Semula banyak pihak yang berpandangan bahwa pemanasan global
merupakan persoalan di awang-awang. Persoalan nun jauh di sana, di
Kutub Utara. Dampak yang akan dialami pun beberapa puluh tahun
mendatang dan akan menimpa cicit atau setidaknya cucu kita.
Namun, pandangan ini perlahan mulai berubah. Ternyata pemanasan
global yang menyebabkan perubahan iklim merupakan persoalan konkret
yang terjadi di tengah-tengah kita. Peristiwanya pun sedang berlangsung
sekarang.
Cuaca yang tidak menentu, curah hujan yang tinggi, ombak besar,
banjir, dan berbagai bencana alam yang datang merupakan salah satu
ciri-cirinya. Intensitas bencana maupun frekuensinya pun semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
"Kejadian-kejadian ini cukup menyadarkan masyarakat bahwa dampak
pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mulai terjadi di
tengah-tengah kita," ungkap Dr Heru Santoso, Koordinator untuk Asia,
Proyek Hutan Tropis dan Adaptasi Perubahan Iklim, Center for
Internationl Forestry Research (CIFOR) yang berkedudukan di Bogor.
Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, intensitas
maupun frekuensi bencana memang meningkat. Berdasarkan catatan Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), periode tahun
2003-2005, tercatat 1.429 kejadian bencana di Tanah Air dan sekitar
53,3 persen di antaranya berkaitan dengan bencana iklim hidrologi,
seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan.
"Jika dibandingkan dengan kejadian-kejadian bencana pada tahun
1950-1960-an, peningkatannya sekitar empat kali lipat," tutur Rizaldi
Boer, Kepala Laboratorium Klimatologi Geomet-Fakultas MIPA Institut
Pertanian Bogor.
Banyaknya bencana ini, jika dibandingkan dengan tahun 1950-an, biaya
ekonominya meningkat sekitar 14 kali lipat. Ini membuktikan, selain
frekuensinya meningkat, intensitasnya juga lebih tinggi dari
tahun-tahun sebelumnya.
Berdampak luas
Bagi Indonesia, pemanasan global ini akibatnya tidak bisa dibilang
enteng karena akan berdampak sangat luas. Saat ini saja, menurut Heru
Santoso, rata-rata tahunan curah hujan di beberapa wilayah mengalami
penurunan, sedangkan di wilayah lain justru mengalami peningkatan.
Selain itu, masa musim hujan dan musim kemarau juga mengalami
pergeseran.
"Akibatnya, sumber daya air akan menjadi masalah. Akan terjadi
defisit air di sejumlah wilayah yang rata-rata curah hujannya menurun,"
kata Heru.
Defisit air bukan hanya berpengaruh langsung pada sektor pertanian,
tetapi juga pada sektor energi karena berkurangnya pasokan air untuk
pembangkit listrik tenaga air.
Selain berbagai dampak tersebut, pemanasan global juga akan
berdampak pada sektor kehutanan, kelautan, keanekaragaman hayati serta
dampak sosial-ekologis lainnya. Namun, yang paling mencemaskan, dampak
langsung pada manusia. Laju pemanasan global yang terlalu cepat akan
mengancam kehidupan manusia karena manusia akan sulit beradaptasi.
"Kenaikan suhu global pada abad yang lalu mencapai 0,74 derajat
Celsius. Jika tak ada usaha mengurangi emisi gas rumah kaca, laju
tersebut akan meningkat menjadi 0,2 derajat Celsius per dekade atau
tiap sepuluh tahun," ujar Heru Santoso dari CIFOR.
Estimasi model dari beberapa skenario emisi gas rumah kaca
memperlihatkan kenaikan sebesar 1,8º C hingga 4º C pada tahun 2100.
Sungguh angka yang mengerikan.
Karena tingginya laju pemanasan global ini, sejumlah negara sepakat
meredam laju kenaikan suhu global agar tidak lebih dari 2º C dari suhu
rata-rata sebelum era industrialisasi (tahun 1860). Salah satu caranya
adalah melalui penurunan emisi gas rumah kaca (karbon) sebesar 20-30
persen pada tahun 2020, serta 60-90 persen pada tahun 2050.
"Namun, itu bukan hal gampang. Jepang saja sekarang makin tinggi.
Padahal, Jepang targetnya 6 persen di bawah level 1960," kata Rizaldi
Boer.
Pertanian terpukul
Indonesia juga tak terlepas dari dampak langsung perubahan iklim
ini. Sebagai contoh, El-Nino yang siklusnya antara 4-7 tahun sekarang
makin sering terjadi. Selain tahun 1991, El-Nino juga terjadi tahun
1994, 1997, 2002, 2203, 2006. "Berarti dalam tempo 12 tahun sudah
terjadi enam kali El-Nino. Frekuensi yang sangat sering," ungkap
Rizaldi Boer.
Perubahan iklim yang berlangsung selama ini terbukti telah
berpengaruh langsung pada sektor pertanian. Produksi beras nasional,
misalnya, antara tahun 1980-1990 rata-rata turun sekitar 100.000 ton
per tahun. Adapun kurun waktu 1990-2000 turun rata-rata 300.000 ton per
tahun.
Penurunan produksi ini berpengaruh langsung pada tingkat
kesejahteraan petani. Sebagai contoh, dari hasil penelitian di sentra
produksi beras Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ketika terjadi El-Nino
tahun 2002- 2003, jumlah keluarga prasejahtera langsung naik sekitar 14
persen. "Ini disebabkan petani yang gagal panen tidak lagi memiliki
pendapatan," kata Rizaldi Boer.
Perubahan iklim diperkirakan akan semakin parah pada masa-masa
mendatang. Karena itu, pemerintah harus segera menyusun kebijakan yang
adaptif terhadap perubahan iklim. Misalnya, musim tanam tidak lagi bisa
berpatokan pada anggapan dulu, yakni musim hujan setiap Oktober-Maret
dan musim kemarau setiap April-September.
"Sektor pertanian memang perlu mendapat perhatian serius karena
sangat rentan terhadap perubahan iklim," kata Irsal Las, profesor
peneliti yang juga Direktur Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Lahan Pertanian Departemen Pertanian.
Kerentanan ini terutama dari tiga faktor, yakni peningkatan suhu
udara, terjadinya iklim ekstrem, dan naiknya permukaan air laut.
"Peningkatan suhu udara akan berdampak terhadap penurunan produktivitas
tanaman, terutama tanaman semusim. Selain itu juga akan meningkatkan
populasi beberapa jenis hama penyakit tanaman," ujar Irsal.
Adapun iklim ekstrem akan menyebabkan kegagalan panen dan luas
panen. Sementara naiknya permukaan laut akan menyebabkan menciutnya
lahan pertanian pantai dan peningkatan salinitas tanah di sekitar
pantai.
Menyikapi ini, Departemen Pertanian telah menyusun tiga strategi
atau pendekatan. Pertama, pendekatan strategis dengan melakukan
identifikasi lahan-lahan yang terkena, rawan, atau sensitif terhadap
perubahan hidrologi atau sumber daya air, serta menyiapkan
varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap salinitas dan
kekeringan.
Langkah kedua, melakukan pendekatan taktis dengan mengembangkan
sistem pengamatan dan pemantauan perubahan iklim diikuti dengan sistem
informasi. Adapun langkah ketiga lebih bersifat operasional, yakni
menyesuaikan pola tanam dengan mendorong diversifikasi tanaman.
"Badan Litbang Deptan sedang menyiapkan sistem kalender tanaman yang
bersifat dinamis, yakni bisa mengikuti perubahan dan anomali iklim,"
kata Irsal.
Sungguh perencanaan yang bagus. Namun, tetap saja perencanaan ini
akan efektif jika diterapkan dengan baik sehingga bisa menekan kerugian
petani akibat perubahan iklim.
No comments:
Post a Comment