Tuesday, June 5, 2012

contoh skripsi pertanian


 ANALISIS PREFERENSI PETANI TERHADAP KARAKTERISTIK TEKNOLOGI PADI LADANG (KASUS DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH DAN LAMPUNG SELATAN, PROPINSI LAMPUNG)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi dan produktivitas padi masih harus ditingkatkan karena peranan
beras di Indonesia sangat penting sebagai sumber pangan. Hal ini terbukti dari
pangsa pengeluaran beras mencapai 25-30 persen terhadap total pengeluaran rumah
tangga (BPS, 1999). Proyeksi produksi menurut Direktorat Jenderal Produksi dan
Tanaman Pangan sebesar 53 juta ton pada tahun 2003 dan 55 juta ton pada tahun
2004 (Departemen Pertanian, 2001) bahwa pangan merupakan kebutuhan nasional
yang sedapat mungkin dipenuhi oleh produksi dalam negeri karena kekurangan
pangan dapat memicu kekacauan politik, sosial dan ekonomi. Namun demikian,
2
berbagai paket program yang dicanangkan pemerintah belum sepenuhnya sesuai
dengan kebutuhan petani, mengingat penyampaian program tersebut tidak
melibatkan proses partisipasi yang memadai karena dilakukan dengan pendekatan
delivery system, dengan ciri-ciri: (1) pendekatan dari atas ke bawah (top-down), (2)
sifat alih teknologi yang konstruktif, dan (3) hirarki kerja yang bersifat vertikal.
Petani cenderung tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Paradigma/pendekatan pembangunan pertanian ke depan (Saragih, 2000)
adalah modernisasi agribisnis yang mengandalkan modal dan sumberdaya terampil
(capital and skilled labour-based) dan sistem agribisnis terdesentralisasi yang
berorientasi pada budaya komunitas lokal pada dukungan inovasi yang bersifat
spesifik lokasi dan knowledge bases development. Guna menunjang proses
pembangunan pertanian tersebut, diperlukan suatu proses penyampaian inovasi
kepada petani yang lebih bersifat interaktif dan dialogis, sehingga petani tidak hanya
diberi dan menerima suatu inovasi tetapi mereka juga dilibatkan dalam setiap
perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usahataninya.
Dengan demikian, diharapkan inovasi yang diadopsi petani dapat berlangsung secara
berkesinambungan dan berkembang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Upaya
untuk memenuhi hal tersebut adalah dengan menerapkan pendekatan sistem akuisisi
(acqusition system) yang mengarahkan petani untuk mencari teknologi langsung ke
sumber informasi dan membina kemandirian petani. Ciri utama dari sistem ini
adalah: (1) pendekatan bottom-up, (2) hirarki kerja bersifat horizontal, dan (3) alih
teknologi yang bersifat partisipatif dialogis dan interaktif (Fagi, 2001).
Berdasarkan permasalahan tersebut, kegiatan penelitian ini dilakukan sebagai
upaya mengungkapkan preferensi petani terhadap teknologi, merupakan langkah
konkrit penerapan perencanaan interaktif. Dengan demikian diharapkan akan terjalin
komunikasi yang harmonis dan terpadu untuk memperoleh aspirasi dari petani
(bottom-up) digabungkan dengan kebijakan global yang telah digariskan pemerintah
(top-down).
Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan klasifikasi teknologi yang diterapkan petani, apakah merupakan
teknologi lokal atau hasil adaptasi dengan teknologi yang diperoleh dari berbagai
program.
3
2. Menjelaskan preferensi dan alasan/pertimbangan petani dalam memilih
menerapkan teknologi tertentu ditinjau dari aspek teknis, ekonomi, sosial budaya,
lingkungan dan keberlanjutan.
3. Menjelaskan karakteristik teknologi yang dibutuhkan petani untuk
mengoptimalkan produksi dan produktivitas yang sudah dicapai.
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Faktor yang menentukan keberhasilan suatu program adalah pembawa
program (senders), penerima program (receivers) dan saluran (channel) yang
digunakan dalam memperkenalkan (sosialisasi) dan mengimplementasikan program
(Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi, 1987). Di sisi lain Tobbs dan Moss (2000)
menekankan bahwa keberhasilan pembangunan ditentukan jalinan hubungan antara
individu pembawa program dengan sasaran program. Artinya proses pembangunan
juga menentukan keberhasilan pembangunan. Dalam penelitian ini faktor yang akan
dicermati adalah peran individu yang terlibat dalam program dan proses dari program
tersebut.
Keberhasilan suatu program dapat dicapai jika senders melakukan
pendekatan partisipatif mulai dari sosialisasi, perencanaan, implementasi serta
monitoring/evaluasi melalui pendekatan struktural dan kultural (Wahyuni, 2002).
Melalui pendekatan struktural, individu yang terlibat dalam program menjembatani
hubungan lembaga terkait yang dibutuhkan petani untuk mendukung implementasi
program. Adapun melalui pendekatan kultural, teknologi yang diimplementasikan
tersaring melalui kebudayaan yang eksis di wilayah bersangkutan yang telah
menyatu dengan kondisi alam, sosial dan ekonomi. Melalui kedua pendekatan
tersebut teknologi yang disampaikan melalui program dapat terakuisisi dalam
kehidupan petani sehingga teknologi lokal (indigenous) yang ada akan berkembang
menjadi teknologi “adaptif”. Teknologi adaptif lahir setelah melalui proses
pemikiran petani yang prinsipnya sangat rasional dalam memilih teknologi yang
terbaik dan menguntungkan (Popkin 1979). Teknologi adaptif mempunyai ciri
Market Oriented Environmentally Sustainable Agriculture (MOESA) dan Low
4
External Input Sustainable Agriculture atau LEISA (Badan Litbang Deptan dan
Pusat Studi Wanita – Universitas Gadjah Mada, 2000).
Dari kedua konsep di atas diperoleh tiga ciri teknologi adaptif yaitu
menguntungkan, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Istilah serupa untuk teknologi
adaptif dikemukakan oleh Saragih (2000) dengan teknologi tepat guna yang
mempunyai empat ciri yaitu: 1) secara teknis dapat digunakan, 2) secara ekonomis
menguntungkan, 3) secara sosial budaya dapat diterima dan 4) ramah lingkungan.
Karakteristik teknologi yang digali dalam penelitian ini adalah teknologi yang
menurut petani merupakan prioritas dalam meningkatkan produksi padi. Selanjutnya
dari prioritas teknologi yang dibutuhkan digali informasi teknologi intrinsik (sebagai
contoh dalam diagram dikemukakan teknologi intrinsik dari varietas). Berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut dikemukakan paradigma pada Diagram –1.
Penentuan Lokasi
Peningkatan produksi padi baik melalui produktivitas maupun perluasan areal tanam
lebih tersedia diluar Jawa (Irawan et al.. 2002). Ditekankan pula bahwa peningkatan
produksi dan produktivitas padi ladang di luar Jawa yang selama ini belum cukup
mendapatkan perhatian perlu dicermati karena pangsanya terhadap produksi nasional
menunjukkan peningkatan (tahun 1978-88 =2,4% , 1988-1998 = 3,1%). Selanjutnya
penentuan lokasi dilakukan secara Multi stage sampling berdasarkan luas areal padi
ladang terluas dan produktivitas tertinggi. Berdasarkan data statistik (BPS, 2001)
pulau Sumatera mempunyai areal padi ladang terluas (331.901 Ha), dimana diantara
9 propinsi ternyata Aceh dan Lampung yang mempunyai produktivitas tertinggi yaitu
sama-sama 24,75 Kw/Ha. Oleh karena itu Propinsi Lampung dipilih sebagai lokasi
penelitian. Selanjutnya kabupaten yang dipilih adalah Kabupaten Lampung Tengah
dan Lampung Selatan yang merupakan wilayah pengembangan dalam rencana
strategis Departemen Pertanian.
5
Diagram 1. Paradigma kkarakteristik teknologi padi yang dibutuhkan petani
Pendekatan kultural
Penyesuaian teknologi
modern dgn indigenous
sesuai dgn sosial budaya,
ekonomi dan alam
Pendekatan struktural
Mendekatkan lembaga terkait
yang diperlukan petani dalam
mengimplementasikan
teknologi
Senders (Program Teknologi Maju)
Receivers (Petani) dengan Teknologi Adaptif
KARAKTERISTIK TENOLOGI PADI YANG DIBUTUHKAN PETANI
Teknis
Mudah diterapkan,
sesuai lahan,
ketersediaan air
iklim
Ekonomis
Untung
Produksi
meningkat,
TK hemat
Sosial
Sesuai adat/ kebiasaan,
rasa
nasi enak , cara
dikuasai
Ramah
lingkungan
Tidak cemari
lingkungan
dll.
Berkelanjutan
Tahan OPT,
tahan kekeringan,
produktivitas
tinggi
Pasca
panen
KEGIATAN USAHA TANI
CHANNEL
Receivers (Petani) dengan Teknologi Indigenous
Pola
Tanam
Jumlah
Varietas bibit Olah
lahan
Jarak
tanam
Pengendalian
HPT
Pemupukan
6
Sampel
Sampel adalah petani dalam satu hamparan yang dipilih secara acak dengan
jumlah 30 orang dan expert sebagai informan kunci. Kriteria Expert yang dipilih
yaitu 1) Memiliki pengetahuan tentang teknik budidaya padi yang handal. 2)
Mengetahui permasalahan yang dihadapi petani dalam mengimplementasikan
teknologi anjuran. Dengan demikian yang mewakili expert adalah Kepala Cabang
Dinas Pertanian (KCD), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), pengurus kelompok
tani dan tokoh masyarakat.
Data
Data dikumpulkan dalam bulan Mei sampai dengan September 2003
meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi
terkait dan literatur, sedangkan data primer diperoleh dari wawancara mendalam
dengan petani, experts, pengamatan lapang serta wawancara dengan petani selain
sampel dengan teknik “complete observer” saat kunjungan lapang (Sigit, 1999:159).
Analisis Data
Data kuantitatif yang diperoleh dari petani disajikan dalam bentuk tabel-tabel
silang yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat preferensi petani
terhadap karakteristik teknologi padi digunakan alat atau teknik Analytical
Hierarchie Process (AHP) karena alat utama teknik ini adalah suatu hirarki
fungsional dengan input utama persepsi petani (Permadi, 1999). Disamping itu AHP
merupakan model yang mempunyai kelebihan dalam menggabungkan unsur-unsur
kualitatif dan kuantitatif untuk proses pengambilan keputusan. Untuk menyusun
urutan prioritas banyak pilihan dengan multi kriteria teknik AHP mengandalkan pada
judgment responden (experts) yang memiliki informasi. Selain itu AHP juga
memberi perhatian khusus kepada penyimpangan dan konsistensi, pengukuran dan
saling ketergantungan antara kelompok elemen strukturnya. Prinsip-prinsip AHP
didahului dengan “perumusan masalah secara jelas”, yang mencakup dekomposisi,
perbandingan persepsi (comparative judgment), menyusun prioritas (synthesis of
priority) dan konsistensi yang logis (logical consistency).
7
Dekomposisi
Memecah persoalan utuh yang akan dikaji menjadi unsur-unsur, sehingga
tidak dapat dibagi lagi. Hal ini akan menimbulkan terjadinya strata atau tingkatantingkatan
(hierarchy) dari masalah tersebut.
Gambar 1. Hirarki alternatif teknologi
Perbandingan Persepsi (Comparative Judgment)
Membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat
tertentu dalam kaitannya dengan strata diatasnya. Hal ini merupakan substansi dari
AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasilnya disajikan
dalam bentuk pairwise comparison matrix. Bentuk pertanyaan dalam kuisioner
dapat berbentuk: (1) elemen mana yang lebih (penting/baik/ disenangi/….), (2)
berapa kali lebih (penting/baik/disenangi/…). Agar responden dapat menilai atau
memberi judgment yang baik tentang perbandingan dua elemen, perlu dijelaskan
kriteria.
Sintesis prioritas
Dari setiap pairwise comparison matrix dicari eigenvector-nya untuk
mendapatkan prioritas lokal (local priority). Dari masing-masing prioritas lokal
kemudian disintesiskan untuk mendapatkan prioritas global (global priority).
Prosedur sintesis dapat berbeda-beda menurut bentuk hirarkinya dan hal ini dikenal
dengan nama priority setting.
Fokus tujuan
Kriteria
Sub kriteria
Alternatif Alternatif Alternatif
8
Tabel 1. Perbandingan persepsi dalam memilih suatu teknologi
Tingkat kepentingan Definisi
1 Sama pentingnya dibanding yang lain
3 Moderat pentingnya dibanding yang lain
5 Kuat pentingnya dibanding yang lain
7 Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain
9 Sangat ekstrim pentingnya dibanding yang lain
2,4,6,8 Nilai diantara dua elemen yang berdekatan
Reciprocal
Jika elemen I memiliki salah satu angka diatas ketika
dibandingkan elemen j, maka j mempunyai nilai
kebalikannya ketika dibandingkan elemen I
Sumber: Permadi (1999)
Konsistensi logis (logical consistency)
Elemen yang sama dapat dikelompokkan sesuai dengan relevansi dan
keragamannya. Tingkat hubungan antar elemen dapat digolongkan berdasarkan
krteria tertentu. Misal M = 5 G dan G = 2 S, maka M = 10 S
Consistency Index (CI) merupakan indikator konsistensi jawaban atau judgment
responden dengan rumus:
CI = (Zmax – n) / (n-1)
Selanjutnya AHP mengukur seluruh konsistensi penilaian dengan menggunakan
Consistency Ratio (CR) dengan rumus:
CR = CI / Random Consistency Index
Nilai CR sebaiknya tidak > 10%, jika lebih maka penilaian dilakukan secara random
dan perlu diperbaiki.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Wilayah Penelitian
Dua kabupaten contoh yang mewakili Propinsi Lampung adalah Kabupaten
Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Selatan. Perkembangan luas panen,
produksi dan produktivitas komoditas padi ladang di Kabupaten Lampung Tengah
9
selama tahun 1997-2001 dan di Kecamatan Seputih Banyak pada tahun 2001
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Ladang di Kabupaten
Lampung Tengah pada Tahun 1997 s/d 2001 dan di Kecamatan
Seputih Banyak pada Tahun 2001
No Uraian
Kabupaten Lampung Tengah Kec. Sep.
Banyak
1997 1998 1999 2000 2001 2001
1. Luas Panen (ha) 34.130 29.515 19.353 28.456 27.931 4.275
2. Produksi (ton) 119.325 80.887 52.438 78.226 76.652 11.709
3. Produkt. (ku/ha) 34,96 27,41 27,10 27,49 27,44 27,39
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kabupaten Lampung Tengah
Pada tahun 2001, produksi padi di Kabupaten Lampung Tengah tercatat
sebanyak 437.659 ton. Padi ladang memberikan kontribusi sebesar 17,5persen
(76.652 ton) dari total produksi padi di Lampung Tengah. Bila dikaitkan dengan
kecamatan contoh, produksi di Kecamatan Seputih Banyak merupakan daerah yang
memiliki areal cukup luas untuk tanaman padi ladang, yaitu menempati 15,30 persen
dari seluruh kabupaten. Disamping itu bila dilihat dari produktivitas yang diperoleh,
ternyata kecamatan contoh memiliki produktivitas yang senada dengan rataan
produktivitas kabupaten. Oleh karena itu kecamatan ini dipilih untuk mewakili lokasi
padi ladang di Kabupaten Lampung Tengah.
Kecamatan Natar merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten
Lampung Selatan, terdiri dari 22 desa yang terbagi menjadi 18 Wilayah Binaan
Penyuluh Pertanian (WBPP) dengan 133 pedukuhan dan jumlah kelompok tani: (1)
kelas pemula 97; (2) kelas lanjut 66; (3) kelas madya 12; (4) kelompok petani kecil
2; dan (5) kelompok tani wanita 2. Lembaga ekonomi pendukung yang ada di
wilayah kecamatan adalah Koperasi Tani 2 unit dan Koperasi Unit Desa 2 unit.
Adapun keragaan padi ladang di Kecamatan Natar dilihat dari luas tanam,
luas panen, produktivitas dan produksi disajikan pada Tabel 3. Baik di tingkat
Kabupaten Lampung Selatan maupun Kecamatan Natar, terlihat bahwa luas tanam
ataupun luas panen dalam kurun waktu lima tahun sangat fluktuatif. Tingkat
produksi dan produktivitas di Kabupaten Lampung Selatan cenderung menurun. Hal
yang menarik untuk dicermati adalah tingkat produktivitas padi ladang pada tahun
10
2002 di Kecamatan Natar relatif lebih tinggi dibanding Kabupaten Lampung Selatan.
Pada tahun 2002 di Kecamatan Natar terjadi peningkatan produksi sebesar 2,5 persen
dibanding tahun 2001.
Tabel 3. Keragaan Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi
Ladang di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, 1998-2002
Tahun Luas tanam
(ha)
Luas panen
(ha)
Produktivitas
(ku/ha)
Produksi
(ton)
Kab. Lampung Selatan
1. 1998 13.310 13.310 38,16 50.791
2. 1999 20.454 20.135 38,16 76.835
3. 2000 13.899 10.918 38,16 41.663
4. 2001 13.914 11.542 32,41 45.095
5. 2002 11.715 11.700 32,41 37.920
Kec. Natar
1. 1998 2.059 2.059 35,25 7.258
2. 1999 3.170 3.170 37,87 12.005
3. 2000 1.645 1.016 37,87 3.848
4. 2001 1.647 1.645 32,78 5.392
5. 2002 1.647 1.647 33,57 5.529
Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan
Proses Adaptasi Teknologi Padi Ladang
Dalam penelitian ini penyampaian informasi dilihat melalui pendekatan
struktural dan kultural. Pendekatan struktural dilakukan dengan melalui penyuluhan,
pertemuan kelompok, kunjungan dari Dinas. Pendekatan kulural dilakukan melalui
arisan, pengajian, kerja bakti dan upacara adat. Keadaan di lapang menunjukkan
bahwa sebagian besar (84-87%) dari penyampaian pesan dilakukan melalui
pendekatan kultural (Tabel 4), yaitu melalui kerja bakti. Selain itu penyampaian
pesan banyak didapatkan petani melalui silaturahmi dalam bentuk arisan maupun
pengajian atau yang lebih dikenal dengan Yaasin-an.
Disamping silaturahmi, penduduk di Lampung Tengah juga mempunyai
sistem kerukunan dalam berusahatani. Tidak seluruh kegiatan usahatani dikerjakan
dengan imbalan uang, selama antar keluarga masih bisa saling membantu maka
kegiatan berusahatani tidak perlu dibayar dengan uang atau diistilahkan petani
setempat dengan “sambatan”. Sambatan tersebut dilakukan untuk kegiatan tajuk dan
tanam, panen dan bahkan membangun rumah. Sistem ini
11
Tabel 4. Pendekatan Inovasi Teknologi Padi Ladang di Propinsi Lampung, 2003
Tahapan usahatani Lampung Tengah (%) Lampung Selatan (%)
Struktural Kultural Struktural Kultural
Pola tanam 20 80 10 90
Pemilihan varietas 10 90 14 86
Pengolahan lahan 3 97 3 97
Cara tanam 13 87 0 100
Jarak tanam 13 87 10 90
Jumlah bibit 7 93 13 87
Pengendalian hama penyk 33 67 40 60
Pemupukan 30 70 40 60
Panen 10 90 - 100
Pasca panen 20 80 - 100
Rerata 16 84 13 87
berlaku timbal balik antar petani. Hal yang sama juga terjadi pada petani di Lampung
Tengah, sambatan juga dilakukan pada petani di Lampung Selatan terutama yang
menyangkut kegiatan pada waktu tanam dan panen. Tenaga yang disambat (dimintai
bantuan) tidak diberi imbalan uang, hanya sekedar makanan dan minuman. Kegiatan
ini juga merupakan ajang difusi inovasi, sehingga petani dapat memperoleh
informasi teknologi baru, terutama yang terkait dengan varietas, cara tanam, jarak
tanam, jumlah bibit yang ditanam per lubang, dan alat yang digunakan untuk panen,
serta penggunaan alat pasca panen.
Pendekatan stuktural yang digunakan yaitu melalui media pertemuan
kelompok. Pada pertemuan kelompok ini PPL hadir (disamping ketua kelompok).
Namun demikian setelah otonomi daerah, banyak PPL yang pindah ke kantor Dinas,
sehingga kehadiran PPL relatif berkurang. Kegiatan usahatani yang banyak
dilakukan melalui pendekatan struktural yaitu pada kegiatan pengendalian hama
penyakit dan pemupukan.
Klasifikasi Teknologi Padi Ladang
Tabel 5 menyajikan klasifikasi teknologi yang digunakan oleh petani
responden di Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Teknologi tersebut
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu tekologi lokal, teknologi adaptif dan
teknologi maju. Dari data yang didapatkan menunjukkan bahwa sebagian besar
teknologi yang digunakan di lokasi penelitian masih menggunakan teknologi lokal,
terutama untuk petani responden di Lampung Tengah. Teknologi adaptif dan
12
teknologi maju yang digunakan petani responden di Lampung Selatan lebih banyak
dibanding di Lampung Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi inovasi
untuk Lampung Selatan relatif lebih cepat.
Tabel 5. Klasifikasi Teknologi Padi Ladang di Lampung Tengah dan Lampung Selatan,
Propinsi Lampung, 2003
Tahapan usahatani
Lampung Tengah (%) Lampung Selatan (%)
Lokal Adaptif Maju Lokal Adaptif Maju
Pola tanam
Pemilihan varietas
Pengolahan lahan
Cara tanam
Jarak tanam
Jumlah bibit
Pengend. hama peny.
Pemupukan
Panen
Pasca panen
80
70
80
93
87
93
53
67
83
57
20
20
13
7
13
7
37
30
10
40
-
7
7
-
-
-
10
3
-
-
57
30
30
67
33
37
10
10
67
50
17
20
37
3
37
27
30
20
10
30
26
47
33
30
30
36
60
70
20
20
Rerata 77 20 3 39 23 38
Pada petani di Lampung Tengah teknologi lokal yang digunakan masih
memiliki persentase yang tinggi, terutama pada teknologi cara tanam dan
pengedalian hama penyakit (93%), jarak tanam (87%), pola tanam dan pengolahan
lahan (80%). Teknologi lokal yang persentasenya cukup tinggi pada petani di
Lampung Selatan adalah teknologi cara tanam dan panen (67%)
Teknologi maju pada kegiatan pengendalian hama penyakit yang telah
dilakukan oleh petani di Lampung Selatan tercatat sebanyak 60 persen, sementara di
Lampung Tengah baru 10 persen. Demikian juga untuk kegiatan pemupukan, petani
di Lampung Selatan sudah lebih maju, yaitu 70 persen sementara di Lampung
Tengah teknologi pemupukan masih dalam kategori teknologi adaptif, dan hanya 3
persen petani yang telah menggunakan teknologi maju. Teknologi pemilihan varietas
untuk petani di Lampung Selatan juga sudah menunjukkan adanya kemajuan di
bidang teknologi. Jumlah petani yang menggunakan teknologi yang tergolong maju
tercatat sebanyak 47 persen, sementara yang masih menggunakan teknologi lokal
sebanyak 30 persen dan adaptif sebanyak 20 persen.
13
Preferensi Kriteria Teknologi Padi Ladang
Kabupaten Lampung Tengah
Dari hasil analisis (Tabel 6), ternyata expert berpandangan bahwa kriteria
berkelanjutan menjadi prioritas utama dalam memilih suatu teknologi padi, baru
disusul aspek ekonomis, teknis dan sosial budaya. Hal ini sangat terkait dengan
penanaman padi ladang oleh petani setempat yang masih bersifat subsisten, belum
berorientasi komersial. Mengingat padi ladang yang dihasilkan petani digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan pokok, maka upaya untuk memilih komponen teknologi
yang dapat menghasilkan padi secara berkesinambungan menjadi tolok ukur
pertama. Aspek ekonomi, terutama yang terkait dengan biaya produksi menjadi
pertimbangan kedua. Selama ini petani setempat memang kurang menerima
informasi tentang teknologi padi ladang, sehingga budidaya yang dilakukan masih
tradisional, dilakukan seadanya, lebih memerlukan curahan tenaga kerja dibanding
biaya.
Keterbatasan pengetahuan petani tentang teknologi padi ladang menyebabkan
aspek teknis (kemudahan dalam menerapkan teknologi, kesesuaian lahan, iklim,
kondisi perairan) hanya berada pada urutan ketiga. Namun terdapat juga
kecenderungan, penilaian expert lebih didasari fakta bahwa petani di lokasi
penelitian (sebagian besar merupakan penduduk pendatang atau transmigran)
memiliki etos kerja yang relatif tinggi, sehingga kendala-kendala teknis relatif dapat
diatasi. Aspek sosial budaya tampak menempati urutan terakhir, karena expert dapat
mengukur kemampuan petani dalam beradaptasi terhadap suatu inovasi. Sebagai
penduduk transmigran, dianggap lentur, terlihat dari upaya petani dalam mencoba hal
baru yang dinilai bermanfaat.
Secara keseluruhan penilaian expert tentu berdasarkan pengamatan terhadap
teknik budidaya padi ladang yang dilakukan petani. Kriteria yang diprioritaskan akan
sangat terkait dengan alternatif teknologi usahatani.
14
Tabel 6. Preferensi Kriteria Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung
Tengah, 2003
Kriteria teknologi Bobot prioritas Peringkat
Ekonomis 0,33 II
Teknis 0,13 III
Sosial/budaya 0,11 IV
Berkelanjutan 0,42 I
Keterangan: Konsistensi (CR) = 0,03
Kabupaten Lampung Selatan
Berbeda halnya dengan penilaian expert di Kabupaten Lampung Tengah,
maka tampak pada Tabel 7 bahwa bila diperkenalkan suatu inovasi atau teknologi
baru di Kabupaten Lampung Selatan, aspek teknis akan dijadikan indikator utama.
Sekalipun petani berpendapat bahwa beras sebagai kebutuhan pokok, namun bila
komponen teknologi yang diintroduksikan relatif sulit, tidak sesuai dengan kondisi
lahan, maka terdapat kecenderungan petani tidak akan mengadopsi teknologi
tersebut. Apabila petani menerapkan suatu teknologi baru, maka terlebih dahulu
melihat cara dan perolehan hasil dari petani lain yang dianggap lebih maju
Tabel 7. Preferensi Kriteria Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung
Selatan, 2003
Kriteria teknologi Bobot prioritas Peringkat
Ekonomis 0,30 II
Teknis 0,36 I
Sosial/budaya 0,11 IV
Berkelanjutan 0,22 III
Konsistensi (CR) =0,00
Sementara dari aspek ekonomis yang menempati urutan kedua, expert
mempunyai wawasan, jika dalam melakukan penanaman padi ladang diperlukan
biaya yang tinggi, curahan tenaga kerja yang relatif banyak dibanding menanam
komoditas lain, maka petani akan cenderung membeli beras daripada menanam padi
sendiri. Mengingat komoditas jagung dinilai lebih menguntungkan petani, baik dari
segi pendapatan yang diperoleh maupun pemeliharaan yang mudah, sehingga
menghemat curahan tenaga kerja.
Kriteria keberlanjutan relatif lebih dominan dibanding aspek sosial budaya.
Hal ini tercermin dari pilihan petani terhadap varietas yang akan ditanam. Jenis padi
yang tahan kekeringan dan tahan hama penyakit akan dipilih petani dibanding jenis
15
padi dengan rasa nasi yang enak. Varietas dengan tingkat produktivitas tinggi
cenderung akan terus dipertahankan petani untuk ditanam.
Karakteristik Komponen Teknologi yang Dibutuhkan Petani
Pada periode tahun 1980-an telah dilaksanakan penelitian Sistem Usaha Tani
(SUT) terpadu yang terdiri dari lima tahap: (1) penentuan lokasi penelitian sekaligus
melakukan karakterisasi yang meliputi aspek tanah, iklim, dan lingkungan sosial
ekonomi untuk menentukan prioritas pemecahan masalah yang dihadapi petani; (2)
pemilihan komponen teknologi berdasarkan prioritas permasalahan dan diperkirakan
dapat menjawab permasalahan yang dihadapi petani; (3) pelaksanaan lapangan,
termasuk evaluasi respon petani terhadap teknologi yang sedang diuji; (4) modifikasi
teknologi berdasarkan kelemahan yang dijumpai dan disesuaikan dengan respon
petani; (5) penyusunan rekomendasi alternatif teknologi berdasarkan kesesuaiannya
dengan kondisi agroekosistem setempat dan respon petani (Adnyana, 1999).
Selanjutnya pada periode 1990-an telah diperkenalkan Integrated Swamps
Development Project (ISDP), juga Sistem Usaha Tani Padi Berorientasi Agribisnis
(SUTPA). Namun demikian dari aspek teknologi masih ditemukan berbagai
kendala, antara lain: (1) tidak semua komponen teknologi yang diintroduksikan dapat
diterima oleh petani, karena rendemen rendah (56-60%), varietas yang ditanam
mudah rebah sehingga kualitas gabah menurun, (2) alat tanam Atabela ditolak oleh
petani karena terlalu berat dan jatuhnya benih tidak teratur, dan (3) penggunaan
amiloran seperti kapur dan posfat alam sekalipun hasilnya baik namun
penyediaannya sulit (Adnyana, dkk. 1998).
Hasil temuan tersebut memperkuat sinyalemen para pakar bahwa teknologi
yang diciptakan masih belum sepenuhnya diadopsi petani. Dalam penelitian ini
komponen teknologi yang dipilih petani didukung dengan informasi mengenai
karakteristik intrinsik yang menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Terdapat delapan komponen teknologi, dari mulai pola tanam sampai
dengan pasca panen. Sistem tanam dan panen tidak dimasukkan dalam komponen
teknologi yang dianalisis dengan model AHP, mengingat variasi dalam sistem tanam
tidak beragam. Petani ladang menanam benih padi dengan cara tugal dan melakukan
kegiatan panen menggunakan sabit.
16
Kabupaten Lampung Tengah
Dari keseluruhan kriteria, prioritas global di Kabupaten Lampung Tengah
yang dinyatakan oleh expert disajikan pada Tabel 8. Tampak bahwa prioritas
pertama, kedua dan ketiga masing-masing adalah pemupukan, pengendalian hama
dan pasca panen. Secara teoritis, padi ladang memerlukan pupuk N, P dan K.
Adapun dosis pemupukan disesuaikan dengan rekomendasi setempat. Komposisi
pupuk N, P dan K secara umum adalah 90 kg N, 60 kg P2O5 dan 50 kg K2O per ha
(Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002). Pupuk P dan K
diberikan sebagai pupuk dasar, yaitu pada waktu pengerjaan tanah terakhir atau pada
saat penugalan. Pupuk N sebagai urea diberikan masing-masing 50% pada waktu
tanaman berumur satu bulan dan pada waktu menjelang keluarnya primordia (umur 2
bulan). Apabila digunakan pupuk majemuk NPK disamping urea, maka seluruh
pupuk NPK diberikan sebagai pupuk dasar, sedangkan pupuk urea diberikan masingmasing
50% pada umur 1 bulan dan 2 bulan (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Tanaman Pangan, 2002). Rekomendasi tersebut masih bersifat umum, dan untuk
memperoleh rekomendasi spesifik lokasi maka diperlukan penelitian dan pengkajian
tersendiri.
Tabel 8. Hasil Analisis Penentuan Prioritas Global dari Alternatif Teknologi Padi Ladang
Berdasarkan Semua Kriteria di Kabupaten Lampung Tengah, 2003
Komponen teknologi
Bobot masing-masing kriteria Prioritas
Ekonomis Teknis Sosial/ Global Peringkat
budaya
Berkelanjutan
Pola tanam 0,05 0,05 0,05 0,12 0,08 V
Varietas 0,08 0,07 0,06 0,11 0,09 IV
Pengolahan lahan 0,09 0,12 0,12 0,06 0,08 VI
Jarak tanam 0,06 0,06 0,07 0,09 0,07 VII
Jumlah bibit 0,05 0,04 0,05 0,09 0,07 VIII
Pengendalian HPT 0,18 0,27 0,22 0,17 0,19 II
Pemupukan 0,30 0,22 0,23 0,20 0,24 I
Pasca panen 0,20 0,17 0,21 0,17 0,19 III
Selain itu, pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman
dan kotoran hewan, seperti pupuk kandang, pupuk hijau, kompos dan night soil juga
dapat direkomendasikan takarannya. Hal ini mengingat di lokasi penelitian, banyak
petani yang memiliki ternak, seperti kambing, sapi ataupun kerbau yang digunakan
sebagai tenaga bajak. Penggunaan pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik dan
kimiawi tanah, struktur tanah, daya meresap air serta daya mengikat air oleh tanah.
17
Teknologi pemupukan yang dilakukan petani di Lampung Tengah belum
sesuai dengan teknologi anjuran. Gambaran rinci komposisi setiap jenis pupuk telah
diuraikan pada bagian sebelumnya. Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa petani dalam
melakukan pemupukan masih berorientasi pada alasan ekonomi. Faktor keterbatasan
modal merupakan kendala sebagian besar petani responden atau sekitar 60 persen
(Tabel 9) dalam menerapkan teknologi pemupukan. Sekalipun disadari oleh 17
persen petani responden bahwa pemupukan berimbang akan meningkatkan produksi.
Dengan demikian, dalam merekomendasikan teknologi pemupukan perlu
memperhatikan keterbatasan modal petani, sehingga pemanfaatan pupuk alternatif
seperti pupuk organik perlu digalakkan.
Pengendalian hama penyakit yang menjadi prioritas kedua dapat dilakukan
dengan menggunakan konsep/sistem pengendalian hama terpadu (PHT).
Pemberantasan dengan pestisida dapat direkomendasikan bila tingkat serangan
berada diambang ekonomi. Untuk itu pengamatan secara intensif terhadap serangan
hama penyakit perlu dilakukan dengan bimbingan dari Pengamat Hama Penyakit
(PHP). Selain itu, informasi mengenai jenis pestisida dan takaran penggunaannya
serta sumber perolehan pestisida perlu disampaikan kepada petani. Pestisida palsu
banyak beredar di pasaran karena harga pestisida memang relatif mahal. Untuk itu,
peran PPL perlu ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan frekuensi dan
intensitas penyuluhan.
Sama halnya dengan pemupukan, 43 persen responden mengemukakan,
alasan ekonomi (yang terkait dengan keterbatasan modal) menjadi kendala petani
dalam menerapkan teknologi pengendalian hama penyakit (Tabel 9). Dengan kondisi
demikian, maka konsep PHT sangat relevan, sepanjang komponen teknologi yang
diperkenalkan kepada petani tidak memerlukan biaya yang besar.
Teknologi pasca panen menjadi prioritas ketiga, terutama yang menyangkut
pengadaan alat/mesin, seperti alat perontok padi (thresher), lantai penjemuran dan
mesin penggilingan padi. Beberapa anjuran seperti; (1) perontokan dilakukan di
ladang secepatnya setelah panen, (2) menggunakan alas untuk menghindari
hilangnya gabah pada saat melakukan perontokan dengan cara menghempas, dan (3)
segera melakukan pengeringan gabah, telah dilaksanakan petani. Namun
pengetahuan petani tentang kadar air gabah sewaktu akan disimpan, belum diketahui
petani. Rekomendasi Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan (2002),
18
pengeringan yang baik dilakukan hingga kadar air gabah mencapai 14 persen, agar
gabah tidak rusak sewaktu disimpan.
Penjemuran pada cuaca cerah dilakukan dengan tingkat ketebalan lapisan
gabah 5-7 cm dan berulang kali dibolak balik (1-2 jam sekali). Adapun alasan petani
responden dalam menerapkan teknologi pasca panen, lebih banyak dikarenakan
aspek ekonomis (39%), seperti resiko kehilangan hasil rendah sehingga produksi
menjadi tinggi. Alasan sosial budaya, berupa kesesuaian dengan adat/kebiasaan dan
penguasaan cara pasca panen mencapai 37 persen, sedangkan kesesuaian alsin (aspek
teknis) 24 persen (Tabel 9).
Kabupaten Lampung Selatan
Dari alternatif teknologi padi, prioritas pertama dan kedua di Kabupaten
Lampung Selatan berupa pemupukan dan pengendalian hama penyakit, sama dengan
prioritas di Kabupaten Lampung Tengah. Fenomena ini mengindikasikan bahwa
komoditas padi ladang memerlukan introduksi teknologi pemupukan spesifik lokasi
dengan memanfaatkan pupuk organik dan pengendalian hama penyakit melalui
konsep PHT. Untuk prioritas ketiga tampak perbedaan preferensi, di Kabupaten
Lampung Selatan berupa varietas, sedangkan Kabupaten Lampung Tengah lebih
memilih teknologi pasca panen.
Ternyata ketiga prioritas tersebut muncul, karena terkait erat dengan
permasalahan yang dihadapi petani padi ladang di Kabupaten Lampung Selatan,
yaitu: (1) pemupukan tepat waktu, tepat cara, tepat dosis dan tepat jenis relatif
rendah, (2) pemanfaatan pupuk organik (pupuk kandang, kompos, bogasi) relatif
rendah, (3) geropyokan tikus secara rutin masih jarang dilakukan, (4) tingkat
pengendalian gulma relatif rendah, (5) pergiliran varietas masih jarang dilakukan.
19
Tabel 9. Alasan Intrinsik Petani dalam Menerapkan Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung Tengah, 2003
Tahap
usahatani
Alasan ekonomi Teknis Sosial budaya Keberlanjutan
Total
Modal Produk
tinggi
Kualitas
padi
baik
Untung TK lebih
hemat
Biaya
hemat
Sesuai
lahan
Sesuai
air
Resiko
kecil
Mudah Sesuai
alsin/
pupuk/
pestisida
Adat/
kebiasaan
Rasa nasi
enak
Cara
dikuasai
Tahan
OPT
Tahan
kekeringan
Produktivitas
tinggi
Pola tanam
Varietas
Olah lahan
Cara tanam
Jarak tanam
Jumlah bibit
PHT
Pemupukan
Panen
Pasca panen
-
-
-
-
-
7
43
60
-
-
7
-
-
-
-
23
17
17
-
13
-
-
10
-
-
-
3
-
-
-
3
-
-
-
-
-
-
-
34
26
-
-
23
17
-
-
-
3
-
-
-
10
17
27
3
3
-
-
-
-
63
-
7
7
3
-
-
-
-
-
27
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7
-
13
27
10
3
10
-
-
-
-
-
-
-
-
13
7
26
24
-
-
10
23
33
43
-
-
33
27
-
17
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10
7
14
-
4
-
7
10
-
53
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13
23
6
20
14
17
3
-
-
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
20
Dalam pengadaan saprodi, terutama yang terkait dengan pengadaan pupuk,
peran tengkulak/pedagang jagung sangat penting bagi petani. Pupuk untuk
tanaman padi ladang diperoleh dengan cara berhutang pada pedagang jagung dan
dibayar setelah petani panen jagung, sehingga jenis maupun takaran pupuk yang
akan digunakan, ditentukan oleh ketersediaan pupuk di pedagang jagung. Kondisi
ini menunjukkan bahwa petani lebih mengandalkan pendapatannya dari usahatani
komoditas jagung daripada padi.
Tabel 10. Hasil Analisis Penentuan Prioritas Global dari Alternatif Teknologi
Padi Ladang Berdasarkan Semua Kriteria di Kabupaten Lampung
Selatan, 2003
Komponen teknologi
Bobot masing-masing kriteria Prioritas
Global
Pering-
Ekonomis Teknis Sosial/ kat
budaya
Berkelanjutan
Pola tanam
Varietas
Pengolahan lahan
Jarak tanam
Jumlah bibit
Pengendalian HPT
Pemupukan
Pasca panen
0,10
0,14
0,08
0,06
0,10
0,16
0,23
0,13
0,10
0,10
0,08
0,06
0,09
0,19
0,29
0,09
0,13
0,21
0,11
0,08
0,06
0,16
0,21
0,06
0,18
0,12
0,06
0,10
0,07
0,21
0,19
0,07
0,12
0,13
0,08
0,07
0,09
0,18
0,24
0,09
IV
III
VII
VIII
VI
II
I
V
Varietas unggul maupun lokal yang banyak ditanam petani adalah IR-64
dan Rojolele. Alasan yang dikemukakan petani responden dalam memilih jenis
tersebut (Tabel 11) lebih disebabkan oleh aspek keberlanjutan, yaitu produktivitas
yang tinggi (47 %), tahan kekeringan (26 %) dan tahan organisme pengganggu
tanaman (10 %), sedangkan dari aspek sosial budaya, rasa nasi enak atau tekstur
nasi pulen (17 %).
Penggunaan benih berlabel telah banyak dilakukan petani, namun hasil
yang diperoleh relatif kurang memadai. Rataan tingkat produktivitas yang dicapai
petani berkisar antara 2,5 – 3,5 ton/ha. Degradasi benih juga terjadi, mengingat
masih banyak dijumpai petani yang menggunakan benih buatan sendiri.
21
Tabel 11. Alasan Intrinsik Menerapkan Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung Selatan, 2003
Tahap
usahatani
Alasan ekonomi Teknis Sosial budaya Berkelanjutan
Total
Modal Produk
tinggi
Kualitas
padi
baik
Untung TK lebih
hemat
Biaya
hemat
Sesuai
lahan
Sesuai
air
Resiko
kecil
Mudah Sesuai
alsin/
pupuk/
pestisida
Adat/
kebiasaan
Rasa nasi
enak
Cara
dikuasai
Tahan
OPT
Tahan
kekeringan
Produktivitas
tinggi
Pola tanam
Varietas
Olah lahan
Cara tanam
Jarak tanam
Jumlah bibit
PHT
Pemupukan
Panen
Pasca panen
-
-
-
-
-
-
20
23
-
-
7
-
-
-
-
60
50
60
-
10
-
-
37
14
10
-
3
-
-
-
-
-
-
-
-
20
-
-
13
27
-
-
3
7
13
-
-
-
14
-
-
-
7
7
3
-
-
-
-
-
34
-
24
10
3
-
-
-
-
-
56
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
7
10
4
7
-
-
-
-
7
3
-
-
7
-
27
13
3
-
10
30
10
10
-
-
43
43
-
17
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7
3
-
-
3
-
3
7
-
10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
26
-
-
-
-
-
-
-
-
-
47
5
23
54
-
13
10
-
-
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
22
Sintesa Preferensi Petani Terhadap Teknologi Padi
Dari banyak kajian yang telah dilakukan, ditunjukkan bahwa sumber
modal usahatani petani sebagian besar berasal dari modal sendiri atau meminjam
dari sumber kredit non-formal (Hermanto dan Syukur, 1999; Djulin dkk., 1997).
Demikian halnya dengan kondisi petani di lokasi penelitian. Padahal sebenarnya
petani sangat memerlukan kredit untuk mendukung usahataninya. Penguasaan
lahan yang relatif sempit menyebabkan tingkat keuntungan usahatani juga relatif
rendah, sehingga akumulasi modal juga rendah. Dalam kondisi demikian,
ketersediaan sumber permodalan berupa kredit menjadi sangat penting.
Tabel 12. Prioritas Kriteria dalam Memilih Suatu Teknologi Padi Ladang di
Lokasi Penelitian, 2003
Kriteria
Bobot prioritas
Lampung Tengah Lampung Selatan
Ekonomis 0,33 0,30
Teknis 0,13 0,36
Sosial budaya 0,11 0,11
Berkelanjutan 0,42 0,22
Kriteria berkelanjutan ternyata merupakan prioritas pertama yang menjadi
acuan dalam memilih komponen teknologi padi ladang (Kabupaten Lampung
Tengah). Hal ini terkait dengan hasil pengamatan di lapang yang menemui
berbagai keluhan dari para petani dalam berusahatani padi, seperti harga saprodi
(terutama pupuk dan pestisida) di pasaran relatif tidak terjangkau petani, alat
mesin pertanian (alsintan) tidak tersedia; walaupun disadari bahwa alsintan dapat
meningkatkan efisiensi usahatani padi. Agar keberadaan padi ladang dapat terus
berkelanjutan, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap total produksi
padi nasional, perlu dilakukan beberapa upaya: (1) penggunaan pupuk organik
sebagai substitusi pupuk anorganik, sehingga biaya produksi di tingkat petani
dapat diturunkan, dan (2) penyediaan kredit alsintan untuk pengadaan alat
perontok padi (power thresher) dan alat penggilingan padi (huller).
Penggunaan pupuk organik di tingkat petani sangat diperlukan, selain
dapat menghemat biaya, juga bersifat ramah lingkungan. Disamping itu harga jual
gabah yang berlangsung saat ini di Lampung ternyata lebih rendah dibandingkan
23
dengan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) yang ditetapkan. Dalam
kondisi demikian pendapatan usahatani dapat ditingkatkan apabila biaya produksi
dapat diturunkan. Disamping itu, pendapatan usahatani juga dapat ditingkatkan
melalui penurunan tingkat kehilangan hasil. Dari hasil pengamatan lapang
menunjukkan bahwa tingkat kehilangan hasil di daerah ini mencapai sekitar 24-28
persen. Dengan menggunakan alat perontok padi dan alat penggilingan padi yang
baru, tingkat kehilangan hasil ini diharapkan dapat diturunkan.
Penyediaan alat perontok padi dalam bentuk kredit dapat diberikan kepada
kelompok tani. Sementara itu, penyediaan alat penggilingan padi baru ditujukan
terhadap penggilingan padi yang berada di lokasi penelitian, yang umumnya
masih menggunakan penggilingan padi yang sudah tua. Apabila peremajaan
penggilingan padi ini dapat dilakukan, maka tingkat produksi beras dapat
ditingkatkan.
Kriteria utama pada padi ladang di Lampung Selatan adalah aspek teknis.
Dengan demikian fokus perhatian dalam memilih teknologi terletak pada teknik
aplikasi, seperti kemudahan dalam penerapan, kesesuaian dengan kondisi
agroekologi, termasuk kondisi lahan yang berada di lereng dan perbukitan.
Selama ini petani di lokasi penelitian menilai bahwa pemeliharaan padi ladang
relatif lebih rumit dibandingkan jagung ataupun singkong. Selain itu, dari segi
pendapatan komoditas jagung ataupun singkong lebih dapat diandalkan. Untuk
itu upaya yang perlu dilakukan dalam mengintroduksikan inovasi teknologi padi
ladang adalah: (1) melakukan analisis tanah untuk menentukan takaran
pemupukan, (2) pengendalian hama penyakit menganut pada prinsip pengendalian
hama terpadu, dan (3) mengintroduksikan alsintan berupa alat perontok padi dan
penggilingan padi. Mengingat padi ladang diusahakan di lahan kering yang
selama ini dianggap sebagai sumberdaya yang tidak produktif atau bahkan
dianggap sebagai lahan marjinal, maka cara pandang tersebut perlu diubah dengan
memposisikan lahan kering sebagai sumberdaya pertanian yang potensial.
24
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Cara petani mengadaptasikan teknologi lokal dengan anjuran melalui
pendekatan kultural dengan sumber informasi mengenai teknologi padi
diperoleh secara turun temurun (40-47%) ataupun dari sarana petani/tetangga
(40-41%). Kendala yang ditemui petani dalam melakukan usahatani padi
berkaitan dengan keterbatasan modal, harga saprodi (benih berlabel, pupuk
dan pestisida) yang relatif tinggi sehingga sulit dijangkau petani.
2. Teknologi yang diterapkan petani dari mulai penentuan pola tanam, pemilihan
varietas, pengolahan lahan, cara tanam, jarak tanam, penentuan jumlah bibit
yang ditanam, pengendalian hama penyakit, pemupukan, cara panen sampai
penanganan pasca panen dapat diklasifikasikan dalam: (1) teknologi lokal (39-
77%), (2) teknologi adaptif (20-23%), dan teknologi maju (3-38%).
3. Kriteria teknologi padi yang merupakan preferensi petani diutamakan bersifat
ekonomis dengan bobot prioritas 0,33; berkelanjutan (0,32); teknis (0,23) dan
sosial budaya (0,12). Komponen teknologi padi yang diprioritaskan petani :
(1) pemupukan, (2) pengendalian hama penyakit, dan (3) pasca panen;
masing-masing dengan bobot prioritas 0,24; 0,19 dan 0,13.
4. Karakteristik teknologi padi ladang yang dibutuhkan petani berupa teknologi:
(1) pemupukan = biaya/modal yang rendah (23-60%), tingkat produktivitas
tinggi (17-60%), mudah diterapkan (7-10%), sarana tersedia di pasaran (7%),
dan hemat tenaga kerja (3%); (2) pengendalian hama penyakit = biaya/modal
yang rendah (20-43%), tingkat produktivitas tinggi (17-50%), sarana tersedia
di pasaran (13%); (3) pasca panen = sesuai dengan adat/kebiasaan (27-43%),
tingkat kehilangan hasil rendah/keuntungan tinggi (26-27%), sesuai dengan
ketersediaan alat (13-24%), tingkat produktivitas tinggi (10-13%), cara
penanganan dikuasai (7%).
25
Implikasi Kebijakan
1. Untuk meningkatkan produksi padi, secara umum masih sangat ditentukan
oleh pengaturan dan ketersediaan air. Khusus di lokasi penelitian, untuk
ladang, dapat diperkenalkan teknologi embung.
2. Untuk menghasilkan teknologi tepat guna perlu didasarkan pada falsafah,
tradisi dan aspek sosial lain yang menjadi motivator gerak masyarakat.
3. Perlu disosialisasikan varietas padi yang mempunyai ciri-ciri beresiko kecil
terhadap serangan hama penyakit dan kekeringan atau terlalu banyak air,
hemat tenaga kerja, hemat biaya, mudah dibudidayakan, mempunyai produksi
tinggi, bertekstur pera dan rasa nasi enak. Cara mensosialisasikan varietas
yang efektif adalah melalui demonstrasi di hamparan sawah milik petani.
4. Perlu disosialisasikan pupuk yang mempunyai kriteria harga murah, produksi
tinggi, tenaga kerja lebih hemat, mudah diterapkan, tersedia di pasar dan
menjamin produksi berkelanjutan. Pupuk alternatif bokasi oleh petani masih
dirasakan mahal dan rumit, sedangkan alat Bagan Hijau Daun dan P-starter
dirasakan sudah mampu mengurangi jumlah pupuk yang diperlukan.
Pengenalan organic farming perlu terus digalakkan dan terobosan untuk
menghasilkan pupuk yang memiliki kriteria yang telah dikemukakan perlu
ditindaklanjuti. Sambil menunggu terobosan teknologi pupuk harga pupuk dan
harga dasar gabah perlu diperbaiki. Pendekatan inovasi teknologi pemupukan
yang efektif perlu dilakukan melalui demonstrasi di hamparan sawah petani.
5. Diperlukan teknologi pengendalian hama penyakit yang secara teknis mudah
diimplementasikan, terutama untuk hama kepinding tanah, tikus dan penyakit
blast.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, MO. 1999. Evolusi Metodologi dan Profil Penelitian Sistem Usahatani
dan Sistem Usaha Pertanian. Dalam Adnyana, MO., P. Simatupang, A.
Dimyati dan MR. Darmawiredja (Penyunting). Pengkajian SUTPA :
Konsep, Keragaan Empiris dan Prospek. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
26
Badan Litbang Pertanian – Deptan dan Pusat Studi Wanita Universitas Gajah
Mada. 2000. Modul Lokakarya Peningkatan Pemahaman SAGA dalam
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 12-19 Maret.
Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Propinsi Lampung. 2002. Produksi Tanam Padi dan
Palawija Propinsi Lampung 1996-2000 (ATAP), 2001 (ARAM). Bandar
Lampung.
Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Jakarta.
Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan.
2000. Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Natar, Kabupaten
Lampung Selatan. TA. 2000. Natar.
Departemen Dalam Negeri. 2001. Profil Desa/Kelurahan. Daftar Isian Data Dasar
Profil Desa/Kelurahan.
Depaertemen Pertanian. 2001. Pedoman Umum Proyek Pengembangan
Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2000. Jakarta.
Departemen Pertanian dan Pusat Studi Wanita Universitas Gajahmada. 2000.
Modul Lokakarya Peningkatan Pemahaman Saga dalam Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jogyakarta. 12 – 19 Maret.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Usahatani Padi Gogo
dengan Teknologi Budidaya Lorong. Jakarta.
Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Program
Pengembangan Agribisnis Tanaman Pangan Tahun, 2002. Departemen
Pertanian.
Djulin, A., R. Hendayana, Handewi P.S., M. Iqbal Rafani, Syahyuti, Soentoro,
dan Rudy S. Rivai. 1997. Analisis Adopsi Teknologi (Dampak Perubahan
Teknologi terhadap Daya Saing Komoditas Pertanian dan Pendapatan
Petani). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
Fagi, A.M., S. Abdulrachman dan A. Gani. 2002. Teknologi Budidaya Padi.
Perkembangan dan Peluang.
Hermanto dan M. Syukur. 1999. Aspek Sosial Ekonomi dalam Introduksi dan
Teknologi. Dalam Adnyana, MO., P. Simatupang, A. Dimyati dan MR.
Darmawiredja (Penyunting). Pengkajian SUTPA : Konsep, Keragaan
Empiris dan Prospek. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan
Litbang Pertanian. Bogor.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Sekretaris Daerah Kabupaten.
2002. Peta Desa dan Potensi Desa Rulung Helok. Bagian Pemerintahan
Desa/Kelurahan.
Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan. Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura. 2002. Laporan Tahunan 2002. Kalianda.
Permadi, B. 1992. “AHP”. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - Pusat Antar
Universitas – Studi Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. pp. 163
27
Popkin, L. Samuel. 1979. The Rationale Peasant. Univ. of California Press.
Berkey and L.A. Caligornia. London-England.
Rogers dan Schoemaker dalam Hanafi 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru.
Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Saragih, B. 2000. Peranan Teknologi Tepat Guna dalam Pembangunan Sistem
Agribisnis Kerakyatan dan Berkelanjutan. Seminar II Teknologi Tepat
Guna. Bandung. November.
Sigit, Soekardi. 1999. Pengantar Metode Penelitian Sosial, Bisnis dan
Managemen. Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata. Tamansiswa.
Yogyakarta.
Simatupang, P. 1999. Kebijakan Produksi dan Penyediaan Pangan. Makalah
Round Table Discussion’ Dok-3. Kantor Menteri Negara Pangan dan
Hortikultura. Jakarta. 23 Juni.
Simatupang, P. dan N. Syafa’at. 1999. Esensi Aspek Sosial Ekonomi dalam
Penciptaan Teknologi Pertanian.. Makalah ‘Round Table Discussion’ Dok-
3. Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. Jakarta. 23 Juni.
Tubbs, L. Stewart dan S. Moss. 2000. Human Communication. Mc. Graw-Hill,
Inc. Singapore. 314pp.
Wahyuni, S. 2002. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Pertanian Melalui Pendekatan kultural dan struktural. Seminar Nasional
Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang Berkemanusiaan. Ikatan
Sosiologi Indonesia. Bogor.

1 comment:

  1. Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
    Terima kasih, Busarakham.

    ReplyDelete