkan ndengan keberadaan
masyarakat-masyarakat sukubangsa dan wilayah-wilayah hak ulayat mereka.
Sehingga pemerintahan nasional berada dalam posisi yang dipertanyakan mengenai
keabsahannya dalam turut meng-haki, atau bahkan mengambil alih dan memonopoli,
sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa.
Karena itu hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat-masyarakat
sukubangsa menjadi permasalahan yang kritikal dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara dan dalam kehidupan bermasyarakat pada tingkat nasional
dan lokal berkenaan dengan konflik kepentingan antara pemerintah nasional dan
masyarakat-masyarakat sukubangsa atas sumber-sumber daya tersebut.
Dampaknya
adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan
sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi
sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara
sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya
yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan dan
penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya
batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan
hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang
pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing.
Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan
ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut
diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan
(digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu
mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang
digolongkan sebagai asing).
Dampak
lainnya dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan untuk perebutan
sumber-sumber daya adalah bahwa ideologi kesukubangsaan ini, secara sadar atau
tidak sadar, juga melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide bahwa
orang Cina itu secara kesukubangsaan adalah asing lebih dominan dibandingkan
dengan ide dan kenyataan bahwa orang Cina itu adalah warganegara Indonesia.
Sehingga yang terjadi adalah, walaupun orang Cina itu sudah menjadi warganegara
Indonesia tetapi tetap juga didiskriminasi secara hukum dan secara sosial.
Tulisan
ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial
terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya
ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan
kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan
perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan
mengenai hakekat masyarakat majemuk dan dominannya ideologi kesukubangsaan,
kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam
interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan
berbagai dampak diskriminatifnya
Kesukubangsaan
dalam Masyarakat Majemuk
Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan orang Indonesia sukubangsa adalah sebuah ide dan sebuah kenyataan, dan kesukubangsaan adalah sebuah ideologi yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung.
Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan orang Indonesia sukubangsa adalah sebuah ide dan sebuah kenyataan, dan kesukubangsaan adalah sebuah ideologi yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung.
Kalau
kita mendefinisikan sukubangsa sebagai sebuah kategori atau golongan sosial
askriptif (Barth 1969), maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial
mengenai jatidiri yang askriptif dimana anggota sukubangsa mengaku sebagai
anggota sesuatu sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari sukubangsa
tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari sesuatu daerah tertentu. Berbeda
dari berbagai jatidiri lainnya yang diperoleh seseorang sebagai status-status
yang diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang
atau diganti, maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang
atau diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam
diri seseorang sejak kelahirannya. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan
dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang
atau dihilangkan.
Dalam
setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang
digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan
status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam hubungan
antar-sukubangsa atribut dari jatidiri sukubangsa adalah ciri-ciri fisik atau
rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan,
nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam
keluarga sesuatu sukubangsa maka sejak dilahirkannya mau tidak mau akan
terpaksa harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya
sebagaimana yang digunakan oleh orangtuanya dan keluarganya dalam merawat dan
mendidiknya sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya
tersebut.
Sadar
atau tidak sadar seseorang tersebut hidup berpedomankan pada kebudayaan
sukubangsanya, yang dalam proses-proses pembelajarannya dari masa anak-anak
sehingga dewasa dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup menurut
kebudayaan sukubangsanya yang dipunyai oleh orang tuanya tersebut. Dia harus
tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaan tersebut sebagai
pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya, dan
untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di dalamnya bagi
kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, dimana seseorang itu mempunyai
kebudayaan sukubangsanya seperti 'dipaksa' mulai sejak kelahirannya, maka
kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif.seperti kesukubangsaannya. Karena
itu kebudayaan sukubangsa, bagi anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan,
adalah sebuah pedoman bagi kehidupan yang primordial atau yang pertama
dipelajari dan diyakini kebenarannya serta yang utama di dalam kehidupan
mereka, atau sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.
Termasuk
dalam kategori pembelajaran kebudayaan sukubangsa yang diberikan oleh orang
tua, keluarga, dan komuniti sukubangsanya yang juga bercorak 'dipaksakan'
adalah pelajaran agama dari oang tua, keluarga, dan komuniti sukubangsa
tersebut. Agama sebagai teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan yang
wajib diikuti, yang sebaiknya dihindarai, dan yang wajib dihindari atau
dilarang untuk dilakukan menjadi operasional dalam kehidupan manusia melalui
dan ada dalam kebudayaan manusia dan pranata-pranata sosial masyarakatnya.
Dengan kata lain, petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan dipahami
dengan menggunakan acuan kebudayaannya, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan
yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah ada, atau sebaliknya yaitu
sebagian atau sebagian besar nilai-nilai budaya yang sudah ada itu disesuaikan
dengan nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya. Agama sebagai teks
suci yang berisikan nilai-nilai sakral biasanya menggantikan sebagian atau
seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan keutuhan
dari sesuatu kebudayaan sukubangsa. Dalam keadaan demikian nilai-nilai budaya
yang ada dalam sesuatu masyarakat sukubangsa menjadi diperkuat posisi dan daya
paksanya untuk terwujudnya keteraturan kehidupan yang adil dan beradab di dalam
kegiatan sehari-hari karena dimuati oleh berbagai sanksi sakral yang ada dalam
agama yang diyakini. Bagi setiap anggota sukubangsa, nilai-nilai budaya yang
sakral atau nilai-nilai keagamaan yang ada dalam keyakinan keagaman mereka
adalah sesuatu yang primordial. Coraknya sama dengan corak primordial dari
kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa.
Dalam
masyarakat Indonesia sukubangsa dan kesukubangsaan adalah sebuah ide dan sebuah
kenyataan yang ada dalam kehidupajn sehari-hari, dimana anggota-anggota
masyarakatnya dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suasana askriptif
primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana askriptif kesukubangsaan tersebut
pembedaan antara siapa 'saya' dan siapa 'dia/kamu' dan antara siapa 'kami' dan
siapa 'mereka' jelas batas-batasnya, dan selalu diulang dan dipertegas, yaitu
batas-batas kesukubangsaan. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaaan ini
stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu
hubungan antar-sukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah
pengertian di dalam komunikasi antar-sukubangsa, yang menyebabkan semakin
lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas atau pagar-pagar yang membatasi
hubungan antara dua sukubangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut dari stereotip
dan prasangka ini adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak
dan kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah
dan non-pribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politk, dan ekonomi.
Apa yang dikemukakan oleh Thung Yu Lan (1999b) mungmin dapat dilihat sebagai
sebuah contoh tentang konflik antara pribumi setempat dengan orang Cina yang tidak
pernah dapat dituntaskan.
Corak
yang penuh dengan stereotip dan prsasangka terhadap yang minoritas dan
non-pribumi juga nampak dalam berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional.
Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau penguasa
dalam sistem nasional berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di
Indonesia yang telah secara sadar atau tidak sadar mengaktifkan kesukubangsaan
mereka masing-masing dalam berbagai kebijaksanaan dan keputusan-keputusan
sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan-kepentingan mereka pada tingkat
nasional maupun lokal. Sehingga seringkali ideologi sukubangsa dari si pejabat
atau penguasa tersebut terwujud dalam berbagai kebijaksanaan sosial, ekonomi,
dan politik yang dibuatnya, baik secara sadar maupun secara intiuitif yang
primordial untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari
masyarakat sukubangsanya atau kelompok agamanya.
Dengan
kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia yang berdasarkan atas kebangsaan
tetapi yang majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif dan primordial
secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun yang yang
dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota dari salah satu
sukubangsa yang ada di Indonesia dan yang digolongkan sebagai pribumi. Karena
itu tidaklah mengherankan bahwa program asimilasi atau pembauran yang dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru menjadi gagal berantakan (Thung Yu Lan 1999a).
Karena walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau
Batak, dsbnya., tetapi tetap saja orang-orang Cina ini digolongkan sebagai
orang Cina dan bukan sebagai orang Indonesia yang pribumi. Begitu juga dalam
kasus orang Cina yang telah berganti agama menjadi Islam, tetap saja
digolongkan sebagai orang Cina, dan bahkan ke-Islamannya dicurigai oleh
sebagian orang sebagai hanya sebuah strategi untuk dapat berbisnis secara lebih
leluasa dan menguntungkan di bawah label orang Islam. Disamping kenyataan
seperti tersebut diatas berkenaan dengan kegagalan program pembauran, konsep
pembauran itu sendiri juga tidak jelas. Orang Cina mau dibaurkan atau
diasimnilasisakan ke dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa?
Apakah yang namanya pembauran itu asal ganti nama atau ganti agama? Dalam
kenyataannya, yang kontradiktif dengan program asimilasi atau pembauran yang
disponsori oleh pemerintah Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri sampai
dengan beberapa waktu yang lalu masih mendiskriminasi secara hukum orang-orang
Cina yang warganegara Indonesia atau WNI, yaitu dengan cara diberi kode khusus
di KTP berdasarkan identifikasi ke Cinaan tersebut. Ada dugaan bahwa
berdasarkan kode tersebut pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai
tindakan diskriminatif dan pemerasan. Begitu juga sampai dengan sekarang masih
terdapat ketentuan hukum yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orang tuanya
adalah warga negara Indonesia, harus secara aktif memohon kewarganegaraan
Indonesia kepada pemerintah. Atau kalau hal itu tidak dilakuknnya maka si anak
Cina tersebut digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak
berkewarganegaraan.
Kesukubangsaan
Sebagai Kekuatan Sosial
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu kenbijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu kenbijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
Dari
satu segi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan keyakinan
keagamaan. Karena keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai sebuah
solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan. Kedua-duanya
mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antar-sukubangsa
atau antar-keyakinan keagamaan. Tetapi dari segi lain, kesukubangsaan dan
keyakinan keagamaan tidaklah sama. Karena kesukubangsaan mempunyai efektivitas
kekuatan sosial dalam batas-batas sesama anggota sukubangsa, sedangkan
keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah
satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam sesuatu masyarakat sukubangsa, atau di
luar batas-batas sesuatu masyarakat sukubangsa. Karena itu, di satu sisi,
keyakinan keagamaan dapat memperkuat atau memperlemah kekuatan sosial dari
kesukubangsaan, sedangkan di sisi lain kesukubangsaan dapat tunduk dan berada
di bawah bayang-bayang kekuatan keyakinan keagamaan.
Sebagai
kekuatan sosial, kesukubangsaan beroperasi dalam batas-batas wilayah sukubangsa
tempat anggota-anggota sukubangsa itu hidup. Sedangkan keyakinan keagamaan
sebagai kekuatan sosial beroperasi dalam batas-batas wilayah para penganut
agama yang bersangkutan, yaitu dalam sebagian dari wilayah kehidupan
sukubangsa, atau keseluruhan wilayah kehidupan sukubangsa, atau dalam sebuah
wilayah yang mencakup dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa yang berbeda.
Karena itu kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat atau
memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan masing-masing, dalam hubungan
antar-sukubangsa ataupun dalam hubungan antar keyakinan keagamaan.
Bruner
(1974) pada waktu membahas teorinya mengenai 'hipotesa kebudayaan dominan'
sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial
politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan kesukubangsaan yang dapat
dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dari sebuah
masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk menentukan macam mata
pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain. Bila
pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa dapat terwujud, seperti
dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).
Di
masa lampau hanya di kota-kota besar terdapat kehidupan masyarakat yang
kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi pada masa sekarang hampir seluruh
wilayah Indonesia secara sukubangsa adalah heterogen, dimana anggota-anggota
sukubangsa dari berbagai sukubangsa dan daerah yang berbeda-beda telah secara
berdampingan hidup dalam komuniti-komuniti dari kelompok-kelompok sukubangsa
setempat. Sehingga hubungan antar-sukubangsa menjadi lebih intensif daripada di
masa lampau, dan hal ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan berkenaan
dengan pengakomodasian perbedaan-perbedaan budaya antara pendatang dengan
penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti
setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan lebih agresif. Permasalahan
hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah
kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Tingkat agresifitas secara
ekonomi dari para pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam
persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang ada setempat. Karena,
masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta pemilik atas
sumber-sumber daya alam yang ada di dalam wilayah hak ulayat mereka sedangkan
para pendatang dilihat sebagai tamu mereka.
Komuniti
dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan menekankan
penggunaaan prinsip "dimana bumi dipijak langit dijunjung" sebagai
acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Secara langsung atau
tidak langsung komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para
pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi dan
penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada setempat serta pendistribusiannya.
Dalam keadaan dimana prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang
anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya kepada
polisi setempat. Tetapi dalam keadaan dimana pelanggaran yang dilakukan oleh
pendatang telah melampaui kelaziman hubungan 'tamu' dengan 'tuan rumah' nya, anggota-anggota
komuniti dan masyarakat setempat mengaktifkan dan menggunakan kesukubangsaan
untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan perang, seperti yang
telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.
Orang
Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus berdatangan
hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu
dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang
ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa
lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa
setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orang-orang Cina dengan
perempuan pribumi setempat telah memungkinkann berubahnya status 'tamu' menjadi
kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status
ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi orang sendiri yang
dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan keturunan mereka itu juga
mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.
Diantara
orang-orang Cina yang hidup di Indonesia yang secara relatif terbebas dari
posisinya sebagai tamu adalah komuniti orang Cina di Singkawang. Orang Cina
yang sekarang hidup di Singkawang adalah keturunan dari nenek moyangnya yang
telah datang ke tempat ini dan sekitarnya karena tertarik pada adanya emas di
Monterado dan Mandor. Mereka telah datang dan menetap di Singkawang sebelum
adanya orang Melayu atau Dayak yang menetap di daerah tersebut. Di masa lampau
mereka ini merupakan komuniti-komuniti yang masing-masing berdiri sendiri
berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah di Cina, yang menjalin hubungan
diantara sesama komuniti tersebut, disamping menjalin hubungan baik dengan
kesultanan Sambas dan dengan masyarakat Dayak yang ada di sekeliling
Singkawang. Pada masa sekarang, mereka ini diperlakukan oleh pemerintah
Indonesia sebagai warga negara Indonesia keturunan asing, dan bersamaan dengan
itu berbagai peraturan mengenai kewarganegaraan tersebut diberlakukan terhadap
mereka, sama dengan yang dibelakukan terhadap orang-orang Cina di Indonesia.
Kalau di masa lampau posisi mereka di Singkawang seperti pribumi, maka posisi
mereka sekarang ini adalah seperti orang asing yang menjadi tamu di wilayah
orang Melayu dan Dayak.
Pribumi
dan Non-Pribumi Posisi Orang Cina
Konsep asli yang dibedakan dari non-asli dan pribumi lawan dari non-pribumi merupakan konsep-konsep penting dari kesukubangsaan yang ada dalam kehidupan masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan mengacu pada konsep-konsep ini, berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan dan dimantapkan, dan di dalam keteraturan sosial tersebut tercakup hubungan antara mereka yang dominan dan yang minoritas. Dalam hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat berbagai bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas.
Konsep asli yang dibedakan dari non-asli dan pribumi lawan dari non-pribumi merupakan konsep-konsep penting dari kesukubangsaan yang ada dalam kehidupan masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan mengacu pada konsep-konsep ini, berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan dan dimantapkan, dan di dalam keteraturan sosial tersebut tercakup hubungan antara mereka yang dominan dan yang minoritas. Dalam hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat berbagai bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas.
Di
masa lampau, para pendatang di sebuah masyarakat sukubangsa pada umumnya
cenderung hidup dan menetap di daerah perkotaan. Karena di daerah perkotaan
itulah mereka dapat menyesuaikan kehidupan mereka secara lebih baik dengan cara
hidup sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti yang dilakukan oleh orang
Cina dan Arab dalam sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara, yang tidak
perlu harus berurusan dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan dengan
pengolahan dan pemilikan atas tanah atau hutan yang menjadi hak prerogatif dari
masyarakat sukubangsa setempat. Diantara orang Cina di Indonesia ada yang
datang dan menetap di daerah pedesaan atau perkebunan milik orang-orang Belanda
di jaman penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di Depok, Tangerang, atau
daerah lainnya. Sebagian besar dari mereka ini telah melebur atau terasimilasi
menjadi orang setempat, karena meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan Cinanya
(berganti menjadi beragama Islam, saling kawin dan beranak pinak dengan anggota
masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri sukubangsa setempat dan
kebudayaannya). Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan kesukubangsaan
Cinanya, karena tetap mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu yang
menekankan pentingnya hubungan ritual dengan leluhur, penggunaan kebudayaan dan
terutama bahasa asalnya di Cina di dalam keluarga dan di dalam kehidupan mereka
sehari-hari, dan hidup dalam lingkungan komuniti mereka sendiri yang menjadi
pendorong dan pen-stimuli dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal
Cina mereka yang askriptif dan primordial. Mereka ini di Jakarta dikenal dengan
nama Cina Benteng. Di daerah perkotaan di pulau Jawa mereka cenderung
mengelompok dalam komuniti mereka sendiri. Wilayah komuniti ini dikenal dengan
nama Pecinan, yang biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal tetapi juga
menjadi tempat bisnis grosir dan berbagai kegiatan perdagangan eceran serta
pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata pencahariann spesialisasi mereka.
Di
zaman pemerintahan Hindia Belanda orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara
hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing dengan implikasi bahwa hukum yang
diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda atau hukum adat dari Pribumi.
Dampaknya adalah bahwa mereka itu tidak tergolong sebagai Belanda dan tidak
tergolong pula sebagai pribumi. Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka
mempunyai hak untuk mengajukan diri menjadi warganegara Belanda, sehingga hukum
yang diberlakukan kepada mereka adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap
orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Sebagian dari mereka yang berhasil
dalam bisnis, yang dapat membiayai sekolah anak-anak mereka di sekolah Belanda,
menghasilkan generasi orang Cina yang berpendidikan Barat dan yang cenderung
menjadi Kristen. Sebagian dari mereka inilah yang kemudian memanfaatkan
kesempatan untuk menjadi warganegara Belanda.
Di
Kalimantan Barat, terutama di kota Pontianak dan Singkawang serta di
daerah-daerah sekitarnya terdapat komuniti-komuniti orang Cina. Mereka yang di
daerah perkotaan terutama hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan
buruh, sedangkan yang hidup di daerah pedesaan dari bertani, menangkap ikan,
disamping menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam
komuniti-komuniti asal daerah mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan
bahasa asal mereka, disamping mengadaptasi diri dengan kebudayaan Melayu
setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu dan pemujaan
ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde Baru mereka itu
menyembunyikan keyakinan keagamaan ini di bawah label agama Budha.
Orang-orang
Cina di Indonesia menikmati masa-masa yang relatif tenang sampai dengan tahun
1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk
membedakan antara yang warga negara Indonesia dan warganegara asing, dan antara
yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke negeri
leluhurnya RRC. Secara sosial tidak jelas adanya diskriminasi terhadap Cina
sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi.
Pada
waktu terjadinya peristiwa G 30S/PKI dimana orang-orang Cina dituduh terlibat
didalam kup tersebut, karena keterlibatan organisasi Baperki dengan PKI, maka
banyak orang Cina yang ditangkap oleh militer, sebagian lainnya dibunuh oleh
massa, dan sebagian lainnya hilang atau melarikan diri ke luar Indonesia.
Sebagian dari orang-orang Cina di Kalimantan Barat adalah pendukung presiden
Sukarno, yang dituduh sebagtai G 30S/PKI. Mereka melakukan perlawanan terhadap
upaya penangkapan atas diri mereka oleh militer, dan membentuk pasukan-pasukan
perlawanan di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Pada tahun 1968 perlawanan
mereka dapat ditumpas oleh militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang
mengaktifkan tradisi 'mangkok merah yang telah dilarang di zaman penjajahan
Belanda. Saya mencatat dari seorang informan orang Dayak mengenai digunakannya
kembali kekuatan kamang tariu yang menggunakan mangkok merah untuk
solidaritas sosial diantara orang Dayak untuk menghancurkan dan mengalahkan
musuh (Suparlan 2000a).
Dalam
zaman Orde Baru ini pemerintah memberlakukan berbagai peraturan sebagai cara
untuk mengontrol orang-orang Cina di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut
dapat dilihat sebagai sebuah diskriminasi secara hukum terhadap orang Cina
karena mereka itu dianggap asing dan kesetiaan mereka terhadap negara dan
bangsa Indonesia diragukan oleh pemerintah. Secara sosial, tindakan-tindakan
yang diskriminatif secara hukum itu diikuti oleh anggota-anggota masyarakat yang
pribumi yang berkepentingan untuk menguasai atau mengambil alih kekuasaan
orang-orang Cina dalam bidang bisnis dan perdagangan. Dampak dari
tindakan-tindakan diskriminatif tersebut adalah pemalakan, pemerasan, dan
bahkan pembakaran dan penghancuran rumah dan pertokoan mereka, tanpa
orang-orang Cina ini dapat memperoleh perlindungan sewajarnya secara hukum dan
keamanan. Sebagai golongan minoritas mereka ini menjadi kambing hitam atas
berbagai kekacauan ekonomi nasional Indonesia, dan dalam kehidupan masyarakat-masyarakat
pada tingkat lokal. Puncak dari kemarahan masyarakat Jakarta atas kebobrokan
ekonomi Indonesia terhadap orang Cina, si kambing hitam, adalah pada tgl. 13-14
Mei 1998 (lihat Suparlan 2000b). Tidak dapat disangkal bahwa dalam peristiwa ini
terlibat berbagai pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti untuk itu tidak
cukup untuk mengungkapkannya.
Kalau
kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi antara
kebijaksanaan diskriminasi dan yang dilakukaan oleh presiden Suharto dan
pajabat-pejabat sipil ABRI terhadap orang Cina (lihat: Nuranto 1999, Wibowo
1999). . Karena presiden Suharto dan penguasa Orde Baru telah menggunakan
orang-orang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka.
Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan
dan fasilitas yang telah menyebabkan mereka ini secara mencolok menjadi
konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka punyai dalam
pemerintahan Orde Baru. Mereka itu adalah individu-individu dan bukannya
kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang
mereka lihat bukanlah kemunculan individu-individu konglomerat Cina pada
tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di
daerah-daerah dalam struktur Orde Baru, tetapi kemunculan orang Cina sebagai
sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kong kali kong
dengan para pejabat Orde Baaru. Sehingga yang disimpulkan oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya adalah bahwa orang-orang Cina sebagai kategori adalah
konglomerat, dan bahwa kekayaan mereka yang berlimpah tersebut adalah hasil
dari korupsi dan pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang mereka dorong untuk
dilakukan dan mereka nikmati, dan dengan cara memonopoli pengeksploitasian
sumber-sumber daya alam dan ekonomi yang ada di wilayah Indonesia.
Kambing
hitam memang ciri-ciri kategorikal, bukan ciri-ciri individual atau perorangan.
Sehingga semua orang yang bercirikan Cina, dengan segala atribut ke- Cinaanya
digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat dan jahat. Karena itu mereka
ini harus dihancurkan supaya kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik.
Secara sadar atau tidak sadar orang-orang Indonesia telah menggolongkan
orang-orang Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa, yaitu sebuah golongan
sosial yang askriptif berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui secara sosial,
berdasarkan atas sejumlah atribut yang menjadi ciri-cirinya, dalam kasus
pengkambing hitaman terhadap mereka seperti tersebut diatas.
Sebagai
sebuah sukubangsa, orang Cina dilihat sebagai mempunyai ciri-ciri fisik tubuh
yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi, terkecuali di Minahasa atau di
beberapa tempat di Kalimantan, dan di Sulawesi Tengah. Secara kebudayaan dan
bahasa lisan dan tertulis, kebudayaan dan ungkapan-ungkapannya, nilai-nilai
budaya, dan keyakinan keagamaan yang menjadi atribut bagi ciri-ciri ke Cinaan
mereka juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa 'pribumi'. Dengan mudah mereka
dilihat sebagai orang 'asing' dan diperlakukan sebagai 'asing' dalam kehidupan
masyarakat sukubangsa setempat dengan mengacu pada diskriminasi secara hukum
yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan kehidupan mereka yang terpusat
pada perdagangan, industri, dan berbagai pelayanan jasa yang anggota-anggota
masyarakat sukubangsa setempat kurang atau tidak menggelutinya, telah membuat
mereka itu menjadi sebuah sukubangsa nampak berbeda dan dengan mudah
diidentifikasi sebagai golongan sukubangsa yang berbeda.
Sebaliknya,
orang Cina juga menciptakan batas-batas sukubangsa yang dilakukannya diantara
mereka yang berasal dari golongan sukubangsa atau asal daerah yang berbeda di
Cina, dan yang berbeda secara strata sosial karena perbedaan kemampuan ekonomi.
Dan, menciptakan serta memantapkan batas-batas sukubangsa dengan masyarakat
sukubangsa setempat dimana mereka itu hidup. Jarak sosial dan budaya dengan
masyarakat sukubangsa setempat ini lebih dipertegas pada waktu keyakinan
keagamaan mereka yang memperbolehkan memakan daging babi dipertentangkan dengan
keyakinan Islam dari masyarakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi
batas-batas sukubangsa antara orang Cina dengan orang dari sukubangsa setempat,
terkecuali yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama, tetapi hubungan
simbiotik secara indvidual dan kelompok antara orang Cina dengan
anggota-anggota masyarakat setempat telah terjadi selama adanya orang Cina di
masyarakat setempat. Yaitu hubungan simbiotik dalam kehidupan ekonomi atau
pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948). Hubungan simbiotik seperti ini
sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh adanya hubungan-hubungan sosial dan
budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang ada dalam
masyarakat setempat.
Kerapuhan
ini, diperkuat oleh pandangan kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat orang
Cina sebagai satuan sukubangsa pendatang atau orang asing walaupun mereka itu
telah menjadi warganegara Indonesia. Pandangan kesukubangsaan ini diwujudkan
dalam bentuk perundangan yang diskrimitif berkenaan dengan status mereka yang
warganegara, yaitu seorang anak Cina dari orang tua yang warganegara Indonesia
masih harus secara aktif memohon pemebrian kewarganegaran Indonesia kepada
pemerintah. Sedangkan anak dari orang Arab atau sukubangsa lainnya tidak
diharuskan melakukan hal itu.
Posisi
orang Cina yang digolongkan sebagai asing dan didiskriminasi seperti tersebut
diatas, pada masyarakat-masyarakat lokal sebenarnya tidak separah diskriminasi
yang dilakukan secara hukum oleh pemerintah Karena, melalui hubungan simbiotik
seperti tersebut diatas, kategori Cina dikenal dan disahkan keberadaannya di
dalam dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang bersangkutan.
Selama bergenerasi dikenal nama orang Cina atau Cine dalam kehidupan orang
Jakarta, orang Cino dalam kehidupan orang Melayu Riau, orang Cine menurut orang
Melayu Kalimantan Barat, wong Cino menurut kata orang Jawa. Bahkan pada orang
Jawa sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), dalam bahasa Jawa halus
atau bahasa penghormatan, juga diberlakukan bagi orang Cina yang berpenampilan
sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter dsb.
Apa
yang menarik untuk diperhatikan adalah gejala kemunculan konsep Tionghoa yang
sekarang diaktifkan untuk digunakan oleh orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh
Cina, terutama di Jakarta. Mereka dengan tegas menolak disebut orang Cina, dan
bersamaan dengan itu menuntut untuk dipanggil dengan sebutan orang Tionghoa
atau Chinese (dari bahasa asing yang artinya juga orang Cina). Saya
tanyakan mengapa mereka tidak mau disebut orang Cina, padahal dari dulunya mereka
itu juga disebut orang Cina. Jawabannya adalah kata Cina adalah kata
penghinaan, karena mereka itu sering disebut atau diteriaki "Cina,
lu". Lalu mengapa mereka itu ingin disebut sebagai orang Tionghoa?
Jawabannya adalah karena kata Tionghoa berarti orang dari Kerajaan tengah atau
Pusat Kerajaan di Cina, atau dengan kata-kata lain mereka ini minta
diperlakukan sebagai orang kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan
hidup di Indonesia. Jadi, mereka ini orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat-masyarakat lokal. Ciri keasingan mereka itu
juga ditegaskan kembali dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese.
Sebutan yang biasanya ditujukan kepada orang Cina yang berasal dari luar
Indonesia atau orang asing.
Sebagai
catatan penutup patut dicatat bahwa oranmg-orang Cina di Indonesia, yang warga
negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik secara hukum
maupun secara sosial dan budaya sama dengan perlakuan yang diterima oleh setiap
orang Indonesia dari sukubangsa manapun, tanpa ada diskriminasi walaupun mereka
ini keturunan asing yang bukan pribumi Indcnesia.
Tetapi
di lain pihak, mereka ini tidak mau disederajatkan secara sosial dan budaya
dengan sukubangsa-sukubangsa yang hidup di Indonesia. Mereka menuntut
diperlakukan sebagai sebagai orang asing yang terhormat dan dalam jenjang yang
lebih tinggi daripada orang-orang Indonesia lainnya, yaitu minta diperlakukan
sebagai orang dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokoh-tokoh dan cendekiawan
Cina memikirkan sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut sebagai orang Tionghoa
atau orang Chinese bila mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang
asing dan tidak ingin didiskriminasi. Ada baiknya jika mereka belajar dari
pengalaman orang-orang Cina di Amerika (Suparlan 2002), yaitu bagaimana mereka
itu dari kategori orang Cina di Amerika yang didiskriminasi secara hukum dan
sosial bisa menjadi orang Cina Amerika yang semula secara sosial didiskriminasi
tetapi secara bertahap menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang sama hak dan
kewajibannya dengan setiap orang Amerika lainnya. Jadi bukan mengaktifkan dan
menunjukkan diri sebagai orang Tionghoa atau Chinese yang orang asing,
yang hanya akan mengasingkan dan mendiskriminasikan mereka secara hukum dan secara
sosial sebagai orang asing.
Masyarakat
Indonesia yang majemuk, yang penekanannya pada pentingnya kesukubangsaan, akan
selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing walupun orang Cina
tersebut berstatus sebagai WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan politik
dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka itu bagian dari
masyarakat Indonesia dan yang menunjukkan bahwa mereka itu orang Indonesia
adalah yang utama. Masalah ini menuntut dilakukannya kajian-kajian secara mendalam
baik oleh para cendekiawan dan tokoh-tokoh Cina di Indonesia maupun oleh
ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal itu.
Secara
hipotetis mengingat corak masyarakat Indonesia yang menekankan kesukubangsaan
dan afiniti mungkin dua isyu dapat didiskusikan, yaitu: apakah orang Cina di
Indonesia harus diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau orang Cina di
Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat dimana
mereka itu telah dan sedang hidup di dalam masyarakatnya.
Daftar
Kepustakaan
Bruner, Edward M., 1974, "The Expression of Ethnicity in Indonesia". Dalam Abner Cohen (ed), Urban Ethnicity. Hal. 251-288. London: Tavistock.
Bruner, Edward M., 1974, "The Expression of Ethnicity in Indonesia". Dalam Abner Cohen (ed), Urban Ethnicity. Hal. 251-288. London: Tavistock.
Furnivall,
J.S., 1944, Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nuranto,
N., 1999, "Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru."
Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal.
50-74 Jakarta: Gramedia.
Suparlan,
Parsudi, 1979, "Ethnic Groups of Indonesia", The Indonesian
Quarterly, Vol. 7, No.2, hal. 55-75.
_______
, 1995, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Tearsing Dalam Masyarakat
Indonesia yang Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR.
_______
, 1999a, "Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa". Dalam,
I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal.
149-173. Jakarta: Gramedia.
_______
, 1999b, "Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan
Kesukubangsaan". Jurnal Antropologi Indonesia, Vol.23, No.58,
hal.13-20.
_______
, 2000a, "Kerusuhan Sambas". Jurnal Polisi Indonesia, No.2,
hal. 71-85.
_______
, 2000b, "Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia". Dalam,
Michael Leigh (ed), Proceedings of the Sixth Bienneal Borneo Reserach
Conference.
Hal. 97-128. Kucing, Sarawak:
Institute of East Asian Studies, University of Malaysia.
_______
, 2001a, "Kerusuhan Ambon". Jurnal Polisi Indonesia. No.3,
hal. 1-30.
_______
, 2001, Indonesia, Kesukubangsaan, dan Posisi Orang Cina. Makalah.
_______
, 2002, Orang Cina Amerika. Makalah untuk Seminar Orang
Cina
di Amerika. Kajian Wilayah Amerika, U.I., 6 Juni 2002.
Taher,
Tarmizi, 1997, Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa
Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
Thung
Ju Lan, 1999a, "Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di
Indonesia". Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi
Masalah Cina. Hal. 3-23. Jakarta: Gramedia.
_____
, 1999b, "Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam".
Jurnal
Antropologi Indonesia, Vol. 23,
No. 58, hal. 21-35.
Wibowo,
I., 1999, "Pendahuluan". Dalam I.Wibowo (editor), Retrospeksi
dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal.. ix-xxxi, Jakarta: Gramedia
No comments:
Post a Comment