ANALISIS PREFERENSI PETANI TERHADAP KARAKTERISTIK TEKNOLOGI PADI LADANG (KASUS DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH DAN LAMPUNG SELATAN, PROPINSI LAMPUNG)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi dan produktivitas padi
masih harus ditingkatkan karena peranan
beras di Indonesia sangat penting
sebagai sumber pangan. Hal ini terbukti dari
pangsa pengeluaran beras mencapai
25-30 persen terhadap total pengeluaran rumah
tangga (BPS, 1999). Proyeksi
produksi menurut Direktorat Jenderal Produksi dan
Tanaman Pangan sebesar 53 juta
ton pada tahun 2003 dan 55 juta ton pada tahun
2004 (Departemen Pertanian, 2001)
bahwa pangan merupakan kebutuhan nasional
yang sedapat mungkin dipenuhi
oleh produksi dalam negeri karena kekurangan
2
berbagai paket program yang
dicanangkan pemerintah belum sepenuhnya sesuai
dengan kebutuhan petani,
mengingat penyampaian program tersebut tidak
melibatkan proses partisipasi
yang memadai karena dilakukan dengan pendekatan
delivery system, dengan
ciri-ciri: (1) pendekatan dari atas ke bawah (top-down), (2)
sifat alih teknologi yang
konstruktif, dan (3) hirarki kerja yang bersifat vertikal.
Petani cenderung tidak dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan.
Paradigma/pendekatan pembangunan
pertanian ke depan (Saragih, 2000)
adalah modernisasi agribisnis
yang mengandalkan modal dan sumberdaya terampil
(capital and
skilled labour-based)
dan sistem agribisnis terdesentralisasi yang
berorientasi pada budaya
komunitas lokal pada dukungan inovasi yang bersifat
spesifik lokasi dan knowledge
bases development. Guna menunjang proses
pembangunan pertanian tersebut,
diperlukan suatu proses penyampaian inovasi
kepada petani yang lebih bersifat
interaktif dan dialogis, sehingga petani tidak hanya
diberi dan menerima suatu inovasi
tetapi mereka juga dilibatkan dalam setiap
perencanaan dan pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan usahataninya.
Dengan demikian, diharapkan
inovasi yang diadopsi petani dapat berlangsung secara
berkesinambungan dan berkembang
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Upaya
untuk memenuhi hal tersebut
adalah dengan menerapkan pendekatan sistem akuisisi
(acqusition system) yang
mengarahkan petani untuk mencari teknologi langsung ke
sumber informasi dan membina
kemandirian petani. Ciri utama dari sistem ini
adalah: (1) pendekatan bottom-up,
(2) hirarki kerja bersifat horizontal, dan (3) alih
teknologi yang bersifat
partisipatif dialogis dan interaktif (Fagi, 2001).
Berdasarkan permasalahan
tersebut, kegiatan penelitian ini dilakukan sebagai
upaya mengungkapkan preferensi
petani terhadap teknologi, merupakan langkah
konkrit penerapan perencanaan
interaktif. Dengan demikian diharapkan akan terjalin
komunikasi yang harmonis dan
terpadu untuk memperoleh aspirasi dari petani
(bottom-up) digabungkan
dengan kebijakan global yang telah digariskan pemerintah
(top-down).
Tujuan
Penelitian
1. Menjelaskan klasifikasi
teknologi yang diterapkan petani, apakah merupakan
teknologi lokal atau hasil
adaptasi dengan teknologi yang diperoleh dari berbagai
program.
3
2. Menjelaskan preferensi dan
alasan/pertimbangan petani dalam memilih
menerapkan teknologi tertentu
ditinjau dari aspek teknis, ekonomi, sosial budaya,
lingkungan dan keberlanjutan.
3. Menjelaskan karakteristik
teknologi yang dibutuhkan petani untuk
mengoptimalkan produksi dan
produktivitas yang sudah dicapai.
METODOLOGI
PENELITIAN
Kerangka
Pemikiran
Faktor yang menentukan
keberhasilan suatu program adalah pembawa
program (senders),
penerima program (receivers) dan saluran (channel) yang
digunakan dalam memperkenalkan
(sosialisasi) dan mengimplementasikan program
(Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi,
1987). Di sisi lain Tobbs dan Moss (2000)
menekankan bahwa keberhasilan
pembangunan ditentukan jalinan hubungan antara
individu pembawa program dengan
sasaran program. Artinya proses pembangunan
juga menentukan keberhasilan
pembangunan. Dalam penelitian ini faktor yang akan
dicermati adalah peran individu
yang terlibat dalam program dan proses dari program
tersebut.
Keberhasilan suatu program dapat
dicapai jika senders melakukan
pendekatan partisipatif mulai
dari sosialisasi, perencanaan, implementasi serta
monitoring/evaluasi melalui
pendekatan struktural dan kultural (Wahyuni, 2002).
Melalui pendekatan struktural,
individu yang terlibat dalam program menjembatani
hubungan lembaga terkait yang
dibutuhkan petani untuk mendukung implementasi
program. Adapun melalui
pendekatan kultural, teknologi yang diimplementasikan
tersaring melalui kebudayaan yang
eksis di wilayah bersangkutan yang telah
menyatu dengan kondisi alam,
sosial dan ekonomi. Melalui kedua pendekatan
tersebut teknologi yang
disampaikan melalui program dapat terakuisisi dalam
kehidupan petani sehingga
teknologi lokal (indigenous) yang ada akan berkembang
menjadi teknologi “adaptif”.
Teknologi adaptif lahir setelah melalui proses
pemikiran petani yang prinsipnya
sangat rasional dalam memilih teknologi yang
terbaik dan menguntungkan (Popkin
1979). Teknologi adaptif mempunyai ciri
Market Oriented
Environmentally Sustainable Agriculture (MOESA) dan Low
4
External Input
Sustainable Agriculture atau LEISA (Badan Litbang Deptan dan
Pusat Studi Wanita – Universitas
Gadjah Mada, 2000).
Dari kedua konsep di atas
diperoleh tiga ciri teknologi adaptif yaitu
menguntungkan, ramah lingkungan
dan berkelanjutan. Istilah serupa untuk teknologi
adaptif dikemukakan oleh Saragih
(2000) dengan teknologi tepat guna yang
mempunyai empat ciri yaitu: 1)
secara teknis dapat digunakan, 2) secara ekonomis
menguntungkan, 3) secara sosial
budaya dapat diterima dan 4) ramah lingkungan.
Karakteristik teknologi yang
digali dalam penelitian ini adalah teknologi yang
menurut petani merupakan
prioritas dalam meningkatkan produksi padi. Selanjutnya
dari prioritas teknologi yang
dibutuhkan digali informasi teknologi intrinsik (sebagai
contoh dalam diagram dikemukakan
teknologi intrinsik dari varietas). Berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut
dikemukakan paradigma pada Diagram –1.
Penentuan Lokasi
Peningkatan produksi padi baik
melalui produktivitas maupun perluasan areal tanam
lebih tersedia diluar Jawa
(Irawan et al.. 2002). Ditekankan pula bahwa peningkatan
produksi dan produktivitas padi
ladang di luar Jawa yang selama ini belum cukup
mendapatkan perhatian perlu
dicermati karena pangsanya terhadap produksi nasional
menunjukkan peningkatan (tahun
1978-88 =2,4% , 1988-1998 = 3,1%). Selanjutnya
penentuan lokasi dilakukan secara
Multi stage sampling berdasarkan luas areal padi
ladang terluas dan produktivitas
tertinggi. Berdasarkan data statistik (BPS, 2001)
pulau Sumatera mempunyai areal
padi ladang terluas (331.901 Ha), dimana diantara
9 propinsi ternyata Aceh dan
Lampung yang mempunyai produktivitas tertinggi yaitu
sama-sama 24,75 Kw/Ha. Oleh
karena itu Propinsi Lampung dipilih sebagai lokasi
penelitian. Selanjutnya kabupaten
yang dipilih adalah Kabupaten Lampung Tengah
dan Lampung Selatan yang
merupakan wilayah pengembangan dalam rencana
strategis Departemen Pertanian.
5
Diagram 1. Paradigma
kkarakteristik teknologi padi yang dibutuhkan petani
Pendekatan
kultural
Penyesuaian teknologi
modern dgn indigenous
sesuai dgn sosial budaya,
ekonomi dan alam
Pendekatan
struktural
Mendekatkan lembaga terkait
yang diperlukan petani dalam
mengimplementasikan
teknologi
Senders (Program
Teknologi Maju)
Receivers (Petani) dengan
Teknologi Adaptif
KARAKTERISTIK
TENOLOGI PADI YANG DIBUTUHKAN PETANI
Teknis
Mudah diterapkan,
sesuai lahan,
ketersediaan air
iklim
Ekonomis
Untung
Produksi
meningkat,
TK hemat
Sosial
Sesuai adat/ kebiasaan,
rasa
nasi enak , cara
dikuasai
Ramah
lingkungan
Tidak cemari
lingkungan
dll.
Berkelanjutan
Tahan OPT,
tahan kekeringan,
produktivitas
tinggi
Pasca
panen
KEGIATAN USAHA
TANI
CHANNEL
Receivers (Petani) dengan
Teknologi Indigenous
Pola
Tanam
Jumlah
Varietas bibit Olah
lahan
Jarak
tanam
Pengendalian
HPT
Pemupukan
6
Sampel
Sampel adalah petani dalam satu
hamparan yang dipilih secara acak dengan
jumlah 30 orang dan expert sebagai
informan kunci. Kriteria Expert yang dipilih
yaitu 1) Memiliki pengetahuan
tentang teknik budidaya padi yang handal. 2)
Mengetahui permasalahan yang
dihadapi petani dalam mengimplementasikan
teknologi anjuran. Dengan
demikian yang mewakili expert adalah Kepala Cabang
Dinas Pertanian (KCD), Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL), pengurus kelompok
tani dan tokoh masyarakat.
Data
Data dikumpulkan dalam bulan Mei
sampai dengan September 2003
meliputi data sekunder dan
primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi
terkait dan literatur, sedangkan
data primer diperoleh dari wawancara mendalam
dengan petani, experts,
pengamatan lapang serta wawancara dengan petani selain
sampel dengan teknik “complete
observer” saat kunjungan lapang (Sigit, 1999:159).
Analisis Data
Data kuantitatif yang diperoleh
dari petani disajikan dalam bentuk tabel-tabel
silang yang selanjutnya
dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat preferensi petani
terhadap karakteristik teknologi
padi digunakan alat atau teknik Analytical
Hierarchie
Process (AHP)
karena alat utama teknik ini adalah suatu hirarki
fungsional dengan input utama
persepsi petani (Permadi, 1999). Disamping itu AHP
merupakan model yang mempunyai kelebihan
dalam menggabungkan unsur-unsur
kualitatif dan kuantitatif untuk
proses pengambilan keputusan. Untuk menyusun
urutan prioritas banyak pilihan
dengan multi kriteria teknik AHP mengandalkan pada
judgment responden (experts)
yang memiliki informasi. Selain itu AHP juga
memberi perhatian khusus kepada
penyimpangan dan konsistensi, pengukuran dan
saling ketergantungan antara
kelompok elemen strukturnya. Prinsip-prinsip AHP
didahului dengan “perumusan
masalah secara jelas”, yang mencakup dekomposisi,
perbandingan persepsi (comparative
judgment), menyusun prioritas (synthesis of
priority) dan
konsistensi yang logis (logical consistency).
7
Dekomposisi
Memecah persoalan utuh yang akan
dikaji menjadi unsur-unsur, sehingga
tidak dapat dibagi lagi. Hal ini
akan menimbulkan terjadinya strata atau tingkatantingkatan
(hierarchy) dari masalah
tersebut.
Gambar 1. Hirarki alternatif
teknologi
Perbandingan
Persepsi (Comparative Judgment)
Membuat penilaian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat
tertentu dalam kaitannya dengan
strata diatasnya. Hal ini merupakan substansi dari
AHP, karena akan berpengaruh
terhadap prioritas elemen-elemen. Hasilnya disajikan
dalam bentuk pairwise
comparison matrix. Bentuk pertanyaan dalam kuisioner
dapat berbentuk: (1) elemen mana
yang lebih (penting/baik/ disenangi/….), (2)
berapa kali lebih
(penting/baik/disenangi/…). Agar responden dapat menilai atau
memberi judgment yang baik
tentang perbandingan dua elemen, perlu dijelaskan
kriteria.
Sintesis
prioritas
Dari setiap pairwise
comparison matrix dicari eigenvector-nya untuk
mendapatkan prioritas lokal (local
priority). Dari masing-masing prioritas lokal
kemudian disintesiskan untuk
mendapatkan prioritas global (global priority).
Prosedur sintesis dapat
berbeda-beda menurut bentuk hirarkinya dan hal ini dikenal
dengan nama priority setting.
Fokus tujuan
Kriteria
Sub kriteria
Alternatif Alternatif Alternatif
8
Tabel 1. Perbandingan persepsi
dalam memilih suatu teknologi
Tingkat
kepentingan Definisi
1 Sama pentingnya dibanding yang
lain
3 Moderat pentingnya dibanding
yang lain
5 Kuat pentingnya dibanding yang
lain
7 Sangat kuat pentingnya
dibanding yang lain
9 Sangat ekstrim pentingnya
dibanding yang lain
2,4,6,8 Nilai diantara dua elemen
yang berdekatan
Reciprocal
Jika elemen I memiliki salah satu
angka diatas ketika
dibandingkan elemen j, maka j
mempunyai nilai
kebalikannya ketika dibandingkan
elemen I
Sumber: Permadi (1999)
Konsistensi
logis (logical consistency)
Elemen yang sama dapat
dikelompokkan sesuai dengan relevansi dan
keragamannya. Tingkat hubungan
antar elemen dapat digolongkan berdasarkan
krteria tertentu. Misal M = 5 G
dan G = 2 S, maka M = 10 S
Consistency
Index (CI)
merupakan indikator konsistensi jawaban atau judgment
responden dengan rumus:
CI = (Zmax – n)
/ (n-1)
Selanjutnya AHP mengukur seluruh
konsistensi penilaian dengan menggunakan
Consistency
Ratio (CR)
dengan rumus:
CR = CI / Random
Consistency Index
Nilai CR sebaiknya tidak >
10%, jika lebih maka penilaian dilakukan secara random
dan perlu diperbaiki.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Deskripsi
Wilayah Penelitian
Dua kabupaten contoh yang
mewakili Propinsi Lampung adalah Kabupaten
Lampung Tengah dan Kabupaten
Lampung Selatan. Perkembangan luas panen,
produksi dan produktivitas
komoditas padi ladang di Kabupaten Lampung Tengah
9
selama tahun 1997-2001 dan di
Kecamatan Seputih Banyak pada tahun 2001
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Luas
Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Ladang di Kabupaten
Lampung Tengah
pada Tahun 1997 s/d 2001 dan di Kecamatan
Seputih Banyak
pada Tahun 2001
No Uraian
Kabupaten Lampung Tengah Kec.
Sep.
Banyak
1997 1998 1999 2000 2001 2001
1. Luas Panen (ha) 34.130 29.515
19.353 28.456 27.931 4.275
2. Produksi (ton) 119.325 80.887
52.438 78.226 76.652 11.709
3. Produkt. (ku/ha) 34,96 27,41
27,10 27,49 27,44 27,39
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura, Kabupaten Lampung Tengah
Pada tahun 2001, produksi padi di
Kabupaten Lampung Tengah tercatat
sebanyak 437.659 ton. Padi ladang
memberikan kontribusi sebesar 17,5persen
(76.652 ton) dari total produksi
padi di Lampung Tengah. Bila dikaitkan dengan
kecamatan contoh, produksi di
Kecamatan Seputih Banyak merupakan daerah yang
memiliki areal cukup luas untuk
tanaman padi ladang, yaitu menempati 15,30 persen
dari seluruh kabupaten. Disamping
itu bila dilihat dari produktivitas yang diperoleh,
ternyata kecamatan contoh
memiliki produktivitas yang senada dengan rataan
produktivitas kabupaten. Oleh
karena itu kecamatan ini dipilih untuk mewakili lokasi
padi ladang di Kabupaten Lampung
Tengah.
Kecamatan Natar merupakan salah
satu kecamatan di wilayah Kabupaten
Lampung Selatan, terdiri dari 22
desa yang terbagi menjadi 18 Wilayah Binaan
Penyuluh Pertanian (WBPP) dengan
133 pedukuhan dan jumlah kelompok tani: (1)
kelas pemula 97; (2) kelas lanjut
66; (3) kelas madya 12; (4) kelompok petani kecil
2; dan (5) kelompok tani wanita
2. Lembaga ekonomi pendukung yang ada di
wilayah kecamatan adalah Koperasi
Tani 2 unit dan Koperasi Unit Desa 2 unit.
Adapun keragaan padi ladang di
Kecamatan Natar dilihat dari luas tanam,
luas panen, produktivitas dan
produksi disajikan pada Tabel 3. Baik di tingkat
Kabupaten Lampung Selatan maupun
Kecamatan Natar, terlihat bahwa luas tanam
ataupun luas panen dalam kurun
waktu lima tahun sangat fluktuatif. Tingkat
produksi dan produktivitas di
Kabupaten Lampung Selatan cenderung menurun. Hal
yang menarik untuk dicermati
adalah tingkat produktivitas padi ladang pada tahun
10
2002 di Kecamatan Natar relatif
lebih tinggi dibanding Kabupaten Lampung Selatan.
Pada tahun 2002 di Kecamatan
Natar terjadi peningkatan produksi sebesar 2,5 persen
dibanding tahun 2001.
Tabel 3. Keragaan Luas Tanam,
Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi
Ladang di Kecamatan Natar,
Kabupaten Lampung Selatan, 1998-2002
Tahun Luas tanam
(ha)
Luas panen
(ha)
Produktivitas
(ku/ha)
Produksi
(ton)
Kab. Lampung Selatan
1. 1998 13.310 13.310 38,16
50.791
2. 1999 20.454 20.135 38,16
76.835
3. 2000 13.899 10.918 38,16
41.663
4. 2001 13.914 11.542 32,41
45.095
5. 2002 11.715 11.700 32,41
37.920
Kec. Natar
1. 1998 2.059 2.059 35,25 7.258
2. 1999 3.170 3.170 37,87 12.005
3. 2000 1.645 1.016 37,87 3.848
4. 2001 1.647 1.645 32,78 5.392
5. 2002 1.647 1.647 33,57 5.529
Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan
Proses Adaptasi
Teknologi Padi Ladang
Dalam penelitian ini penyampaian
informasi dilihat melalui pendekatan
struktural dan kultural.
Pendekatan struktural dilakukan dengan melalui penyuluhan,
pertemuan kelompok, kunjungan
dari Dinas. Pendekatan kulural dilakukan melalui
arisan, pengajian, kerja bakti
dan upacara adat. Keadaan di lapang menunjukkan
bahwa sebagian besar (84-87%)
dari penyampaian pesan dilakukan melalui
pendekatan kultural (Tabel 4),
yaitu melalui kerja bakti. Selain itu penyampaian
pesan banyak didapatkan petani
melalui silaturahmi dalam bentuk arisan maupun
pengajian atau yang lebih dikenal
dengan Yaasin-an.
Disamping silaturahmi, penduduk
di Lampung Tengah juga mempunyai
sistem kerukunan dalam
berusahatani. Tidak seluruh kegiatan usahatani dikerjakan
dengan imbalan uang, selama antar
keluarga masih bisa saling membantu maka
kegiatan berusahatani tidak perlu
dibayar dengan uang atau diistilahkan petani
setempat dengan “sambatan”.
Sambatan tersebut dilakukan untuk kegiatan tajuk dan
tanam, panen dan bahkan membangun
rumah. Sistem ini
11
Tabel 4. Pendekatan Inovasi
Teknologi Padi Ladang di Propinsi Lampung, 2003
Tahapan usahatani Lampung Tengah
(%) Lampung Selatan (%)
Struktural Kultural Struktural
Kultural
Pola tanam 20 80 10 90
Pemilihan varietas 10 90 14 86
Pengolahan lahan 3 97 3 97
Cara tanam 13 87 0 100
Jarak tanam 13 87 10 90
Jumlah bibit 7 93 13 87
Pengendalian hama penyk 33 67 40
60
Pemupukan 30 70 40 60
Panen 10 90 - 100
Pasca panen 20 80 - 100
Rerata 16 84 13 87
berlaku timbal balik antar
petani. Hal yang sama juga terjadi pada petani di Lampung
Tengah, sambatan juga dilakukan
pada petani di Lampung Selatan terutama yang
menyangkut kegiatan pada waktu
tanam dan panen. Tenaga yang disambat (dimintai
bantuan) tidak diberi imbalan
uang, hanya sekedar makanan dan minuman. Kegiatan
ini juga merupakan ajang difusi
inovasi, sehingga petani dapat memperoleh
informasi teknologi baru, terutama
yang terkait dengan varietas, cara tanam, jarak
tanam, jumlah bibit yang ditanam
per lubang, dan alat yang digunakan untuk panen,
serta penggunaan alat pasca
panen.
Pendekatan stuktural yang
digunakan yaitu melalui media pertemuan
kelompok. Pada pertemuan kelompok
ini PPL hadir (disamping ketua kelompok).
Namun demikian setelah otonomi
daerah, banyak PPL yang pindah ke kantor Dinas,
sehingga kehadiran PPL relatif
berkurang. Kegiatan usahatani yang banyak
dilakukan melalui pendekatan
struktural yaitu pada kegiatan pengendalian hama
penyakit dan pemupukan.
Klasifikasi
Teknologi Padi Ladang
Tabel 5 menyajikan klasifikasi
teknologi yang digunakan oleh petani
responden di Lampung Tengah dan
Lampung Selatan. Teknologi tersebut
diklasifikasikan dalam 3
kategori, yaitu tekologi lokal, teknologi adaptif dan
teknologi maju. Dari data yang
didapatkan menunjukkan bahwa sebagian besar
teknologi yang digunakan di
lokasi penelitian masih menggunakan teknologi lokal,
terutama untuk petani responden
di Lampung Tengah. Teknologi adaptif dan
12
teknologi maju yang digunakan
petani responden di Lampung Selatan lebih banyak
dibanding di Lampung Tengah. Hal
ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi inovasi
untuk Lampung Selatan relatif
lebih cepat.
Tabel 5. Klasifikasi Teknologi
Padi Ladang di Lampung Tengah dan Lampung Selatan,
Propinsi Lampung, 2003
Tahapan usahatani
Lampung Tengah (%) Lampung
Selatan (%)
Lokal Adaptif Maju Lokal Adaptif
Maju
Pola tanam
Pemilihan varietas
Pengolahan lahan
Cara tanam
Jarak tanam
Jumlah bibit
Pengend. hama peny.
Pemupukan
Panen
Pasca panen
80
70
80
93
87
93
53
67
83
57
20
20
13
7
13
7
37
30
10
40
-
7
7
-
-
-
10
3
-
-
57
30
30
67
33
37
10
10
67
50
17
20
37
3
37
27
30
20
10
30
26
47
33
30
30
36
60
70
20
20
Rerata 77 20 3 39 23 38
Pada petani di Lampung Tengah
teknologi lokal yang digunakan masih
memiliki persentase yang tinggi,
terutama pada teknologi cara tanam dan
pengedalian hama penyakit (93%),
jarak tanam (87%), pola tanam dan pengolahan
lahan (80%). Teknologi lokal yang
persentasenya cukup tinggi pada petani di
Lampung Selatan adalah teknologi
cara tanam dan panen (67%)
Teknologi maju pada kegiatan
pengendalian hama penyakit yang telah
dilakukan oleh petani di Lampung
Selatan tercatat sebanyak 60 persen, sementara di
Lampung Tengah baru 10 persen.
Demikian juga untuk kegiatan pemupukan, petani
di Lampung Selatan sudah lebih
maju, yaitu 70 persen sementara di Lampung
Tengah teknologi pemupukan masih
dalam kategori teknologi adaptif, dan hanya 3
persen petani yang telah
menggunakan teknologi maju. Teknologi pemilihan varietas
untuk petani di Lampung Selatan
juga sudah menunjukkan adanya kemajuan di
bidang teknologi. Jumlah petani
yang menggunakan teknologi yang tergolong maju
tercatat sebanyak 47 persen,
sementara yang masih menggunakan teknologi lokal
sebanyak 30 persen dan adaptif
sebanyak 20 persen.
13
Preferensi
Kriteria Teknologi Padi Ladang
Kabupaten
Lampung Tengah
Dari hasil analisis (Tabel 6),
ternyata expert berpandangan bahwa kriteria
berkelanjutan menjadi prioritas
utama dalam memilih suatu teknologi padi, baru
disusul aspek ekonomis, teknis
dan sosial budaya. Hal ini sangat terkait dengan
penanaman padi ladang oleh petani
setempat yang masih bersifat subsisten, belum
berorientasi komersial. Mengingat
padi ladang yang dihasilkan petani digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan pokok,
maka upaya untuk memilih komponen teknologi
yang dapat menghasilkan padi
secara berkesinambungan menjadi tolok ukur
pertama. Aspek ekonomi, terutama
yang terkait dengan biaya produksi menjadi
pertimbangan kedua. Selama ini
petani setempat memang kurang menerima
informasi tentang teknologi padi
ladang, sehingga budidaya yang dilakukan masih
tradisional, dilakukan seadanya,
lebih memerlukan curahan tenaga kerja dibanding
biaya.
Keterbatasan pengetahuan petani
tentang teknologi padi ladang menyebabkan
aspek teknis (kemudahan dalam
menerapkan teknologi, kesesuaian lahan, iklim,
kondisi perairan) hanya berada
pada urutan ketiga. Namun terdapat juga
kecenderungan, penilaian expert
lebih didasari fakta bahwa petani di lokasi
penelitian (sebagian besar
merupakan penduduk pendatang atau transmigran)
memiliki etos kerja yang relatif
tinggi, sehingga kendala-kendala teknis relatif dapat
diatasi. Aspek sosial budaya tampak
menempati urutan terakhir, karena expert dapat
mengukur kemampuan petani dalam
beradaptasi terhadap suatu inovasi. Sebagai
penduduk transmigran, dianggap
lentur, terlihat dari upaya petani dalam mencoba hal
baru yang dinilai bermanfaat.
Secara keseluruhan penilaian expert
tentu berdasarkan pengamatan terhadap
teknik budidaya padi ladang yang
dilakukan petani. Kriteria yang diprioritaskan akan
sangat terkait dengan alternatif
teknologi usahatani.
14
Tabel 6. Preferensi Kriteria
Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung
Tengah, 2003
Kriteria teknologi Bobot
prioritas Peringkat
Ekonomis 0,33 II
Teknis 0,13 III
Sosial/budaya 0,11 IV
Berkelanjutan 0,42 I
Keterangan: Konsistensi (CR) =
0,03
Kabupaten
Lampung Selatan
Berbeda halnya dengan penilaian expert
di Kabupaten Lampung Tengah,
maka tampak pada Tabel 7 bahwa
bila diperkenalkan suatu inovasi atau teknologi
baru di Kabupaten Lampung
Selatan, aspek teknis akan dijadikan indikator utama.
Sekalipun petani berpendapat
bahwa beras sebagai kebutuhan pokok, namun bila
komponen teknologi yang
diintroduksikan relatif sulit, tidak sesuai dengan kondisi
lahan, maka terdapat
kecenderungan petani tidak akan mengadopsi teknologi
tersebut. Apabila petani
menerapkan suatu teknologi baru, maka terlebih dahulu
melihat cara dan perolehan hasil
dari petani lain yang dianggap lebih maju
Tabel 7. Preferensi Kriteria
Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung
Selatan, 2003
Kriteria teknologi Bobot
prioritas Peringkat
Ekonomis 0,30 II
Teknis 0,36 I
Sosial/budaya 0,11 IV
Berkelanjutan 0,22 III
Konsistensi (CR) =0,00
Sementara dari aspek ekonomis
yang menempati urutan kedua, expert
mempunyai wawasan, jika dalam
melakukan penanaman padi ladang diperlukan
biaya yang tinggi, curahan tenaga
kerja yang relatif banyak dibanding menanam
komoditas lain, maka petani akan
cenderung membeli beras daripada menanam padi
sendiri. Mengingat komoditas
jagung dinilai lebih menguntungkan petani, baik dari
segi pendapatan yang diperoleh
maupun pemeliharaan yang mudah, sehingga
menghemat curahan tenaga kerja.
Kriteria keberlanjutan relatif
lebih dominan dibanding aspek sosial budaya.
Hal ini tercermin dari pilihan
petani terhadap varietas yang akan ditanam. Jenis padi
yang tahan kekeringan dan tahan
hama penyakit akan dipilih petani dibanding jenis
15
padi dengan rasa nasi yang enak.
Varietas dengan tingkat produktivitas tinggi
cenderung akan terus
dipertahankan petani untuk ditanam.
Karakteristik
Komponen Teknologi yang Dibutuhkan Petani
Pada periode tahun 1980-an telah
dilaksanakan penelitian Sistem Usaha Tani
(SUT) terpadu yang terdiri dari
lima tahap: (1) penentuan lokasi penelitian sekaligus
melakukan karakterisasi yang
meliputi aspek tanah, iklim, dan lingkungan sosial
ekonomi untuk menentukan
prioritas pemecahan masalah yang dihadapi petani; (2)
pemilihan komponen teknologi
berdasarkan prioritas permasalahan dan diperkirakan
dapat menjawab permasalahan yang
dihadapi petani; (3) pelaksanaan lapangan,
termasuk evaluasi respon petani
terhadap teknologi yang sedang diuji; (4) modifikasi
teknologi berdasarkan kelemahan
yang dijumpai dan disesuaikan dengan respon
petani; (5) penyusunan
rekomendasi alternatif teknologi berdasarkan kesesuaiannya
dengan kondisi agroekosistem
setempat dan respon petani (Adnyana, 1999).
Selanjutnya pada periode 1990-an
telah diperkenalkan Integrated Swamps
Development
Project (ISDP),
juga Sistem Usaha Tani Padi Berorientasi Agribisnis
(SUTPA). Namun demikian dari
aspek teknologi masih ditemukan berbagai
kendala, antara lain: (1) tidak
semua komponen teknologi yang diintroduksikan dapat
diterima oleh petani, karena
rendemen rendah (56-60%), varietas yang ditanam
mudah rebah sehingga kualitas
gabah menurun, (2) alat tanam Atabela ditolak oleh
petani karena terlalu berat dan
jatuhnya benih tidak teratur, dan (3) penggunaan
amiloran seperti kapur
dan posfat alam sekalipun hasilnya baik namun
penyediaannya sulit (Adnyana,
dkk. 1998).
Hasil temuan tersebut memperkuat
sinyalemen para pakar bahwa teknologi
yang diciptakan masih belum
sepenuhnya diadopsi petani. Dalam penelitian ini
komponen teknologi yang dipilih
petani didukung dengan informasi mengenai
karakteristik intrinsik yang
menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Terdapat delapan
komponen teknologi, dari mulai pola tanam sampai
dengan pasca panen. Sistem tanam
dan panen tidak dimasukkan dalam komponen
teknologi yang dianalisis dengan
model AHP, mengingat variasi dalam sistem tanam
tidak beragam. Petani ladang
menanam benih padi dengan cara tugal dan melakukan
kegiatan panen menggunakan sabit.
16
Kabupaten
Lampung Tengah
Dari keseluruhan kriteria,
prioritas global di Kabupaten Lampung Tengah
yang dinyatakan oleh expert disajikan
pada Tabel 8. Tampak bahwa prioritas
pertama, kedua dan ketiga masing-masing
adalah pemupukan, pengendalian hama
dan pasca panen. Secara teoritis,
padi ladang memerlukan pupuk N, P dan K.
Adapun dosis pemupukan
disesuaikan dengan rekomendasi setempat. Komposisi
pupuk N, P dan K secara umum
adalah 90 kg N, 60 kg P2O5 dan 50 kg K2O per ha
(Direktorat Jenderal Bina
Produksi Tanaman Pangan, 2002). Pupuk P dan K
diberikan sebagai pupuk dasar,
yaitu pada waktu pengerjaan tanah terakhir atau pada
saat penugalan. Pupuk N sebagai
urea diberikan masing-masing 50% pada waktu
tanaman berumur satu bulan dan
pada waktu menjelang keluarnya primordia (umur 2
bulan). Apabila digunakan pupuk
majemuk NPK disamping urea, maka seluruh
pupuk NPK diberikan sebagai pupuk
dasar, sedangkan pupuk urea diberikan masingmasing
50% pada umur 1 bulan dan 2 bulan
(Direktorat Jenderal Bina Produksi
Tanaman Pangan, 2002).
Rekomendasi tersebut masih bersifat umum, dan untuk
memperoleh rekomendasi spesifik
lokasi maka diperlukan penelitian dan pengkajian
tersendiri.
Tabel 8. Hasil Analisis Penentuan
Prioritas Global dari Alternatif Teknologi Padi Ladang
Berdasarkan Semua Kriteria di
Kabupaten Lampung Tengah, 2003
Komponen teknologi
Bobot masing-masing kriteria
Prioritas
Ekonomis Teknis Sosial/ Global
Peringkat
budaya
Berkelanjutan
Pola tanam 0,05 0,05 0,05 0,12
0,08 V
Varietas 0,08 0,07 0,06 0,11 0,09
IV
Pengolahan lahan 0,09 0,12 0,12
0,06 0,08 VI
Jarak tanam 0,06 0,06 0,07 0,09
0,07 VII
Jumlah bibit 0,05 0,04 0,05 0,09
0,07 VIII
Pengendalian HPT 0,18 0,27 0,22
0,17 0,19 II
Pemupukan 0,30 0,22 0,23 0,20
0,24 I
Pasca panen 0,20 0,17 0,21 0,17
0,19 III
Selain itu, pemanfaatan pupuk
organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman
dan kotoran hewan, seperti pupuk
kandang, pupuk hijau, kompos dan night soil juga
dapat direkomendasikan
takarannya. Hal ini mengingat di lokasi penelitian, banyak
petani yang memiliki ternak,
seperti kambing, sapi ataupun kerbau yang digunakan
sebagai tenaga bajak. Penggunaan
pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik dan
kimiawi tanah, struktur tanah,
daya meresap air serta daya mengikat air oleh tanah.
17
Teknologi pemupukan yang
dilakukan petani di Lampung Tengah belum
sesuai dengan teknologi anjuran.
Gambaran rinci komposisi setiap jenis pupuk telah
diuraikan pada bagian sebelumnya.
Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa petani dalam
melakukan pemupukan masih
berorientasi pada alasan ekonomi. Faktor keterbatasan
modal merupakan kendala sebagian
besar petani responden atau sekitar 60 persen
(Tabel 9) dalam menerapkan
teknologi pemupukan. Sekalipun disadari oleh 17
persen petani responden bahwa pemupukan
berimbang akan meningkatkan produksi.
Dengan demikian, dalam
merekomendasikan teknologi pemupukan perlu
memperhatikan keterbatasan modal
petani, sehingga pemanfaatan pupuk alternatif
seperti pupuk organik perlu
digalakkan.
Pengendalian hama penyakit yang
menjadi prioritas kedua dapat dilakukan
dengan menggunakan konsep/sistem
pengendalian hama terpadu (PHT).
Pemberantasan dengan pestisida
dapat direkomendasikan bila tingkat serangan
berada diambang ekonomi. Untuk
itu pengamatan secara intensif terhadap serangan
hama penyakit perlu dilakukan
dengan bimbingan dari Pengamat Hama Penyakit
(PHP). Selain itu, informasi
mengenai jenis pestisida dan takaran penggunaannya
serta sumber perolehan pestisida
perlu disampaikan kepada petani. Pestisida palsu
banyak beredar di pasaran karena
harga pestisida memang relatif mahal. Untuk itu,
peran PPL perlu ditingkatkan
terutama yang berkaitan dengan frekuensi dan
intensitas penyuluhan.
Sama halnya dengan pemupukan, 43
persen responden mengemukakan,
alasan ekonomi (yang terkait
dengan keterbatasan modal) menjadi kendala petani
dalam menerapkan teknologi
pengendalian hama penyakit (Tabel 9). Dengan kondisi
demikian, maka konsep PHT sangat
relevan, sepanjang komponen teknologi yang
diperkenalkan kepada petani tidak
memerlukan biaya yang besar.
Teknologi pasca panen menjadi
prioritas ketiga, terutama yang menyangkut
pengadaan alat/mesin, seperti
alat perontok padi (thresher), lantai penjemuran dan
mesin penggilingan padi. Beberapa
anjuran seperti; (1) perontokan dilakukan di
ladang secepatnya setelah panen,
(2) menggunakan alas untuk menghindari
hilangnya gabah pada saat
melakukan perontokan dengan cara menghempas, dan (3)
segera melakukan pengeringan
gabah, telah dilaksanakan petani. Namun
pengetahuan petani tentang kadar
air gabah sewaktu akan disimpan, belum diketahui
petani. Rekomendasi Direktorat
Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan (2002),
18
pengeringan yang baik dilakukan
hingga kadar air gabah mencapai 14 persen, agar
gabah tidak rusak sewaktu
disimpan.
Penjemuran pada cuaca cerah
dilakukan dengan tingkat ketebalan lapisan
gabah 5-7 cm dan berulang kali
dibolak balik (1-2 jam sekali). Adapun alasan petani
responden dalam menerapkan
teknologi pasca panen, lebih banyak dikarenakan
aspek ekonomis (39%), seperti
resiko kehilangan hasil rendah sehingga produksi
menjadi tinggi. Alasan sosial
budaya, berupa kesesuaian dengan adat/kebiasaan dan
penguasaan cara pasca panen
mencapai 37 persen, sedangkan kesesuaian alsin (aspek
teknis) 24 persen (Tabel 9).
Kabupaten
Lampung Selatan
Dari alternatif teknologi padi,
prioritas pertama dan kedua di Kabupaten
Lampung Selatan berupa pemupukan
dan pengendalian hama penyakit, sama dengan
prioritas di Kabupaten Lampung
Tengah. Fenomena ini mengindikasikan bahwa
komoditas padi ladang memerlukan
introduksi teknologi pemupukan spesifik lokasi
dengan memanfaatkan pupuk organik
dan pengendalian hama penyakit melalui
konsep PHT. Untuk prioritas
ketiga tampak perbedaan preferensi, di Kabupaten
Lampung Selatan berupa varietas,
sedangkan Kabupaten Lampung Tengah lebih
memilih teknologi pasca panen.
Ternyata ketiga prioritas
tersebut muncul, karena terkait erat dengan
permasalahan yang dihadapi petani
padi ladang di Kabupaten Lampung Selatan,
yaitu: (1) pemupukan tepat waktu,
tepat cara, tepat dosis dan tepat jenis relatif
rendah, (2) pemanfaatan pupuk
organik (pupuk kandang, kompos, bogasi) relatif
rendah, (3) geropyokan tikus
secara rutin masih jarang dilakukan, (4) tingkat
pengendalian gulma relatif
rendah, (5) pergiliran varietas masih jarang dilakukan.
19
Tabel 9. Alasan Intrinsik Petani
dalam Menerapkan Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung Tengah, 2003
Tahap
usahatani
Alasan ekonomi Teknis Sosial
budaya Keberlanjutan
Total
Modal Produk
tinggi
Kualitas
padi
baik
Untung TK lebih
hemat
Biaya
hemat
Sesuai
lahan
Sesuai
air
Resiko
kecil
Mudah Sesuai
alsin/
pupuk/
pestisida
Adat/
kebiasaan
Rasa nasi
enak
Cara
dikuasai
Tahan
OPT
Tahan
kekeringan
Produktivitas
tinggi
Pola tanam
Varietas
Olah lahan
Cara tanam
Jarak tanam
Jumlah bibit
PHT
Pemupukan
Panen
Pasca panen
-
-
-
-
-
7
43
60
-
-
7
-
-
-
-
23
17
17
-
13
-
-
10
-
-
-
3
-
-
-
3
-
-
-
-
-
-
-
34
26
-
-
23
17
-
-
-
3
-
-
-
10
17
27
3
3
-
-
-
-
63
-
7
7
3
-
-
-
-
-
27
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7
-
13
27
10
3
10
-
-
-
-
-
-
-
-
13
7
26
24
-
-
10
23
33
43
-
-
33
27
-
17
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10
7
14
-
4
-
7
10
-
53
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13
23
6
20
14
17
3
-
-
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
20
Dalam pengadaan saprodi, terutama
yang terkait dengan pengadaan pupuk,
peran tengkulak/pedagang jagung
sangat penting bagi petani. Pupuk untuk
tanaman padi ladang diperoleh
dengan cara berhutang pada pedagang jagung dan
dibayar setelah petani panen
jagung, sehingga jenis maupun takaran pupuk yang
akan digunakan, ditentukan oleh
ketersediaan pupuk di pedagang jagung. Kondisi
ini menunjukkan bahwa petani
lebih mengandalkan pendapatannya dari usahatani
komoditas jagung daripada padi.
Tabel 10. Hasil Analisis Penentuan
Prioritas Global dari Alternatif Teknologi
Padi Ladang Berdasarkan Semua
Kriteria di Kabupaten Lampung
Selatan, 2003
Komponen teknologi
Bobot masing-masing kriteria
Prioritas
Global
Pering-
Ekonomis Teknis Sosial/ kat
budaya
Berkelanjutan
Pola tanam
Varietas
Pengolahan lahan
Jarak tanam
Jumlah bibit
Pengendalian HPT
Pemupukan
Pasca panen
0,10
0,14
0,08
0,06
0,10
0,16
0,23
0,13
0,10
0,10
0,08
0,06
0,09
0,19
0,29
0,09
0,13
0,21
0,11
0,08
0,06
0,16
0,21
0,06
0,18
0,12
0,06
0,10
0,07
0,21
0,19
0,07
0,12
0,13
0,08
0,07
0,09
0,18
0,24
0,09
IV
III
VII
VIII
VI
II
I
V
Varietas unggul maupun lokal yang
banyak ditanam petani adalah IR-64
dan Rojolele. Alasan yang
dikemukakan petani responden dalam memilih jenis
tersebut (Tabel 11) lebih
disebabkan oleh aspek keberlanjutan, yaitu produktivitas
yang tinggi (47 %), tahan
kekeringan (26 %) dan tahan organisme pengganggu
tanaman (10 %), sedangkan dari
aspek sosial budaya, rasa nasi enak atau tekstur
nasi pulen (17 %).
Penggunaan benih berlabel telah
banyak dilakukan petani, namun hasil
yang diperoleh relatif kurang
memadai. Rataan tingkat produktivitas yang dicapai
petani berkisar antara 2,5 – 3,5
ton/ha. Degradasi benih juga terjadi, mengingat
masih banyak dijumpai petani yang
menggunakan benih buatan sendiri.
21
Tabel 11. Alasan Intrinsik
Menerapkan Teknologi Padi Ladang di Kabupaten Lampung Selatan, 2003
Tahap
usahatani
Alasan ekonomi Teknis Sosial
budaya Berkelanjutan
Total
Modal Produk
tinggi
Kualitas
padi
baik
Untung TK lebih
hemat
Biaya
hemat
Sesuai
lahan
Sesuai
air
Resiko
kecil
Mudah Sesuai
alsin/
pupuk/
pestisida
Adat/
kebiasaan
Rasa nasi
enak
Cara
dikuasai
Tahan
OPT
Tahan
kekeringan
Produktivitas
tinggi
Pola tanam
Varietas
Olah lahan
Cara tanam
Jarak tanam
Jumlah bibit
PHT
Pemupukan
Panen
Pasca panen
-
-
-
-
-
-
20
23
-
-
7
-
-
-
-
60
50
60
-
10
-
-
37
14
10
-
3
-
-
-
-
-
-
-
-
20
-
-
13
27
-
-
3
7
13
-
-
-
14
-
-
-
7
7
3
-
-
-
-
-
34
-
24
10
3
-
-
-
-
-
56
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
7
10
4
7
-
-
-
-
7
3
-
-
7
-
27
13
3
-
10
30
10
10
-
-
43
43
-
17
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7
3
-
-
3
-
3
7
-
10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
26
-
-
-
-
-
-
-
-
-
47
5
23
54
-
13
10
-
-
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
22
Sintesa
Preferensi Petani Terhadap Teknologi Padi
Dari banyak kajian yang telah
dilakukan, ditunjukkan bahwa sumber
modal usahatani petani sebagian
besar berasal dari modal sendiri atau meminjam
dari sumber kredit non-formal
(Hermanto dan Syukur, 1999; Djulin dkk., 1997).
Demikian halnya dengan kondisi
petani di lokasi penelitian. Padahal sebenarnya
petani sangat memerlukan kredit
untuk mendukung usahataninya. Penguasaan
lahan yang relatif sempit
menyebabkan tingkat keuntungan usahatani juga relatif
rendah, sehingga akumulasi modal
juga rendah. Dalam kondisi demikian,
ketersediaan sumber permodalan
berupa kredit menjadi sangat penting.
Tabel 12. Prioritas Kriteria
dalam Memilih Suatu Teknologi Padi Ladang di
Lokasi Penelitian, 2003
Kriteria
Bobot prioritas
Lampung Tengah Lampung Selatan
Ekonomis 0,33 0,30
Teknis 0,13 0,36
Sosial budaya 0,11 0,11
Berkelanjutan 0,42 0,22
Kriteria berkelanjutan ternyata
merupakan prioritas pertama yang menjadi
acuan dalam memilih komponen
teknologi padi ladang (Kabupaten Lampung
Tengah). Hal ini terkait dengan
hasil pengamatan di lapang yang menemui
berbagai keluhan dari para petani
dalam berusahatani padi, seperti harga saprodi
(terutama pupuk dan pestisida) di
pasaran relatif tidak terjangkau petani, alat
mesin pertanian (alsintan) tidak
tersedia; walaupun disadari bahwa alsintan dapat
meningkatkan efisiensi usahatani
padi. Agar keberadaan padi ladang dapat terus
berkelanjutan, sehingga dapat
memberikan sumbangan terhadap total produksi
padi nasional, perlu dilakukan
beberapa upaya: (1) penggunaan pupuk organik
sebagai substitusi pupuk
anorganik, sehingga biaya produksi di tingkat petani
dapat diturunkan, dan (2)
penyediaan kredit alsintan untuk pengadaan alat
perontok padi (power thresher)
dan alat penggilingan padi (huller).
Penggunaan pupuk organik di
tingkat petani sangat diperlukan, selain
dapat menghemat biaya, juga
bersifat ramah lingkungan. Disamping itu harga jual
gabah yang berlangsung saat ini
di Lampung ternyata lebih rendah dibandingkan
23
dengan harga dasar pembelian
pemerintah (HDPP) yang ditetapkan. Dalam
kondisi demikian pendapatan
usahatani dapat ditingkatkan apabila biaya produksi
dapat diturunkan. Disamping itu,
pendapatan usahatani juga dapat ditingkatkan
melalui penurunan tingkat
kehilangan hasil. Dari hasil pengamatan lapang
menunjukkan bahwa tingkat
kehilangan hasil di daerah ini mencapai sekitar 24-28
persen. Dengan menggunakan alat
perontok padi dan alat penggilingan padi yang
baru, tingkat kehilangan hasil
ini diharapkan dapat diturunkan.
Penyediaan alat perontok padi
dalam bentuk kredit dapat diberikan kepada
kelompok tani. Sementara itu,
penyediaan alat penggilingan padi baru ditujukan
terhadap penggilingan padi yang
berada di lokasi penelitian, yang umumnya
masih menggunakan penggilingan
padi yang sudah tua. Apabila peremajaan
penggilingan padi ini dapat
dilakukan, maka tingkat produksi beras dapat
ditingkatkan.
Kriteria utama pada padi ladang
di Lampung Selatan adalah aspek teknis.
Dengan demikian fokus perhatian
dalam memilih teknologi terletak pada teknik
aplikasi, seperti kemudahan dalam
penerapan, kesesuaian dengan kondisi
agroekologi, termasuk kondisi
lahan yang berada di lereng dan perbukitan.
Selama ini petani di lokasi
penelitian menilai bahwa pemeliharaan padi ladang
relatif lebih rumit dibandingkan
jagung ataupun singkong. Selain itu, dari segi
pendapatan komoditas jagung
ataupun singkong lebih dapat diandalkan. Untuk
itu upaya yang perlu dilakukan
dalam mengintroduksikan inovasi teknologi padi
ladang adalah: (1) melakukan
analisis tanah untuk menentukan takaran
pemupukan, (2) pengendalian hama
penyakit menganut pada prinsip pengendalian
hama terpadu, dan (3)
mengintroduksikan alsintan berupa alat perontok padi dan
penggilingan padi. Mengingat padi
ladang diusahakan di lahan kering yang
selama ini dianggap sebagai
sumberdaya yang tidak produktif atau bahkan
dianggap sebagai lahan marjinal,
maka cara pandang tersebut perlu diubah dengan
memposisikan lahan kering sebagai
sumberdaya pertanian yang potensial.
24
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Cara petani mengadaptasikan
teknologi lokal dengan anjuran melalui
pendekatan kultural dengan sumber
informasi mengenai teknologi padi
diperoleh secara turun temurun
(40-47%) ataupun dari sarana petani/tetangga
(40-41%). Kendala yang ditemui
petani dalam melakukan usahatani padi
berkaitan dengan keterbatasan
modal, harga saprodi (benih berlabel, pupuk
dan pestisida) yang relatif
tinggi sehingga sulit dijangkau petani.
2. Teknologi yang diterapkan
petani dari mulai penentuan pola tanam, pemilihan
varietas, pengolahan lahan, cara
tanam, jarak tanam, penentuan jumlah bibit
yang ditanam, pengendalian hama
penyakit, pemupukan, cara panen sampai
penanganan pasca panen dapat
diklasifikasikan dalam: (1) teknologi lokal (39-
77%), (2) teknologi adaptif
(20-23%), dan teknologi maju (3-38%).
3. Kriteria teknologi padi yang
merupakan preferensi petani diutamakan bersifat
ekonomis dengan bobot prioritas
0,33; berkelanjutan (0,32); teknis (0,23) dan
sosial budaya (0,12). Komponen
teknologi padi yang diprioritaskan petani :
(1) pemupukan, (2) pengendalian
hama penyakit, dan (3) pasca panen;
masing-masing dengan bobot
prioritas 0,24; 0,19 dan 0,13.
4. Karakteristik teknologi padi
ladang yang dibutuhkan petani berupa teknologi:
(1) pemupukan = biaya/modal yang
rendah (23-60%), tingkat produktivitas
tinggi (17-60%), mudah diterapkan
(7-10%), sarana tersedia di pasaran (7%),
dan hemat tenaga kerja (3%); (2)
pengendalian hama penyakit = biaya/modal
yang rendah (20-43%), tingkat
produktivitas tinggi (17-50%), sarana tersedia
di pasaran (13%); (3) pasca panen
= sesuai dengan adat/kebiasaan (27-43%),
tingkat kehilangan hasil
rendah/keuntungan tinggi (26-27%), sesuai dengan
ketersediaan alat (13-24%),
tingkat produktivitas tinggi (10-13%), cara
penanganan dikuasai (7%).
25
Implikasi
Kebijakan
1. Untuk meningkatkan produksi
padi, secara umum masih sangat ditentukan
oleh pengaturan dan ketersediaan
air. Khusus di lokasi penelitian, untuk
ladang, dapat diperkenalkan
teknologi embung.
2. Untuk menghasilkan teknologi
tepat guna perlu didasarkan pada falsafah,
tradisi dan aspek sosial lain
yang menjadi motivator gerak masyarakat.
3. Perlu disosialisasikan
varietas padi yang mempunyai ciri-ciri beresiko kecil
terhadap serangan hama penyakit
dan kekeringan atau terlalu banyak air,
hemat tenaga kerja, hemat biaya,
mudah dibudidayakan, mempunyai produksi
tinggi, bertekstur pera dan rasa
nasi enak. Cara mensosialisasikan varietas
yang efektif adalah melalui
demonstrasi di hamparan sawah milik petani.
4. Perlu disosialisasikan pupuk
yang mempunyai kriteria harga murah, produksi
tinggi, tenaga kerja lebih hemat,
mudah diterapkan, tersedia di pasar dan
menjamin produksi berkelanjutan.
Pupuk alternatif bokasi oleh petani masih
dirasakan mahal dan rumit,
sedangkan alat Bagan Hijau Daun dan P-starter
dirasakan sudah mampu mengurangi
jumlah pupuk yang diperlukan.
Pengenalan organic farming perlu
terus digalakkan dan terobosan untuk
menghasilkan pupuk yang memiliki
kriteria yang telah dikemukakan perlu
ditindaklanjuti. Sambil menunggu
terobosan teknologi pupuk harga pupuk dan
harga dasar gabah perlu
diperbaiki. Pendekatan inovasi teknologi pemupukan
yang efektif perlu dilakukan
melalui demonstrasi di hamparan sawah petani.
5. Diperlukan teknologi
pengendalian hama penyakit yang secara teknis mudah
diimplementasikan, terutama untuk
hama kepinding tanah, tikus dan penyakit
blast.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, MO. 1999. Evolusi
Metodologi dan Profil Penelitian Sistem Usahatani
dan Sistem Usaha Pertanian. Dalam
Adnyana, MO., P. Simatupang, A.
Dimyati dan MR. Darmawiredja
(Penyunting). Pengkajian SUTPA :
Konsep, Keragaan Empiris dan Prospek.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
26
Badan Litbang Pertanian – Deptan
dan Pusat Studi Wanita Universitas Gajah
Mada. 2000. Modul Lokakarya
Peningkatan Pemahaman SAGA dalam
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Yogyakarta, 12-19 Maret.
Badan Pusat Statistik Propinsi
Lampung bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Propinsi
Lampung. 2002. Produksi Tanam Padi dan
Palawija Propinsi Lampung
1996-2000 (ATAP), 2001 (ARAM). Bandar
Lampung.
Badan Pusat Statistik. 2001.
Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Jakarta.
Balai Penyuluhan Pertanian
Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan.
2000. Program Penyuluhan
Pertanian Kecamatan Natar, Kabupaten
Lampung Selatan. TA. 2000. Natar.
Departemen Dalam Negeri. 2001.
Profil Desa/Kelurahan. Daftar Isian Data Dasar
Profil Desa/Kelurahan.
Depaertemen Pertanian. 2001.
Pedoman Umum Proyek Pengembangan
Ketahanan Pangan Tahun Anggaran
2000. Jakarta.
Departemen Pertanian dan Pusat
Studi Wanita Universitas Gajahmada. 2000.
Modul Lokakarya Peningkatan
Pemahaman Saga dalam Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Jogyakarta. 12 – 19 Maret.
Direktorat Jenderal Bina Produksi
Tanaman Pangan. 2002. Usahatani Padi Gogo
dengan Teknologi Budidaya Lorong.
Jakarta.
Direktorat Jendral Bina Produksi
Tanaman Pangan. 2002. Program
Pengembangan Agribisnis Tanaman
Pangan Tahun, 2002. Departemen
Pertanian.
Djulin, A., R. Hendayana, Handewi
P.S., M. Iqbal Rafani, Syahyuti, Soentoro,
dan Rudy S. Rivai. 1997. Analisis
Adopsi Teknologi (Dampak Perubahan
Teknologi terhadap Daya Saing
Komoditas Pertanian dan Pendapatan
Petani). Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
Fagi, A.M., S. Abdulrachman dan
A. Gani. 2002. Teknologi Budidaya Padi.
Perkembangan dan Peluang.
Hermanto dan M. Syukur. 1999.
Aspek Sosial Ekonomi dalam Introduksi dan
Teknologi. Dalam Adnyana,
MO., P. Simatupang, A. Dimyati dan MR.
Darmawiredja (Penyunting).
Pengkajian SUTPA : Konsep, Keragaan
Empiris dan Prospek. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan
Litbang Pertanian. Bogor.
Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Selatan. Sekretaris Daerah Kabupaten.
2002. Peta Desa dan Potensi Desa
Rulung Helok. Bagian Pemerintahan
Desa/Kelurahan.
Pemerintah Kabupaten Lampung
Selatan. Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura. 2002. Laporan
Tahunan 2002. Kalianda.
Permadi, B. 1992. “AHP”.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - Pusat Antar
Universitas – Studi Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta. pp. 163
27
Popkin, L. Samuel. 1979. The
Rationale Peasant. Univ. of California Press.
Berkey and L.A. Caligornia.
London-England.
Rogers dan Schoemaker dalam Hanafi
1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru.
Penerbit Usaha Nasional.
Surabaya.
Saragih, B. 2000. Peranan
Teknologi Tepat Guna dalam Pembangunan Sistem
Agribisnis Kerakyatan dan
Berkelanjutan. Seminar II Teknologi Tepat
Guna. Bandung. November.
Sigit, Soekardi. 1999. Pengantar
Metode Penelitian Sosial, Bisnis dan
Managemen. Fakultas Ekonomi
Universitas Sarjanawiyata. Tamansiswa.
Yogyakarta.
Simatupang, P. 1999. Kebijakan
Produksi dan Penyediaan Pangan. Makalah
‘Round Table Discussion’
Dok-3. Kantor Menteri Negara Pangan dan
Hortikultura. Jakarta. 23 Juni.
Simatupang, P. dan N. Syafa’at.
1999. Esensi Aspek Sosial Ekonomi dalam
Penciptaan Teknologi Pertanian..
Makalah ‘Round Table Discussion’ Dok-
3. Kantor Menteri Negara Pangan
dan Hortikultura. Jakarta. 23 Juni.
Tubbs, L. Stewart dan S. Moss.
2000. Human Communication. Mc. Graw-Hill,
Inc. Singapore. 314pp.
Wahyuni, S. 2002. Meningkatkan
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Pertanian Melalui Pendekatan
kultural dan struktural. Seminar Nasional
Menggalang Masyarakat Indonesia
Baru yang Berkemanusiaan. Ikatan
Sosiologi
Indonesia. Bogor.
Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
ReplyDeleteTerima kasih, Busarakham.