Thursday, July 26, 2012

Negeri Pengemis


1343362504337648291
PONOROGO, - Jam menunjukkan 05:30 mobil pik up warna coklat tua berhenti di depan tempat penulis berdiri, ada 25-30 an orang yang menjadi penumpang di bak terbuka itu, lelaki pincang mirip orang yang pernah menderita polio turun dari bagian depan, dan diikuti 5 wanita yang tadinya menempati bagian bak belakang. Kesemuanya membawa tas dan rata-rata membawa bungkusan kresek hitam. Sebentar kemudian lelaki itu menuju ke belakang toko yang masih tutup, maklum waktu masih terlalu pagi dan dingin menusuk tulang. Dan tak lama kemudian lelaki itu sudah memakai egrang dan tampak perpakaian lusuh bahkan compang-camping dan sesekali mengacak-acak rambutnya. Entah degan 5 wanita yang turun bersamaan dengannya, Jumat (27/07/2012).


Penulis penasaran dengan mobil pik up tersebut dan segera penulis menstater motor mengikuti ke arah timur [Teminal Seloaji Ponorogo ke arah timur]. Mobil pik up bernomor daerah Madiun AE xxxx FB terus melaju dan berbelok ke kanan dan berhenti 300-an sebelum lampu merah di daerah Pasar Pon dan sekitar 8 wanita dan 2 wanita tersebut membawa anak turun dari pik up, ke 8 wanita itu membagi diri yang 4 menuju perempatan ke arah barat (jl. Batoro Katong), dan 4 lainnya menuju ke arah selatan ( jl. Brigj. Katamso). Dan Pik up terus melaju ke arah selatan dan berhenti di sekitar perempatan kampus Unmuh dan IAIN dan 3 wanita turun dari pik up.
Pik up melanjutkan perjalanan dan berhenti di dekat masjid Jeruk sing dan ada 4 wanita turun disini, dan pik up mengabil jalur ke kanan dan perhenti di dekat Kantor Pertanahan dan 10 aorang yang turun didaerah ini, pik up ambil jalur ke kiri ke arah Pacitan dan berhenti di dekat masjid timur jembatan Jenes.
Mungkin tinggal 5-6 orangan yang belum turun, pik up melaju ke arah alun-alun Ponorogo namun tidah berhenti, dan baru berhenti di bekas Bank Jatim yang di bangun 2 lelaki tua yang turun disini dengan tas kresek hitam yang menjadi tentengannya. Lelaki satunya menyeberang jalan dan lelaki satunya lagi langsung menuju bawah poho di selatan RS Aisyiyah dan sebentar kemudian lelaki yang dibawah pohon ini dengan cepatnya berganti pakaian compang-camping, dan kembali rambut dan wajahnya diolesi atau ditaburi sesuatu dari kaleng kecil yang dibawanya, dan dia segera berjalan ke arah perempatan Tambak bayan.
Dan mobil pik up menuju ke arah utara menuju ke daerah Asem Buntung (pekuburan dan bak sampah).
Penulis kembali dengan seribu pertanyaan di kepala, namun di daerah arah ke Wonogiri  bertemu dengan lelaki yang turun dari pik up tadi dan masih asik merokok di depan rumah dinas wakil bupati, penulis lalu memberanikan bertanya pada lelaki tersebut.
“Bade dateng pak, sareng nopo peripun?” tanya dan penulis menawarkan.
“Mboten mas, suwun …..”jawab lelaki tersebut.
“Njenengan sing numpak pik up wau nggih …. kok mandape mrenco-mrenco bade dateng pundi?” tanya penulis, namun lelaki itu masih diam.
“Monggo kulo sarengi yen bade ngilen…” ajak penulis, pura-pura mengajak biar lelaki itu mau ngomong.
“Anu mas…. bade ngemis “jawab lelaki tersebut pelan.
“Kok rombongan daleme pundi?” sambil saya menepi dan memarkin motor, dan duduk didekat lelaki tersebut.
Lalu sejenak kemudian penulis dan lelaki pengemis tersebut sudah akrab.
Lelaki tersebut menceritakan bahwa rumahnya Madiun [kabupaten], bersama 35-an temannya mengemis di daerah Ponorogo dengan mencarter pik up tadi, memilih  Ponorogo untuk mengemis karena di kabupaten ini pengemis masih bebas tidak ada razia, apa lagi kalau hari Jumat orang ponorogo lebih peduli dalam memberi [loman], menurut lelaki tersebut pik up berangkat dari rumah sebelum subuh, jam 3 teman-temannya sudah berkumpul, dan mereka masih satu daerah [sekampung], tiap orang dikenai tarif 10 ribu pulang pergi oleh sopir pik up, di drop dibagi bagi seperti yang penulis diatas, kelopmpok pertama turun didaerah Milir [pintu masuk Ponorogo].
Masih menurut lelaki tersebut, nanti pulangnya sekita jam 4 sore, dan mereka di jemput lagi oleh pik up yang mengatarnya tadi di daerah-daerah yang di tentukan, yaitu daerah Asem Buntung, daerah Gupolo, daerah persawahan belakang Dinas Kesehatan, dan derah Beduri dekat SMP 3.
Rata-rata perorang bisa membawa uang antara 50-70 ribu per orang, kalau pas bulan puasa seperti ini bisa tembus diatas 100 ribu.
Ketika penulis bertanya mengapa Ponorogo jadi pilihan lahan pengemis, lelaki tersebut menjelaskan bahwa di Madiun sana pengemis dan pengamen dilarang terutama bila di perempatan lampu mrah bisa didenda, yang memberi dan yang menerima di denda sesuai peraturan yang di pasang di tiap lampu merah.
Dan tentunya di madiun sana mereka malu karena banyak yang mengenalinya.
Dan bagi mereka yang mampu, mereka mengemis membawa motor atau diantar suami mereka, dengan bermodal anak kecil seharian bahkan sampai malam, dan jam 9 an malam suaminya menjemputnya dengan motor.
Banyak gambar dan photo yang penulis sempat jepret tadi namun rasanya nggak etis untuk dipublikasi, selain tidak etis kualitas jepretan ponsel dan suasana masih petang membuat mutu gambar agak buram.
Inilah potret negeri kita negeri pengemis, ketika mengemis merupakan pekerjaan tetap dan menjadi andalan, siapa sih yang mau menjadi pengemi? kalau masih ada pekerjaan lain? Entahlah tiap individu mempunya alasan masing-masing untuk bertahan hidup.

No comments:

Post a Comment