Tuesday, June 12, 2012

Perubahan Iklim, Sektor Pertanian Paling Terpukul

Semula banyak pihak yang berpandangan bahwa pemanasan global merupakan persoalan di awang-awang. Persoalan nun jauh di sana, di Kutub Utara. Dampak yang akan dialami pun beberapa puluh tahun mendatang dan akan menimpa cicit atau setidaknya cucu kita.
 Namun, pandangan ini perlahan mulai berubah. Ternyata pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim merupakan persoalan konkret yang terjadi di tengah-tengah kita. Peristiwanya pun sedang berlangsung sekarang.
 Cuaca yang tidak menentu, curah hujan yang tinggi, ombak besar, banjir, dan berbagai bencana alam yang datang merupakan salah satu ciri-cirinya. Intensitas bencana maupun frekuensinya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun.

"Kejadian-kejadian ini cukup menyadarkan masyarakat bahwa dampak pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mulai terjadi di tengah-tengah kita," ungkap Dr Heru Santoso, Koordinator untuk Asia, Proyek Hutan Tropis dan Adaptasi Perubahan Iklim, Center for Internationl Forestry Research (CIFOR) yang berkedudukan di Bogor.
Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, intensitas maupun frekuensi bencana memang meningkat. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), periode tahun 2003-2005, tercatat 1.429 kejadian bencana di Tanah Air dan sekitar 53,3 persen di antaranya berkaitan dengan bencana iklim hidrologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan.
"Jika dibandingkan dengan kejadian-kejadian bencana pada tahun 1950-1960-an, peningkatannya sekitar empat kali lipat," tutur Rizaldi Boer, Kepala Laboratorium Klimatologi Geomet-Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor.
Banyaknya bencana ini, jika dibandingkan dengan tahun 1950-an, biaya ekonominya meningkat sekitar 14 kali lipat. Ini membuktikan, selain frekuensinya meningkat, intensitasnya juga lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Berdampak luas
Bagi Indonesia, pemanasan global ini akibatnya tidak bisa dibilang enteng karena akan berdampak sangat luas. Saat ini saja, menurut Heru Santoso, rata-rata tahunan curah hujan di beberapa wilayah mengalami penurunan, sedangkan di wilayah lain justru mengalami peningkatan. Selain itu, masa musim hujan dan musim kemarau juga mengalami pergeseran.
"Akibatnya, sumber daya air akan menjadi masalah. Akan terjadi defisit air di sejumlah wilayah yang rata-rata curah hujannya menurun," kata Heru.
Defisit air bukan hanya berpengaruh langsung pada sektor pertanian, tetapi juga pada sektor energi karena berkurangnya pasokan air untuk pembangkit listrik tenaga air.
Selain berbagai dampak tersebut, pemanasan global juga akan berdampak pada sektor kehutanan, kelautan, keanekaragaman hayati serta dampak sosial-ekologis lainnya. Namun, yang paling mencemaskan, dampak langsung pada manusia. Laju pemanasan global yang terlalu cepat akan mengancam kehidupan manusia karena manusia akan sulit beradaptasi.
"Kenaikan suhu global pada abad yang lalu mencapai 0,74 derajat Celsius. Jika tak ada usaha mengurangi emisi gas rumah kaca, laju tersebut akan meningkat menjadi 0,2 derajat Celsius per dekade atau tiap sepuluh tahun," ujar Heru Santoso dari CIFOR.
Estimasi model dari beberapa skenario emisi gas rumah kaca memperlihatkan kenaikan sebesar 1,8º C hingga 4º C pada tahun 2100. Sungguh angka yang mengerikan.
Karena tingginya laju pemanasan global ini, sejumlah negara sepakat meredam laju kenaikan suhu global agar tidak lebih dari 2º C dari suhu rata-rata sebelum era industrialisasi (tahun 1860). Salah satu caranya adalah melalui penurunan emisi gas rumah kaca (karbon) sebesar 20-30 persen pada tahun 2020, serta 60-90 persen pada tahun 2050.
"Namun, itu bukan hal gampang. Jepang saja sekarang makin tinggi. Padahal, Jepang targetnya 6 persen di bawah level 1960," kata Rizaldi Boer.

Pertanian terpukul
Indonesia juga tak terlepas dari dampak langsung perubahan iklim ini. Sebagai contoh, El-Nino yang siklusnya antara 4-7 tahun sekarang makin sering terjadi. Selain tahun 1991, El-Nino juga terjadi tahun 1994, 1997, 2002, 2203, 2006. "Berarti dalam tempo 12 tahun sudah terjadi enam kali El-Nino. Frekuensi yang sangat sering," ungkap Rizaldi Boer.
Perubahan iklim yang berlangsung selama ini terbukti telah berpengaruh langsung pada sektor pertanian. Produksi beras nasional, misalnya, antara tahun 1980-1990 rata-rata turun sekitar 100.000 ton per tahun. Adapun kurun waktu 1990-2000 turun rata-rata 300.000 ton per tahun.
Penurunan produksi ini berpengaruh langsung pada tingkat kesejahteraan petani. Sebagai contoh, dari hasil penelitian di sentra produksi beras Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ketika terjadi El-Nino tahun 2002- 2003, jumlah keluarga prasejahtera langsung naik sekitar 14 persen. "Ini disebabkan petani yang gagal panen tidak lagi memiliki pendapatan," kata Rizaldi Boer.
Perubahan iklim diperkirakan akan semakin parah pada masa-masa mendatang. Karena itu, pemerintah harus segera menyusun kebijakan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Misalnya, musim tanam tidak lagi bisa berpatokan pada anggapan dulu, yakni musim hujan setiap Oktober-Maret dan musim kemarau setiap April-September.
"Sektor pertanian memang perlu mendapat perhatian serius karena sangat rentan terhadap perubahan iklim," kata Irsal Las, profesor peneliti yang juga Direktur Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Departemen Pertanian.
Kerentanan ini terutama dari tiga faktor, yakni peningkatan suhu udara, terjadinya iklim ekstrem, dan naiknya permukaan air laut. "Peningkatan suhu udara akan berdampak terhadap penurunan produktivitas tanaman, terutama tanaman semusim. Selain itu juga akan meningkatkan populasi beberapa jenis hama penyakit tanaman," ujar Irsal.
Adapun iklim ekstrem akan menyebabkan kegagalan panen dan luas panen. Sementara naiknya permukaan laut akan menyebabkan menciutnya lahan pertanian pantai dan peningkatan salinitas tanah di sekitar pantai.
Menyikapi ini, Departemen Pertanian telah menyusun tiga strategi atau pendekatan. Pertama, pendekatan strategis dengan melakukan identifikasi lahan-lahan yang terkena, rawan, atau sensitif terhadap perubahan hidrologi atau sumber daya air, serta menyiapkan varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap salinitas dan kekeringan.
Langkah kedua, melakukan pendekatan taktis dengan mengembangkan sistem pengamatan dan pemantauan perubahan iklim diikuti dengan sistem informasi. Adapun langkah ketiga lebih bersifat operasional, yakni menyesuaikan pola tanam dengan mendorong diversifikasi tanaman.
"Badan Litbang Deptan sedang menyiapkan sistem kalender tanaman yang bersifat dinamis, yakni bisa mengikuti perubahan dan anomali iklim," kata Irsal.
Sungguh perencanaan yang bagus. Namun, tetap saja perencanaan ini akan efektif jika diterapkan dengan baik sehingga bisa menekan kerugian petani akibat perubahan iklim.

No comments:

Post a Comment