BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fenomena globalisasi merupakan
dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh terhadap perkembangan
proses perubahan peradaban manusia. Globalisasi juga membawa dampak pada semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Selain itu, globalisasi memungkinkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang berdampak luas
terhadap eksistensi dan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari
aspek internal, kondisi objektif bangsa Indonesia sejak diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945 merupakan negara dengan bangsa yang dibangun di atas
keragaman dan perbedaan, yaitu perbedaan suku, agama, ras, etnis, budaya, bahasa dan lain-lain. Keragaman dan perdedaan
tersebut apabila dikelola dengan
baik, maka keragaman itu akan
menimbulkan keindahan dan harmoni dalam berbangsa dan bernegara, tetapi apabila keragaman dan perbedaan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik maka akan berpotensi menimbulkan perselisihan
dan sengketa yang dapat menyebabkan perpecahan atau bahkan
disintegrasi bangsa Indonesia. Bila ditinjau dari
aspek eksternal, globalisasi menyebabkan pertemuan antar budaya (cultur encounter) bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk bagi
bangsa Indonesia. Sehingga, globalisasi tersebut berdampak pada terjadinya perubahan sosial
(social change) secara besar-besaran pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan
sosial yang terjadi tersebut belum
tentu “kongruen” dengan kemajuan sosial (social progress) suatu
bangsa. Sehingga
bangsa Indonesia juga harus memiliki antisipasi untuk mengatasi dampak dari
perubahan sosial yang tidak kongruen dengan bangsa Indonesia yang disebabkan
oleh globalisasi yaitu dengan berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila.
Pancasila sebagai sebuah ideologi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia, semestinya
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi landasan nilai dan
prinsip yang terus mengalir bagi setiap generasi. Namun dalam perjalanannya,
pembangunan karakter bangsa Indonesia yang telah dilaksanakan sejak lama sering
mengalami hambatan-hambatan dengan adanya sejumlah kasus yang melibatkan
kehidupan antar umat beragama sekaligus masih banyaknya kekerasan atas nama
golongan dan kelompok tertentu di Indonesia. Terlepas
dari masalah tersebut, penulis melihat bahwa pancasila masih memiliki relavansi
dan kesaktian sebagai landasan pembangunan karakter bangsa Indonesia untuk
menjadikan Indonesia sebagai bangsa mandiri di era globalisasi.
Penulis menggunakan globalisasi
sebagai acuan untuk mengkaji pembangunan karakter bangsa terutama bagi generasi
muda Indonesia menuju pada kemandirian bangsa dengan berlandaskan pada
pancasila untuk menghadapi derasnya arus globalisasi. Dalam proses membangun karakter suatu bangsa, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan
adalah pendidikan baik itu secara formal maupun non formal sehingga pengaruh
negatif dari globalisasi dapat dikurangi terutama bagi generasi muda sebagai generasi penerus
bangsa yang menentukan masa depan. Generasi muda sekaligus sebagai generasi
yang paling rentan terkena dampak negatif
dari globalisasi sehingga peran pendidikan karakter bangsa serta pembangunan
karakter bangsa dengan berlandaskan pancasila menjadi suatu hal yang sangat
penting untuk menjadikan bangsa Indonesia mandiri di era globalisasi.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan penulis bahas dalam makala ini adalah:
Bagaimanakah membangun karakter bangsa Indonesia menuju bangsa yang mandiri di era
globalisasi dengan berlandaskan pada pancasila?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembinaan Karakter Bangsa
Setiap bangsa yang
melaksanakan pembangunan selalu menginginkan perubahan yang mengarah pada
kemajuan bangsanya. Dan keberhasilan pembangunan tersebut tidak akan terlaksana
tanpa adanya semangat juang dari seluruh komponen bangsa untuk maju
bersama-sama. Seperti misalnya semangat perubahan Cina dan India yang dapat
sukses membangun negaranya berdasarkan pada pembangunan nasional yang kuat.
Cina dengan reformasi ekonomi gaya Deng Xiaoping, India dengan perpaduan serasi
antara agama dengan kasta serta meritrokasi. Semangat juang tersebut seharusnya
ditiru oleh bangsa Indonesia dengan pembangun karakter bangsa yang
berdasarkan pada Pancasila.
Pembangunan karakter suatu
bangsa tidak cukup dalam esensi pembangunan fisik saja tetapi dibutuhkan suatu
orientasi yang lebih kuat yaitu suatu landasan dasar atau pondasi pembangunan
karakter bangsa tersebut. Sehingga esensi fisik dari pembangunan berawal pada
internalisasi nilai-nilai untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau
sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai
oleh semangat peningkatan tata nilai sosio-kemasyarakatan dan budaya. Dalam hal
ini Indonesia memiliki landasan pancasila sebagai dasar untuk melakukan
pembangunan karakter bangsa Indonesia.
Ketika
suatu bangsa mulai membangun, maka yang pertama kali menjadi korban adalah
kelembagaan keluarga berikut seluruh tatanan nilai kekeluargaan yang ada di
dalamnya.
Maksud dari penyataan diatas adalah pembangunan yang
dilakukan oleh suatu bangsa seringkali membutuhkan pengorbanan yang sangat
besar termasuk mengorbankan keluarga atau bahkan kebersamaan dalam keluarga.
Bukti nyata yang dapat kita lihat terutama berada di negara - negara industri
maju, dimana fenomena hilangnya kohesivitas keluarga terlihat sangat jelas
sejalan dengan semakin meningkatnya modernisasi di negara-negara maju tersebut.
Pembangunan yang baik tentu tidak harus mengorbankan
keluarga atau bahkan bangsanya sendiri. Sehingga dalam melaksanakan pembangunan
dan pembinaan karakter suatu bangsa dibutuhkan pemahaman yang lebih baik,
khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu
instrumen dalam pembinaan karakter bangsanya agar menjadi lebih baik pula
dengan berlandaskan pada suatu nilai.
Aspek lain yang tidak kalah penting untuk diperhitungkan
dalam melakukan pembinaan karakter bangsa adalah pengaruh dari kemajuan
kapasitas berpikir manusia itu sendiri yang pada umumnya diartikulasikan dalam bentuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu teknologi informasi dan
telekomunikasi. Kedua jenis teknologi tersebut secara radikal telah
mengakselerasi proses interaksi antar manusia dari berbagai bangsa dan
memberikan dampak adanya amalgamasi berbagai kepentingan lintas bangsa
(globalisasi). Dan salah satu unsur yang ada dalam proses amalgamasi
kepentingan antar manusia adalah daya saing atau competitiveness.
Pentingnya kemampuan daya saing bagi suatu bangsa untuk dapat menjadi bangsa
yang mandiri di era globalisasi tersebut sehingga dibutuhkan suatu pembinaan
karakter bangsa termasuk juga bagi bangsa Indonesia.
Menurut Michael Porter (1999), dalam bukunya Daya Saing
sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation), pemahaman daya saing
sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan dengan
entitas lainnya. Keunggulan yang dimaksud dapat berkembang ke berbagai
pengertian maupun penerapan. Keunggulan tersebut dapat diartikan sebagai
keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain.
Sedangkan, daya saing pada esensinya dapat diartikan sebagai sebuah rantai dari
suatu nilai proses yang dapat dikendalikan dengan proses pembelajaran kontinyu
atau continuous learning. Sehingga, arti dan makna pembinaan karakter
bangsa di era globalisasi yang sarat dengan daya saing adalah menyangkut tiga
hal pokok yaitu:
1. Artikulasi karakter bangsa adalah mengacu pada tingkat
peningkatan kapasitas pengetahuan dari bangsa tersebut untuk terus melakukan
pembelajaran agar semakin meningkat daya saingnya di era globalisasi.
2. Pembinaan karakter bangsa akan diarahkan agar kapasitas
pengetahuan yang terbangun dapat meningkatkan daya saing suatu bangsa, dengan
kondisi dimana daya saing tersebut akan memungkinkan adanya kemajuan kolektif
atau kemajuan bersama bagi bangsa Indonesia.
3. Pemaknaan dari karakter positif bangsa seharusnya diarahkan
untuk mencapai dua hal pokok di atas.
Sebenarnya bangsa Indonesia telah memiliki karakter positif
bangsa yang seharusnya terus ditumbuh-kembangkan untuk menjadi bangsa yang
mandiri di era globalisasi ini. Karakter positif yang telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia tersebut antara lain adalah karakter pejuang yang juga telah
diakui oleh masyarakat internasional karena Indonesia mendaparkan kemerdekaannya
melalui perjuangan tumpah darah bangsa Indonesia. selain itu, bangsa Indonesia
juga memiliki karakter pemberani dan sejumlah karakter positif lainnya yang
harus ditumbuh-kembangkan sebagai bekal untuk menjadikan bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang kuat dan mandiri di era globalisasi. Seluruh karakter
positif yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia tersebut harus dimaknai dalam
konteks peningkatan daya saing untuk menghadapi globalisasi. Sehingga pembinaan
karakter positif bangsa dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing bangsa
Indonesia dalam era globalisasi.
Namun disisi lain, bangsa Indonesia masih didera oleh
sejumlah permasalahan dalam pembinaan karakter bangsa bahkan yang paling kritis
justru yang menyangkut masalah daya saing bangsa Indonesia, sebuah parameter
yang semakin meningkat nilai pentingnya di era globalisasi saat ini. Meskipun
demikian, pembinaan karakter bangsa Indonesia terus dilaksanakan secara
terus-menerus demi terciptanya generasi muda penerus bangsa yang memiliki
mental saing kuat dalam menghadapi globalisasi. Pembinaan karakter bangsa
Indonesia juga dilandasi oleh nilai-nilai dasar pancasila yang akan penulis kaji
dalam pembahasan sebagai berikut :
·
Pancasila sebagai Landasan Pembangunan
Pancasila sebagai landasan
pembangunan berarti nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar,
kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang
dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi logis terhadap pengakuan
dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan
objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia termasuk dalam
melaksanakan pembangunan karakter bangsa. Nilai-nilai dasar Pancasila
dikembangkan atas dasar hakikat manusia.
Sedangkan Pembangunan nasional
Indonesia diarahkan pada upaya peningkattan harkat dan martabat manusia yang
meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Sehingga,
pembangunan nasional bangsa Indonesia dapat dimaknai sebagai upaya peningkatan
harkat dan martabat manusia secara total atau menyeluruh berdasarkan pada
nilai-nilai yang ada dalam pancasila.
Dalam melaksanakan pembangunan
sosial berdasarkan pancasila maka pembangunan sosial tersebut harus bertujuan
untuk mengembangkan harkat dan martabat manusia secara total. Oleh karena itu,
pembangunan yang berdasarkan pancasila harus dilaksanakan di berbagai bidang
yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan dengan berlandaskan
pada pancasila tersebut meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan. Penulis akan dijelaskan mengenai pancasila sebagai
landasan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sesuai dengan
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya pada pembahasan berikutnya.
·
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan
Politik Indonesia
Pembangunan politik yang
berdasarkan pada pancasila harus dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa
Indonesia dan meningkatkan harkat dan martabat manusia tersebut adalah dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga, sistem politik Indonesia harus
mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat yang sesuai dengan pancasila
yaitu sistem politik demokrasi (kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat). Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan.
Sebagai konsekuensi logis dari
sistem politik demokrasi yang berlandaskan pada moral pancasila maka perilaku
politik, baik perilaku politik warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik
yang santun dan bermoral.
·
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Sistem dan pembangunan
ekonomi yang sesuai dengan pancasila yaitu berlandaskan pada nilai moral dari
pancasila itu sendiri. Secara khusus, sistem ekonomi pancasila harus didasari
oleh moralitas ketuhanan dan kemanusiaan. Sistem ekonomi yang mendasarkan pada
moralitas dan kemanusiaan (humanistis) akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan.
Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik sebagai makhluk individu, sosial, makhluk
pribadi maupun makhluk Tuhan adalah sistem ekonomi pancasila. Sistem ekonomi
pancasila harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang
bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ekonomi yang
berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan
kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari
nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi bangsa Indonesia harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.
·
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan Sosial
Budaya
Pembangunan sosial budaya harus
mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang
berbudaya dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi
harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya.
Berdasarkan sila persatuan
Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan
terhadap nilai sosial dan budaya-budaya di seluruh Indonesia menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pembangunan sosial
budaya berdasarkan pada pancasila tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
·
Pancasila Sebagai Landasan Pembangunan
Pertahanan Keamanan Indonesia
Sistem pertahanan dan keamanan sesuai pancasila adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa untuk melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh
warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan
secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah,
dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan
bangsa sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila,
di mana pemerintahan dari rakyat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
masalah pertahanan negara dan bela negara.
UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara sangat sesuai
dengan nilai-nilai pancasila. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
B. Pembangun
Kemandirian Bangsa
“
The core of any army is its soldiers, no matter how sophisticated its
equipment, its performance is solely dependent on its soldiers.”
-Douglas MacArthur, General, US Army, 1945-.
Penggalan
kalimat di atas memberikan esensi pada peran Sumber Daya Manusia sebagai unsur
yang paling kritis dalam setiap proses pengembangan suatu entitas tertentu.
Penggalan kalimat tersebut ikut menekankan pentingnya faktor manusia atau SDM
sebagai komponen terpenting dalam setiap proses atau rantai nilai apapun juga.
Dalam kasus pembangunan karakter bangsa Indonesia, Sumber Daya Manusia terutama
generasi muda Indonesia juga merupakan komponen penting bagi keberhasilan
pembangunan karakter bangsa itu sendiri dengan mengngimplementasikan rantai
nilai dari pancasila.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan suatu hal yang sangat
krusial, sekaligus potensi bangsa yang paling strategis yang harus dimobilisir
dan dikembangkan. Ralph S. Larsen (2004), CEO dari Johnson & Johnson mengatakan
bahwa, tingkat kedewasaan suatu organisasi ditentukan dari persepsinya terhadap
Sumber Daya Manusia yang dimilikinya.
Permasalahan utama bagi pembangunan karakter bangsa
Indonesia adalah bagaimana mendorong agar pengembangan sumber daya manusia
tersebut dapat menghasilkan suatu pencapaian yaitu tingkat kemandirian yang
berkesinambungan. Era globalisasi menuntut adanya parameter daya saing sebagai
satu hal penting untuk menjamin suatu kemandirian bangsa. Sehingga, pembinaan
karakter yang menuju pada mentalitas daya saing juga menuntut adanya sejumlah
prasyarat pokok yang harus dijadikan acuan dalam setiap proses pembangunan
sesuai dengan rantai nilai dalam pancasila.
Sejalan dengan hal tersebut, maka unsur pokok pembangunan
kemandirian bangsa terfokus pada tiga aspek penting yaitu:
1.
Peran kritis sumber daya manusia sebagai sumber daya
yang terus terbarukan untuk melakukan pembangunan bangsa yang berkesinambungan.
2.
Peningkatan daya saing dari sumber daya manusia
tersebut, sebagai jaminan dari kemandirian bangsa yang berkesinambungan.
3.
Pemahaman mengenai pentingnya mencetak mentalitas daya
saing yang berdasarkan pada suatu rantai nilai (pancasila) dengan tatanan dan
urutan tertentu. Sehingga keberhasilan pembangunannya tergantung dari tingkat
pemenuhan kriteria dan persyaratan tersebut.
Ketiga
aspek pembangunan kemandirian bangsa tersebut tentu membutuhkan suatu agents
yang dapat mengimplementasikan hal tersebut diatas. Dan agents itu
adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Generasi muda yang
umumnya masih berusia produktif diharapkan dapat memiliki kemampuan yang
tanggap khususnya dalam mengakselerasi proses internalisasi pengetahuan dan
menjadi motor penggerak perubahan atau generator of change sesuai dengan
cita-cita pembangunan berdasarkan pada pancasila.
C. Peran
Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa Mandiri
Pembentukan karakter generasi muda bangsa merupakan hal yang
sangat penting bagi suatu bangsa dan bahkan menentukan nasib bangsa itu di masa
depan termasuk juga Indonesia. Namun pada kenyataannya, di era globalisasi yang
telah menempatkan generasi muda Indonesia pada derasnya arus informasi yang
semakin bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi
sebagai akibat dari globalisasi.
Akibat dari globalisasi tersebut, nilai-nilai asing secara
disadari maupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak
langsung kepada generasi muda Indonesia.
Sehingga upaya strategis yang harus dilakukan oleh generasi
muda Indonesia untuk menghadapi globalisasi adalah dengan melakukan sebuah
koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada
penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya nihilisasi
dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Berikut 3 peran penting
generasi muda dalam melaksanakan koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan:
1.
Generasi muda sebagai pembangun-kembali karakter bangsa
(character builder). Di era globalisasi ini, peran generasi muda adalah
membangun kembali karakter positif bangsa seperti misalnya meningkatkan dan
melestarikan karakter bangsa yang positif sehingga pembangunan kemandirian
bangsa sesuai pancasila dapat tercapai sekaligus dapat bertahan ditengah
hantaman globalisasi.
2.
Generasi muda sebagai pemberdaya karakter (character
enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentu tidak cukup, jika tidak
dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga
dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character
enabler. Misalnya dengan kemauan yang kuat dan semangat juang dari generasi
muda untuk menjadi role model dari pengembangan dan pembangunan karakter
bangsa Indonesia yang positif di masa depan agar menjadi bangsa yang mandiri.
3.
Generasi muda sebagai perekayasa karakter (character
engineer) sejalan dengan dibutuhkannya adaptifitas daya saing generasi muda
untuk memperkuat ketahanan bangsa Indonesia. Character engineer menuntut
generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran. Pengembangan dan pembangunan
karakter positif generasi muda bangsa juga menuntut adanya modifikasi dan
rekayasa yang sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya adalah karakter
pejuang dan patriotism yang tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik,
tetapi dapat dalam konteks lainnya yang bersifat non-fisik. Esensinya adalah
peran genarasi muda dalam pemberdayaan karakter tersebut.
Generasi muda Indonesia memiliki tugas yang berat untuk
dapat melaksanakan ketiga peran tersebut secara simultan dan interaktif. Tetapi
hal tersebut bukan suatu hal yang tidak mungkin sebab generasi muda mendapatkan
dukungan dan bantuan dari pemerintah dan seluruh komponen bangsa lainnya untuk
mrngaktualisasikan peran tersebut di era globalisasi ini.
D. Revitalisasi
Pancasila
Gelombang demokrasi dalam bentuk tuntutan reformasi di
negara-negara tidak demokrasi, termasuk Indonesia pada era Orde Baru, menjadi
ancaman bagi eksistensi ideologi nasional seperti Pancasila. Namun demikian,
globalisasi juga melahirkan paradoksnya sendiri: di satu sisi globalisasi
demokrasi mengakibatkan kebangkrutan banyak paham ideologi, di sisi yang lain
juga mendorong bangkitnya nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang
paling dangkal dan sempit semacam ethnonationalism, atau bahkan tribalism.
Gejala ini yang terus mengancam integrasi negara-negara majemuk dari sudut
etnis, sosiokultural, dan agama seperti Indonesia. Gelombang demokratisasi yang
melanda Indonesia bersamaan dengan krisis moneter, ekonomi, dan politik
membuat Pancasila seolah kehilangan relevansinya.
Sementara itu proses desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak
mendorong penguatan sentimen kedaerahan. Apabila tidak diantisipasi, bukan
tidak mungkin menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang
tindih dengan ethnonationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja
maupun akibat langsung dari proses desentralisasi akan makin kehilangan posisi
sentralnya ( Azyumardi Azra, 2008 ).
Mempertimbangkan posisi krusial Pancasila di atas, maka perlu dilakukan
revitalisasi makna, peran, dan posisi Pancasila bagi masa depan Indonesia
sebagai negara modern. Perlunya revitalisasi Pancasila karena didasari
keyakinan bahwa Pancasila merupakan simpul nasional yang paling tepat bagi
Indonesia yang majemuk. Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan
keberanian moral kepemimpinan nasional. Empat pemimpin nasional pasca Soeharto
sejak dari Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati
Soekarnoputri, sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum berhasil membawa
Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Ada kesan traumatik untuk
kembali membicarakan Pancasila. Kini, sudah waktunya para elite dan pemimpin
nasional memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini jika kita
betul-betul peduli pada nation and character building dan
integrasi bangsa Indonesia.
Sementara itu Prof. Dr. Muladi, SH, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI
menyatakan bahwa salah satu side effect runtuhnya Orde Baru yang sangat
menyedihkan adalah berkembangnya sikap skeptis terhadap ideologi bangsa
Kegamangan terhadap ideologi Pancasila tersebut menyurutkan makna ideologi,
baik sebagai perekat persatuan bangsa maupun sebagai sarana untuk menumbuhkan
kepercayaan bangsa lain yang akan berhubungan dengan bangsa Indonesia (the
predictability function of ideology).
Sebagai bangsa yang merdeka, maka bangsa Indonesia mempunyai
cita-cita dan tujuan seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni adanya
kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kebhinnekaan
budaya masyarakat Indonesia merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang
harus diterima sebagai kekayaan bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa suku-suku
bangsa yang mendiami wilayah Nusantara ini, dengan keanekaragaman budayanya
masing-masing, sejak dahulu telah saling berhubungan dan berinteraksi.
Berdasarkan kesamaan visi mengenai masa depan, maka para pemuda dari suku-suku
bangsa tersebut pada tahun 1928 telah mengikrarkan sumpah untuk menjadi satu
bangsa dengan menggunakan bahasa persatuan dan bersama-sama hidup di satu tanah
air. Dari peristiwa ini terlihat bahwa kebhinnekaan budaya bukan menjadi
halangan untuk mewujudkan persatuan bangsa.
Justru budaya yang beraneka ragam tersebut mampu berhubungan
dan berinteraksi satu dengan yang lainnya secara selaras dan serasi. Oleh sebab
itulah perlu selalu disadari dan dipahami bersama bahwa bangsa Indonesia ini
memang dibentuk dari suku-suku bangsa yang memiliki budaya yang beraneka ragam.
Maka langkah utama yang perlu ditempuh dalam rangka membangun kehidupan baru
bagi bangsa Indonesia di masa depan adalah menggunakan salah satu asas dalam
konsepsi kemandirian lokal, yaitu “pendekatan kebudayaan”, sebagai bagian utama
dari strategi pembangunan masyarakat dan bangsa. Implementasi pendekatan
kebudayaan dalam pembangunan bangsa diyakini akan dapat menumbuhkan kebanggaan
pada setiap anak bangsa terhadap diri dan budayanya dan pada gilirannya akan
menumbuhkan pula toleransi dan pengertian akan keberadaan budaya lainnya. Hal
ini merupakan faktor utama perekat persatuan bangsa.
Pada proses reformasi, penyaluran aspirasi politik
masyarakat telah dapat diakomodasikan dalam sistem multi partai. Pada satu
sisi, hal ini dapat mencerminkan perwujudan demokrasi, akan tetapi pada sisi
lain dapat mengarah pada pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal
tersebut pada akhirnya dapat diselewengkan dengan pembentukan kekuatan-kekuatan
dengan memobilisasi kekuatan berdasarkan asas masing-masing. Hal ini dapat
bermuara pada berkembangnya primordialisme sempit berdasarkan agama, etnis
ataupun ras dan aspek kedaerahan lainnya.
Revitalisasi Pancasila semakin terasa penting kalau diingat
kita tengah gigih menerapkan prinsip-prinsip “good governance”, dimana
tiga aktor yaitu pemerintah (state), swasta (private sector) dan
masyarakat (civil society) harus bersinergi secara konstruktif
mewujudkan pemerintahan yang lebih baik. Antara lain terwujud dalam bentuk
pelayanan publik (public services) yang optimal. Dalam kaitannya dengan
ancaman atau pengaruh globalisasi harus dihadapi dengan sikap mental dan
karakter yang kuat sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Akhirnya revitalisasi
Pancasila menjadi penting karena kita masih menghadapi ancaman disintegrasi
nasional dengan semangat separatisme dari Daerah yang merasa diperlakukan
secara tidak adil oleh Pemerintah Pusat.
Kita jangan sampai tidak mengenal diri kita sendiri dan
tidak mengenal nilai-nilai hakiki dan luhur yang telah merupakan konsensus
nasional menjadi falsafah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, yaitu
Pancasila. Seperti kata Socrates (470-399 SM) “kenalilah dirimu sendiri”.
BAB III
PENUTUP
Demarkasi atau garis pembatas yang tegas untuk menghadapi
dampak globalisasi adalah daya saing bangsa (national competitiveness)
yang kuat untuk menjadi bangsa yang mandiri dengan berlandaskan pada pancasila.
Pembangunan berdasarkan pancasila yang dilakukan oleh bangsa Indonesia melalui
pembangunan di bidang ekonomi, politik, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan
dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia dalam menghadapi
globalisasi. Namun untuk mencapai daya saing yang kuat tersebut dibutuhkan
upaya besar dan peran aktif seluruh komponen bangsa Indonesia beserta
pemerintah.
Salah satu komponen yang berperan penting dalam upaya besar
tersebut adalah pembinaan karakter generasi muda bangsa Indonesia sesuai dengan
pancasila, khususnya karakter positif bangsa yang harus terus
ditumbuh-kembangkan untuk memperkuat kemampuan adaptif dari daya saing bangsa
sehingga dapat menjadi bangsa yang mandiri di era globalisasi.
Dalam upaya untuk mengaktualisasikan kemandirian tersebut,
maka dituntut peran penting dari generasi muda Indonesia sebagai character
enabler, character builders dan character engineer. Meskipun
untuk menjalankan ketiga peran tersebut, generasi muda masih membutuhkan
dukungan serta bantuan dari seluruh elemen bangsa termasuk pemerintah, namun
esensi utama dari pembangunan karakter bangsa Indonesia menuju bangsa mandiri
adalah pentingnya peran generasi muda sebagai komponen bangsa yang paling
strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai
pancasila di era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Materi
Kuliah Umum oleh Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia
Letjen, TNI Moeldoko, M.Si dalam Kuliah Umum “Pembangunan Karakter Bangsa”
di Gedung Soetarjo Universitas Jember pada tanggal 31 Mei 2012.
Soyomukti,
Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif Globalisasi, Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/499885/ [ diakses pada tanggal 4 juni 2012
pukul 11:09 WIB ]
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/01/11/arsip-sebagai-media-membangun-karakter-bangsa-suatu-catatan-kritis-atas-peningkatan-peran-lembaga-kearsipan-oleh-peter-ahab/ [ diakses pada tangggal 4 Juni 2012
pukul 10:55 WIB ]
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=529&Itemid=116 [ diakses pada tanggal 4 Juni 2012
pukul 10:46 WIB. ]
No comments:
Post a Comment