PONOROGO, - Jam menunjukkan
05:30 mobil pik up warna coklat tua berhenti di depan tempat penulis berdiri,
ada 25-30 an orang yang menjadi penumpang di bak terbuka itu, lelaki pincang
mirip orang yang pernah menderita polio turun dari bagian depan, dan diikuti 5
wanita yang tadinya menempati bagian bak belakang. Kesemuanya membawa tas dan
rata-rata membawa bungkusan kresek hitam. Sebentar kemudian lelaki itu menuju
ke belakang toko yang masih tutup, maklum waktu masih terlalu pagi dan dingin
menusuk tulang. Dan tak lama kemudian lelaki itu sudah memakai egrang dan
tampak perpakaian lusuh bahkan compang-camping dan sesekali mengacak-acak
rambutnya. Entah degan 5 wanita yang turun bersamaan dengannya, Jumat
(27/07/2012).
Penulis penasaran dengan mobil pik up
tersebut dan segera penulis menstater motor mengikuti ke arah timur [Teminal
Seloaji Ponorogo ke arah timur]. Mobil pik up bernomor daerah Madiun AE xxxx FB
terus melaju dan berbelok ke kanan dan berhenti 300-an sebelum lampu merah di
daerah Pasar Pon dan sekitar 8 wanita dan 2 wanita tersebut membawa anak turun
dari pik up, ke 8 wanita itu membagi diri yang 4 menuju perempatan ke arah
barat (jl. Batoro Katong), dan 4 lainnya menuju ke arah selatan ( jl. Brigj.
Katamso). Dan Pik up terus melaju ke arah selatan dan berhenti di sekitar
perempatan kampus Unmuh dan IAIN dan 3 wanita turun dari pik up.
Pik up melanjutkan perjalanan dan berhenti di
dekat masjid Jeruk sing dan ada 4 wanita turun disini, dan pik up mengabil
jalur ke kanan dan perhenti di dekat Kantor Pertanahan dan 10 aorang yang turun
didaerah ini, pik up ambil jalur ke kiri ke arah Pacitan dan berhenti di dekat
masjid timur jembatan Jenes.
Mungkin tinggal 5-6 orangan yang belum turun,
pik up melaju ke arah alun-alun Ponorogo namun tidah berhenti, dan baru berhenti
di bekas Bank Jatim yang di bangun 2 lelaki tua yang turun disini dengan tas
kresek hitam yang menjadi tentengannya. Lelaki satunya menyeberang jalan dan
lelaki satunya lagi langsung menuju bawah poho di selatan RS Aisyiyah dan
sebentar kemudian lelaki yang dibawah pohon ini dengan cepatnya berganti
pakaian compang-camping, dan kembali rambut dan wajahnya diolesi atau ditaburi
sesuatu dari kaleng kecil yang dibawanya, dan dia segera berjalan ke arah
perempatan Tambak bayan.
Dan mobil pik up menuju ke arah utara menuju
ke daerah Asem Buntung (pekuburan dan bak sampah).
Penulis kembali dengan seribu pertanyaan di
kepala, namun di daerah arah ke Wonogiri bertemu dengan lelaki yang turun
dari pik up tadi dan masih asik merokok di depan rumah dinas wakil bupati,
penulis lalu memberanikan bertanya pada lelaki tersebut.
“Bade dateng pak, sareng nopo peripun?” tanya
dan penulis menawarkan.
“Mboten mas, suwun …..”jawab lelaki tersebut.
“Njenengan sing numpak pik up wau nggih ….
kok mandape mrenco-mrenco bade dateng pundi?” tanya penulis, namun lelaki itu
masih diam.
“Monggo kulo sarengi yen bade ngilen…” ajak
penulis, pura-pura mengajak biar lelaki itu mau ngomong.
“Anu mas…. bade ngemis “jawab lelaki tersebut
pelan.
“Kok rombongan daleme pundi?” sambil saya
menepi dan memarkin motor, dan duduk didekat lelaki tersebut.
Lalu sejenak kemudian penulis dan lelaki
pengemis tersebut sudah akrab.
Lelaki tersebut menceritakan bahwa rumahnya
Madiun [kabupaten], bersama 35-an temannya mengemis di daerah Ponorogo dengan
mencarter pik up tadi, memilih Ponorogo untuk mengemis karena di
kabupaten ini pengemis masih bebas tidak ada razia, apa lagi kalau hari Jumat
orang ponorogo lebih peduli dalam memberi [loman], menurut lelaki tersebut pik
up berangkat dari rumah sebelum subuh, jam 3 teman-temannya sudah berkumpul,
dan mereka masih satu daerah [sekampung], tiap orang dikenai tarif 10 ribu
pulang pergi oleh sopir pik up, di drop dibagi bagi seperti yang penulis
diatas, kelopmpok pertama turun didaerah Milir [pintu masuk Ponorogo].
Masih menurut lelaki tersebut, nanti
pulangnya sekita jam 4 sore, dan mereka di jemput lagi oleh pik up yang
mengatarnya tadi di daerah-daerah yang di tentukan, yaitu daerah Asem Buntung,
daerah Gupolo, daerah persawahan belakang Dinas Kesehatan, dan derah Beduri
dekat SMP 3.
Rata-rata perorang bisa membawa uang antara
50-70 ribu per orang, kalau pas bulan puasa seperti ini bisa tembus diatas 100
ribu.
Ketika penulis bertanya mengapa Ponorogo jadi
pilihan lahan pengemis, lelaki tersebut menjelaskan bahwa di Madiun sana
pengemis dan pengamen dilarang terutama bila di perempatan lampu mrah bisa
didenda, yang memberi dan yang menerima di denda sesuai peraturan yang di
pasang di tiap lampu merah.
Dan tentunya di madiun sana mereka malu
karena banyak yang mengenalinya.
Dan bagi mereka yang mampu, mereka mengemis
membawa motor atau diantar suami mereka, dengan bermodal anak kecil seharian
bahkan sampai malam, dan jam 9 an malam suaminya menjemputnya dengan motor.
Banyak gambar dan photo yang penulis sempat
jepret tadi namun rasanya nggak etis untuk dipublikasi, selain tidak etis
kualitas jepretan ponsel dan suasana masih petang membuat mutu gambar agak
buram.
Inilah potret negeri kita negeri pengemis,
ketika mengemis merupakan pekerjaan tetap dan menjadi andalan, siapa sih yang
mau menjadi pengemi? kalau masih ada pekerjaan lain? Entahlah tiap individu
mempunya alasan masing-masing untuk bertahan hidup.
No comments:
Post a Comment