Wednesday, January 27, 2016

Landasan Hukum Impeachment Indonesia

Salah satu persoalan penting setelah terjadinya beberapa kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.

Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhani. Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah: “Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan Undang Undang Dasar. Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya”. Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban. Contoh kasus adalah peristiwa yang dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang di-impeach oleh House of Representatives, tetapi dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian. Batang Tubuh UUD 1945, memang tidak menyinggung soal ‘impeachment’ secara langsung. Karena itu, bagi orang yang berpendapat bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan bagian dari UUD, maka dia cenderung berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga ‘impeachment’. Tetapi, pendapat seperti ini tentu saja hanya bersifat akademis, karena tokoh sejak tahun 1959, sudah menjadi konvensi bahwa Penjelasan UUD 1945 itu dipakai sebagai satu kesatuan naskah konstitusi Republik Indonesia yang tidak terpisahkan dari Batang Tubuhnya. Penjelasan UUD menyatakan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, Majelis dapat diundang untuk meminta pertanggungan jawab Presiden melalui persidangan istimewa. Karena itu, pengertian ‘impeachment’ yang dikenal di hampir semua negara konstitutional modern di dunia itu, jelas tidak bisa dianggap tidak ada dalam UUD 1945.

No comments:

Post a Comment