Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob
dan Kloss) merupakan hama utama tanaman padi dari golongan mamalia
(binatang menyusui), yang mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda
dibandingkan jenis hama utama padi lainnya. Oleh karena itu dalam
pengendalian hama tikus ini, diperlukan pendekatan yang berbeda
dibandingkan dengan cara penanganan hama padi dari kelompok serangga.
Tikus
sawah dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi mulai dari saat
pesemaian padi hingga padi siap dipanen, dan bahkan menyerang padi di
dalam gudang penyimpanan. Kerusakan akibat tikus sawah di negara-negara
Asia mencapai 10–15% setiap tahun (Singleton, 2003), dan di Indonesia
luas serangan tikus sawah setiap tahun rata-rata mencapai lebih dari
100.000 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003). Kerugian
akibat hama tikus dapat jauh lebih tinggi lagi karena kerusakan pada
periode pesemaian dan stadium padi vegetatif tidak termasuk kerugian
yang dilaporkan.
Distribusi
keberadaan tikus sawah sangat luas, karena dapat beradaptasi dengan
baik pada berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah
tadah hujan/lahan kering, maupun lahan sawah rawa pasang surut. Namun
demikian keberadaan tikus sawah lebih dominan sebagai hama utama padi di
lahan sawah irigasi. Tikus sawah tergolong binatang pemakan dari
berbagai jenis tumbuhan dan hewan (omnivora), sehingga juga berperan
sebagai hama pada tanaman hortikultura, perkebunan dan hama gudang.
Tikus sawah juga diketahui sebagai vektor penyebab penyakit berbahaya
pada manusia dan binatang ternak (Begon, 2003).
Pengendalian
hama tikus pada tanaman padi sampai saat ini keberhasilannya masih
belum konsisten, dan belum semua petani di berbagai propinsi di
Indonesia memahami cara pengendalian tikus yang benar. Beberapa faktor
penyebab kurang berhasilnya pengendalian tikus oleh petani antara lain:
(1) monitoring terhadap keberadaan hama tikus oleh petani masih kurang,
sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mengantisipasi pengendalian,
(2). pemahaman petani terhadap berbagai aspek sifat-sifat biologis hama
tikus dan teknologi pengendaliannya masih lemah, (3) kegiatan
pengendalian belum terorganisir dengan baik (masih sendiri-sendiri), dan
tidak berkelanjutan, (4) ketersediaan sarana pengendalian masih
terbatas dan (5) masih banyak petani yang mempunyai persepsi “mistis”
terhadap tikus yang dapat menghambat pelaksanaan pengendalian.
Berdasarkan
hasil penelitian yang komprehensif oleh Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi, telah direkomendasikan alternatif-alternatif pendekatan
pengendalian tikus sawah yang telah terbukti efektif yaitu pengendalian
hama tikus terpadu (PHTT) (Sudarmaji, 2006). Pengendalian Hama Tikus
Terpadu (PHTT) adalah pengendalian tikus yang didasarkan pada pemahaman
ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu.
Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama
(berkelompok) dan terkoordinasi dengan cakupan sasaran pengendalian
berskala luas (hamparan atau desa).
Pengendalian
tikus pada dasarnya adalah upaya menekan tingkat populasi tikus menjadi
serendah mungkin melalui berbagai metode dan teknologi pengendalian,
sehingga secara ekonomi keberadaan tikus di lahan pertanian tidak
merugikan secara nyata. Menjaga populasi tikus sawah agar selalu berada
pada tingkat populasi yang rendah adalah penting. Oleh karena itu, perlu
diupayakan langkah-langkah dan strategi pengendalian tikus sawah dengan
pendekatan PHTT. Berbagai komponen teknologi untuk pengendalian tikus
sawah yang telah ada sampai saat ini sebenarnya cukup efektif apabila
penerapannya telah sesuai dengan rekomendasinya. Ketepatan waktu
pelaksanaan pengendalian, habitat sasaran pengendalian, dan pemilihan
jenis teknologi yang dipakai, akan menentukan keberhasilan usaha
pengendalian tikus sawah.
1. . Kerusakan oleh Tikus Sawah pada Tanaman Padi
Tikus
sawah merupakan hama padi yang menimbulkan kerusakan dan kerugian besar
pada tanaman padi di negara-negara Asia pada umumnya, termasuk
Indonesia. Berdasarkan laporan Singleton (2003), kehilangan hasil padi
akibat tikus sawah di 11 negara Asia (Banglades, Kamboja, Cina, India,
Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippina, Thailand dan Vietnam)
diperkirakan mencapai 5–10%. Apabila dihitung kerugian sebesar 5% saja,
nilainya setara dengan 30 juta ton beras dan cukup untuk memberi makan
180 juta orang selama 12 bulan.
Tingkat
kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi di Indonesia, bervariasi
dari kerusakan ringan sampai terjadi puso atau gagal panen. Rata-rata
intensitas serangan tikus setiap tahun pada tanaman padi di Indonesia
selama sepuluh tahun (1989–1998) mencapai 19,3%, dengan luas serangan
90.837 ha. Sedangkan pada kurun waktu tahun 1998–2002 tercatat luas
serangan mencapai 165.381 ha dan 7.699 ha diantaranya puso (Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan, 2003). Kerusakan akibat hama tikus pada
tanaman padi tersebut, selalu merupakan kerusakan terbesar dibanding
dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh hama utama padi lain, seperti
wereng cokelat dan penggerek batang padi. Rata rata tingkat kerusakan
oleh tikus sawah pada tanaman padi selama kurun waktu 1977–2005
diseluruh Indonesia disajikan pada Gambar 1.
Distribusi
kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi, terjadi di seluruh
propinsi di Indonesia, dengan intensitas dan luas serangan bervariasi.
Sebagai contoh pada tahun 2002 serangan tikus paling berat terjadi di
Jawa Barat yaitu lebih dari 20.000 ha, disusul Jawa Tengah dan Sulawesi
Selatan masing-masing antara 10.000–20.000 ha, Jawa Timur, Lampung dan
Sulawesi Tenggara masing-masing antara 5.000–10.000 ha, serta propinsi
lainnya masing-masing kurang dari 5.000 ha (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan, 2003).
Tikus
sawah juga menyebabkan kerusakan pada berbagai komoditas pertanian lain
baik pada tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan, serta,
tidak hanya di lahan sawah irigasi, tetapi juga di daerah lahan kering
dan lahan rawa pasang surut. Oleh sebab itu, jenis tikus sawah ini
dikenal sebagai hama lintas agroekosistem dan komoditas pertanian.
Kerusakan
yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi mulai dari
pesemaian hingga padi menjelang panen. Rochman (1992), mencatat pada
pesemaian padi berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata
283 bibit padi dalam satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif)
merusak anakan padi rata-rata 79 batang, dan pada stadium padi bunting
103 batang, serta pada stadium padi bermalai 12 batang per malam.
Tikus sawah diketahui lebih suka menyerang tanaman padi yang
sedang bunting, sehingga pada umumnya padi stadium bunting akan
mengalami kerusakan yang paling tinggi. Berdasarkan pengamatan dari
malai padi yang dipotong, ternyata hanya beberapa malai saja yang
dimakan (Rochman dan Toto, 1976). Kebutuhan pakan tikus setiap hari
hanya seberat kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan daya
rusaknya terhadap malai padi lima kali lebih besar dari bobot malai padi
yang dikonsumsi.
Hasil
penelitian Sudarmaji (2004), menunjukkan bahwa intensitas kerusakan
tanaman padi akibat serangan tikus sawah di lapangan terbuka dan di
dalam sawah berpagar (enclosure), menunjukkan intensitas
kerusakan yang berbeda diantara stadium padi. Intensitas kerusakan
tertinggi terjadi pada stadium padi bunting, baik di lapangan terbuka
maupun di dalam sawah berpagar (Tabel 1).
Tingginya
kerusakan yang terjadi pada stadium padi bunting, berkaitan erat dengan
adanya preferensi tikus terhadap pakan padi bunting. Telah dibuktikan
bahwa tanaman padi stadium bunting merupakan pakan yang paling disukai
tikus sawah dibandingkan dengan jenis pakan yang ada di habitat hidupnya
yaitu di ekosistem sawah irigasi (Tristiani et al., 1992;
Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Ketertarikan tikus sawah terhadap padi
bunting, telah digunakan sebagai dasar pengendalian tikus dengan konsep
Trap Barrier System (TBS) sebagai tanaman perangkap di ekosistem sawah irigasi (Singleton et al., 1997; Sudarmaji dan Anggara, 2006; Sudarmaji et al.,
2007). Dilaporkan juga oleh Sudarmaji (2004), bahwa kerusakan yang
disebabkan oleh enam pasang ekor tikus dan keturunannya selama satu
musim tanam padi mencapai 37,02%, yang nilainya setara dengan kehilangan
gabah tiga ton atau 4,5 juta rupiah dalam satu ha sawah. Perhitungan
tersebut dengan asumsi bahwa hasil panen mencapai 8 ton/ha gabah kering
panen dengan harga jual Rp1.500,- /kg.
Tabel 1. Intensitas kerusakan tanaman padi oleh tikus sawah di lapangan terbuka dan di dalam sawah berpagar (enclosure)
Stadium padi
|
Rata-rata intensitas kerusakan tanaman padi (%)
|
di sawah berpagar
(1 musim tanam)
|
di sawah terbuka
(7 musim tanam)
|
Bertunas maksimum
|
6,60±0,68 a
|
2,18±0,39 a
|
Bunting
|
20,85±2,12 b
|
5,33±1,14 b
|
Matang panen
|
9,57±2,11 a
|
1,12±0,17 a
|
Kumulatif
|
37,02±4,91
|
8,63±1,70
|
2. Ekologi Tikus Sawah
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi
Tikus
termasuk golongan binatang mengerat atau Rodensia yang merupakan
kelompok terbesar dari kelas binatang Mamalia, karena memiliki jumlah
spesies terbesar (2.000 spesies) atau 40% dari 5.000 spesies binatang
yang termasuk kelas Mamalia (Aplin et al., 2003). Di Indonesia
kurang lebih terdapat 164 spesies tikus dan lebih dari 25 spesies tikus
diantaranya menyebabkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman, dan
hanya 13 spesies tikus yang merupakan hama di daerah pertanian. (Aplin et al., 2003). Menurut Sudarmaji et al. (2005), spesies tikus yang termasuk jenis hama di daerah pertanian di Indonesia berasal dari Genus Bandicota, Rattus dan Mus. Diantara spesies tikus yang termasuk hama, tikus sawah (Rattus argentiventer, Rob
and Kloss) merupakan hama utama padi dan juga berperan sebagai vektor
penyebab penyakit pada manusia dan hewan ternak. Di daerah ekosistem
sawah irigasi di Karawang Jawa Barat, Sudarmaji et al,. (2005) mendapatkan tiga spesies tikus yaitu tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus rumah (Rattus rattus diardii) dan tikus wirok (Bandicota indica). Pada daerah tersebut spesies tikus sawah lebih dominan dibanding spesies lainnya yang mencapai 98,6%.
Pada tahun 1916, Robinson dan Kloss memberi nama pertama kali Taxon argentiventer berdasarkan
seekor tikus dewasa yang ditemukan di Pasir Ganting daerah pantai
Sumatra Barat. Selama kurun waktu 1916–1945, telah tujuh nama diajukan
dalam literatur mammalogi untuk spesies yang sekarang dikenal sebagai Rattus argentiventer, yaitu: argentiventer untuk tikus yang berasal dari Sumatra; brevicaudatus yang berasal dari Jawa; bali yang berasal dari pulau Bali; pesticulus untuk tikus yang berasal dari Sulawesi; saturnus untuk yang berasal dari Sumba; chaseni yang berasal dari Malaya; dan umbriventer yang berasal dari Mindoro Philippina (Musser, 1973).
Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi binatang menurut Murakami et al. (1992) adalah sebagai berikut :
Filum
|
: Chordata
|
Subfilum
|
: Vertebrata
|
Kelas
|
: Mammalia
|
Ordo
|
: Rodentia
|
Famili
|
: Muridae
|
Genus
|
: Rattus
|
Spesies
|
: Rattus argentiventer (Rob & Kloss) atau tikus sawah.
|
2.2 Perkembangbiakan
Perkembangbiakan
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan laju peningkatan
populasi tikus sawah. Perkembangbiakan tikus erat kaitannya dengan
kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia. Tikus bersifat omnivora,
meskipun demikian tanaman padi merupakan sumber utama pakan tikus yang
paling disukainya (Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Hasil penelitian
Rochman dan Sudarmaji (1997), menunjukkan bahwa tanaman padi bunting
apabila dikonsumsi oleh tikus sawah, akan berpengaruh positif terhadap
perkembangbiakannya. Pada periode tersebut terjadi awal proses
reproduksi tikus. Generasi yang dihasilkan pada waktu padi stadium
bunting merupakan pemicu dari penggandaan populasi dan berlanjut hingga
padi bermalai dan masa panen. Rochman dkk. (1982), memaparkan
bahwa di daerah dengan pola tanam padi 2 kali dalam 1 tahun akan
terdapat 2 kali periode perkembang-biakan tikus sawah. Di daerah dengan
pola tanam padi tidak serempak memperlihatkan pola perkembangbiakan
tikus yang tidak teratur. Tikus sawah akan berkembangbiak aktif
sepanjang tahun apabila selalu tersedia tanaman padi yang sedang
menguning atau pada stadium generatif padi.
Pada
umumnya jenis binatang pengerat dan seperti halnya tikus sawah,
mempunyai potensi perkembangbiakan cepat sehingga populasinya akan
berkembang dengan cepat pula. Tikus betina bunting selama 21 hari dan
menyusui anaknya selama 21 hari. Tikus mampu bunting dan menyusui dalam
waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah
melahirkan (Meehan, 1984). Pada kondisi lingkungan yang baik, di dalam
satu sarang dapat dihuni induk betina yang sedang bunting bersama dua
generasi anak-anaknya (Sudarmaji dkk., 2007). Tikus sawah dapat
berkembangbiak apabila telah mencapai kematangan seksual. Kematangan
seksual tikus betina relatif lebih cepat yaitu pada umur 28 hari, yang
ditandai dengan membukanya vagina (estrus) dan kebuntingan dapat terjadi
pada umur 40 hari. Kematangan seksual tikus jantan lebih lambat yaitu
setelah berumur 60 hari. Sudarmaji dan Rahmini (1997), mendapatkan tikus
betina bunting berumur 45 hari dan tidak mendapatkan tikus betina
bunting dari sampel tikus yang diambil dari lapangan yang berumur lebih
dari 12 bulan.
Jumlah
embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina bervariasi pada setiap
periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya jumlah embrio
setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi dihasilkan
oleh induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi bunting
sampai pengisian malai (bunting pertama) dengan rata-rata jumlah embrio
12,83±0,8 embrio, pada kebuntingan kedua (padi matang) 11,49±1,1 embrio,
dan pada kebuntingan ketiga (panen/bera awal) 7,80±1,0 embrio
(Sudarmaji dkk., 2007).
Tersedianya
pakan padi yang cukup dengan kualitas baik, pada saat padi bunting dan
awal pengisian malai, merupakan faktor yang diduga kuat berpengaruh
terhadap jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk betina. Selain itu,
diketahui bahwa tikus-tikus muda yang melahirkan pertama kali akan
menghasilkan embrio lebih banyak dibandingkan tikus betina yang berumur
lebih tua (Sudarmaji, 2004). Penurunan jumlah embrio juga disebabkan
oleh terbatasnya pakan yang berkualitas khususnya pada periode bera, dan
tikus betina cenderung merespon dengan mengurangi jumlah anaknya
menjadi lebih sedikit agar dapat bertahan hidup setelah dilahirkan.
Tikus betina bunting dapat mengabsorbsi sebagian embrio yang
dikandungnya apabila kondisi lingkungan kurang menguntungkan.
Berdasarkan hasil penelitian dengan pengambilan sampel penggalian sarang
tikus, diketahui bahwa dari total 77 ekor induk betina yang melahirkan
anak, didapatkan anak-anak tikus sebanyak 785 ekor. Jumlah anak yang
dilahirkan bervariasi dari 4 ekor sampai 16 ekor per induk betina,
dengan rata-rata 10,14± 4,5 ekor anak setiap melahirkan (Sudarmaji dkk., 2007).
Frekuensi tikus betina dalam melahirkan anak, dapat diidentifikasi berdasarkan jumlah set plasenta scars. Plasenta scars
merupakan bekas luka tempat menempelnya embrio pada uterus tikus betina
yang tampak berupa bintik merah, hitam sampai kecokelatan. Berdasarkan
hasil otopsi terhadap 164 ekor tikus betina dewasa yang pernah
melahirkan diketahui bahwa proporsi populasi tikus betina di lapangan
dengan satu set plasenta scar atau melahirkan satu kali
mencapai 54,27%, dua kali melahirkan 34,76%, tiga kali melahirkan 10,36%
dan empat kali melahirkan 0,60% (Sudarmaji dkk., 2007).
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tikus sawah selama
hidupnya mempunyai potensi melahirkan anak sampai empat kali, namun
demikian kelahiran anak dari tikus-tikus yang berumur tua (lebih dari
satu tahun) sangat jarang terjadi.
Sudarmaji
(2004) melaporkan, bahwa pada varietas padi unggul baru dengan
rata-rata umur padi mencapai 120 hari, perkawinan tikus diperkirakan
dimulai sejak padi stadium bertunas maksimum (maximum tillering). Tikus sawah bunting selama 21 hari dan dapat kawin lagi 48 jam setelah melahirkan (post-partum oestrous),
sehingga selama satu musim tanaman padi dapat terjadi tiga kali
kelahiran. Berdasarkan kelahiran yang terjadi pada satu musim tanam dan
banyaknya anak yang dilahirkan, dapat dihitung jumlah individu yang
dihasilkan oleh satu ekor tikus betina. Tikus sawah menghasilkan anak
rata-rata 10 ekor dalam satu kali kelahiran dengan nisbah kelamin sama.
Dalam satu musim tanam padi dapat terjadi tiga kali kelahiran dan
dihasilkan 30 ekor tikus muda. Apabila terjadi tanam padi tidak serempak
sehingga terjadi keterlambatan panen lebih dari dua minggu, atau
terdapat ratun padi yang bermalai pada periode sawah bera, maka tikus
betina muda yang dilahirkan pertama kali oleh induknya telah dapat
melahirkan anak. Lima ekor tikus betina muda dari kelahiran pertama
tersebut akan melahirkan anak sebanyak 50 ekor, sehingga total jumlah
anak yang dapat dihasilkan dari satu ekor induk betina dalam satu musim
tanam padi diperkirakan mencapai 80 ekor (Gambar 2).
Peneliti
lain melaporkan bahwa dari satu ekor induk tikus mampu menghasilkan
keturunan 510 ekor selama 10 bulan dan akan menjadi 2.046 ekor dalam 13
bulan (Sama dan Rochman, 1988). Murakami et al., (1992),
mendapatkan sekurang-kurangnya jumlah anak tikus dari satu induk betina
dalam satu musim tanam mencapai 100 ekor dari dua sampai tiga kali
kelahiran.
Habitat
merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi daya dukung
perkembangan populasi tikus sawah. Tersedianya habitat yang memadai akan
menguntungkan tikus untuk mendapatkan tempat hidup dan tempat
berkembangbiak dengan baik. Oleh karena itu, pemahaman habitat tikus
sangat diperlukan dalam upaya pengelolaan populasi tikus, khususnya pada
lahan sawah dengan pertanaman padi.
Tikus
sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari (nokturnal). Pada
siang hari tikus berlindung di dalam sarang dengan membuat liang di
dalam tanah atau di semak-semak. Penelitian dengan menggunakan pelacak
gelombang radio (radio tracking) menunjukkan bahwa pada malam
hari tikus lebih banyak mengunjungi daerah pertanaman padi (60%)
dibandingkan berbagai jenis habitat lain yang ada disekitarnya. Pada
siang hari tikus lebih banyak berada di luar daerah pertanaman padi
yaitu di tanggul irigasi dan daerah-daerah dekat perkampungan (Sudarmaji
dan Rahmini, 2002). Hadi dkk. (2006) melaporkan, tikus sawah pada siang
hari 82% tinggal di daerah pematang dan sebaliknya pada malam hari 95%
aktif di tengah pertanaman tengah padi. Brown et al. (2001),
juga melaporkan tidak terdapat perbedaan nyata daya jelajah tikus sawah
di habitatnya antara tikus jantan dan betina. Rata-rata daya jelajah
tikus jantan adalah 3,01 ha dan tikus betina 1,97 ha, sedangkan
Tristiani et al. (2003) juga mendapatkan daya jelajah tikus
jantan lebih besar dari tikus betina dengan pergerakan tikus 63% berada
di daerah pertanaman padi selama musim tanam padi.
Tikus
memilih sarang terutama pada habitat yang memberikan perlindungan dan
aman dari gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan dan air.
Sarang tikus berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara anak dan
untuk menimbun pakan. Sejalan dengan bertambahnya anggota kelompok tikus
di dalam sarang, maka jaringan sarang akan semakin luas. Murakami et al.
(1992), melaporkan bahwa pada stadium padi vegetatif, konstruksi sarang
masih dangkal, pendek dan belum banyak cabang. Setelah pertumbuhan
tanaman padi mencapai stadium generatif, konstruksi sarang tikus menjadi
lebih dalam, panjang dan bercabang-cabang serta mempunyai pintu keluar
lebih dari satu pintu. Pada kondisi tersebut tikus mempersiapkan diri
untuk melahirkan anak-anaknya. Dilaporkan juga oleh Sudarmaji (1990),
bahwa panjang dan volume sarang tikus pada stadium padi generatif dua
kali lebih panjang dan lebih besar dibanding pada stadium padi
vegetatif. Panjang sarang rata-rata empat meter dan volumenya mencapai
10,3 liter. Hal tersebut karena tikus memerlukan sarang yang lebih
longgar dan nyaman untuk membesarkan anak-anaknya.
Tingkat
hunian sarang tikus bervariasi tergantung kondisi lingkungan dan tidak
semua sarang dihuni oleh tikus (aktif). Pada periode kekurangan pakan
atau banjir sarang tikus akan ditinggalkan. Hal tersebut terjadi pada
saat sawah periode bera, periode pengolahan tanah dan periode tanam.
Pada periode tersebut tikus bermigrasi dan akan kembali setelah
pertanaman padi berumur dua bulan atau menjelang stadium padi generatif
(Sudarmaji dan Herawati, 2001). Rochman (1982), melaporkan bahwa pada
pertanaman padi berumur satu bulan, hanya 25% sarang yang dihuni.
Pada
ekosistem padi sawah, berdasarkan laporan Sudarmaji dan Rochman (1997),
diperkirakan terdapat preferensi habitat spesifik tikus sawah. Lam
(1983), menemukan bahwa 97% tikus sawah khususnya dari jenis R. argentiventer, membangun sarangnya pada pematang dengan ketinggian 15 cm dan lebar 30 cm atau lebih. Sudarmaji dkk.
(2007), mengidentifikasi 5 jenis habitat tikus sawah di ekosistem sawah
irigasi dan didapatkan habitat tepi kampung dan tanggul irigasi
merupakan habitat yang paling banyak dihuni tikus sawah. Tangkapan tikus
sawah paling tinggi berasal dari habitat kampung (35,1%), tanggul
irigasi (29,8%), jalan sawah (16,5%), dan tangkapan tikus terendah
berasal dari habitat parit sawah dan tengah sawah masing masing-masing
9,6% dan 9,0% (Gambar 3).
Habitat
kampung merupakan habitat yang menjadi tujuan tikus sawah migrasi pada
periode bera, untuk mendapatkan pakan alternatif dan tempat berlindung
sementara. Oleh karena itu, tangkapan tikus pada habitat kampung selama
periode bera selalu paling tinggi dibandingkan tangkapan pada habitat
lain. Tikus sawah di habitat kampung pada umumnya tidak membuat sarang,
tetapi berlindung dalam tumpukan jerami atau kayu, kandang ternak dan
bahkan rumah penduduk. Sudarmaji dan Herawati (2001), mendapatkan
tangkapan tikus yang tinggi pada habitat kampung, tetapi tidak menemukan
sarang aktif tikus di habitat tersebut. Keberadaan tikus sawah di
habitat kampung pada periode bera, diperkirakan akan mendapat ancaman
cukup besar dari pemangsa jenis kucing dan predator lain. Populasi tikus
yang dapat bertahan hidup dan kembali ke daerah persawahan lagi
diperkirakan jumlahnya akan berkurang.
Tanggul
irigasi di ekosistem sawah irigasi merupakan habitat penting tikus
sawah dan merupakan habitat utama untuk berkembangbiak (Sudarmaji dkk.,
2007). Habitat tanggul irigasi dipilih tikus sawah karena apabila
terjadi banjir, sarang pada tanggul tersebut tidak terendam air. Pada
umumnya tanggul irigasi dibangun dari tanah berukuran lebar 1–2 meter
dengan tinggi lebih dari satu meter. Di daerah habitat tanggul irigasi
maupun kampung pada umumnya masih tersedia sumber air dan pakan tikus
alternatif ketika sawah dalam keadaan bera, sehingga habitat tersebut
disebut sebagai habitat perlindungan tikus.
2.3 Habitat
Tikus
sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya, yaitu berat badan
tikus dewasa antara 100–230 g, panjang kepala-badan antara 70–208 mm,
panjang tungkai belakang 32–39 mm dan panjang telinga 20–22 mm. Ekor
biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal
berwarna cokelat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga
memberi kesan seperti berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, abdominal
dan inguinal berwarna putih, dan sisa bagian bawah lainnya putih
keperakan atau putih keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan
warna badan dan banyak yang berwarna cokelat gelap pada bagian karpal
dan tarsal. Ekor berwarna gelap pada bagian atas dan bawah (Murakami et al., 1992 ; Aplin et al., 2003).
Tikus
betina mempunyai puting susu berjumlah duabelas buah. Ukuran dan berat
badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan
testisnya. Anak tikus yang baru dilahirkan berwarna merah, tidak
berambut dan belum dapat melihat (Meehan, 1984). Anak tikus yang berumur
7–10 hari, rambut akan tumbuh lengkap dan matanya mulai terbuka
sehingga dapat melihat. Pada umur tersebut anak tikus masih disusui oleh
induknya di dalam sarang yang berada di dalam tanah. Anak tikus setelah
berumur 20 hari, akan disapih oleh induknya untuk hidup mandiri.
Apabila kondisi lingkungan cukup baik seperti pakan yang berlimpah, maka
anak tikus akan tinggal di dalam sarang bersama induknya lebih lama.
Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5–9
minggu.
2.4 Dinamika Populasi
Mempelajari
dinamika populasi terutama bertujuan mempelajari perubahan ukuran
kerapatan populasi pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta
menjelaskan mekanisme yang mendasari perubahan tersebut (Richards,
1982). Di dalam populasi juga terdapat faktor-faktor yang saling
mempengaruhi baik faktor internal maupun eksternal, yang berpengaruh
terhadap tingkat kerapatan populasi dari waktu ke waktu. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan kerapatan populasi di alam antara lain
peningkatan karena adanya kelahiran (natalitas), peningkatan karena
masuknya beberapa individu sejenis dari populasi lain (imigrasi),
penurunan karena kematian (natalitas), dan penurunan karena keluarnya
beberapa individu dari populasi ke populasi lain (emigrasi) (Krebs,
1995). Faktor pakan, tempat berlindung, musuh alami dan kompetisi
berpengaruh terhadap ke empat faktor utama penyebab perubahan populasi
tersebut.
Tikus sawah, seperti binatang hama pada umumnya memiliki tipe strategi r (r-strategist),
yaitu mereka dapat berkembangbiak dalam waktu singkat sehingga akan
terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau sering disebut
dengan ledakan populasi. Hal tersebut dapat terjadi apabila kondisi
lingkungan yang memungkinkan seperti tersedianya pakan yang melimpah,
terdapat tempat berlindung dan bersarang yang memadai (Macdonald and
Fenn, 1994). Setelah terbentuk populasi dengan tingkat kerapatan yang
tinggi, selanjutnya terjadi berkurangnya persediaan pakan, tempat
perlindungan, dan kompetisi, sehingga populasi tikus akan turun kembali
secara alamiah.
Pada
daerah agroekosistem sawah irigasi terdapat kecenderungan bahwa populasi
tikus dan tingkat kerusakan tanaman padi di Indonesia pada musim
kemarau (MK) lebih tinggi dibanding pada musim hujan (MH). Periode bera
MH yang pendek yaitu kurang dari dua bulan, memberi peluang masih cukup
tersedianya pakan alternatif di lapangan, dan berpengaruh positif
terhadap tingkat hidup tikus sawah. Tikus yang dapat bertahan hidup akan
dapat berkembangbiak pada musim tanam MK berikutnya (Sudarmaji dan
Baehaki, 1994). Namun demikian di beberapa daerah, lama periode bera MH
dan MK hampir sama karena terkait dengan golongan pengairan sehingga
populasi tikus pada MK dan MH relatif tidak berbeda.
Berdasarkan
pemantauan pada lahan sawah seluas 2 ha diketahui bahwa pada saat
kerapatan populasi rendah jumlah tikus hanya mencapai 5 ekor sampai 25
ekor/ha dan pada puncak kerapatan populasi dapat mencapai 250–900
ekor/ha. Peningkatan populasi tersebut terjadi sangat cepat dan untuk
mencapai puncak kerapatan populasi, hanya dibutuhkan waktu 1,5 hingga 2
bulan (Tristiani dkk., 1992). Wood (1994) melaporkan bahwa,
pada tanaman padi di Indonesia puncak populasi tikus sawah terjadi pada
satu sampai dua bulan setelah panen dengan populasi lima ekor sampai 25
ekor/ha pada awal tanam, meningkat menjadi lebih dari 700 ekor/ha pada
saat panen.
Berdasarkan hasil penelitian selama empat tahun di ekosistem sawah irigasi di Karawang, Jawa Barat (Sudarmaji dkk.,
2005), diketahui tingkat kerapatan populasi tikus sawah berfluktuasi
sangat tajam selama periode musim tanam padi dan bera. Perubahan
kepadatan populasi tersebut polanya selalu berulang (repeated pattern)
dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun (Gambar 4). Terdapat 1 kali
puncak populasi dalam 1 kali musim tanam padi, sehingga pada pola tanam
padi-padi-bera dalam 1 tahun terdapat 2 kali puncak populasi tikus
sawah. Puncak populasi tikus sawah tertinggi terjadi pada periode bera
yang merupakan hasil kelahiran tikus pada periode stadium generatif
padi.
Faktor
utama penyebab peningkatan populasi tikus sawah adalah tersedianya
pakan padi, sehingga terjadi kelahiran tikus yang cepat (tiga kali
kelahiran) pada stadium padi generatif dan menyebabkan peningkatan
kerapatan populasi yang tinggi pada periode bera. Pakan padi stadium
generatif merupakan pakan tikus yang berkualitas tinggi dan berpengaruh
nyata terhadap peningkatan berat badan tikus. Tanpa adanya tanaman padi
tikus sawah tidak berkembangbiak dan terjadi kematian (Sudarmaji, 2004).
Malai ratun padi merupakan pakan alternatif penting bagi tikus sawah
pada periode bera dan memperpanjang periode perkembangbiakan.
Penurunan
populasi tikus terjadi setelah periode bera bulan kedua, karena migrasi
tikus akibat hilangnya pakan padi (panen), terjadinya gangguan habitat
tikus karena proses budidaya padi, dan aktivitas pengendalian tikus oleh
petani. Curah hujan tidak menyebabkan turunnya populasi tikus sawah.
Peran pemangsa tikus relatif kecil dalam regulasi populasi tikus sawah
di ekosistem sawah irigasi, karena keberadaan jenis pemangsa tikus
sangat jarang ditemukan. Prevalensi infeksi cacing hati pada tikus sawah
tinggi, tetapi tidak menyebabkan kematian tikus sawah secara langsung
(Sudarmaji, 2004).
3. Komponen Teknologi Pengendalian
Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya menekan tingkat populasi
tikus pada tingkat serendah mungkin melalui berbagai cara dan teknologi
pengendalian. Teknologi pengendalian yang tersedia sampai saat ini
berasal dari hasil penelitian para pakar di bidang hama tikus, dan dari
kearifan lokal petani yang telah lama digunakan secara turun temurun.
Teknologi yang telah tersedia sampai saat ini sebenarnya telah dapat
diandalkan dan efektif untuk pengendalian tikus apabila diterapkan
sesuai rekomendasi dengan pelaksanaan secara benar.
Efektifitas
hasil pengendalian tikus selain ditentukan oleh pemilihan teknologi
yang tepat, juga ditentukan oleh ketepatan dalam pemilihan waktu
pengendalian, sasaran habitat yang dikendalikan dan kekompakan petani
untuk melaksanakan pengendalian tikus secara bersama-sama. Beberapa
komponen teknologi pengendalian dan metoda pengendalian yang tersedia
sampai saat ini disajikan dalam tulisan ini.
3.1 Sanitasi Lingkungan dan Manipulasi Habitat
Sanitasi
dan manipulasi habitat bertujuan untuk menjadikan lingkungan sawah
menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus.
Kegiatan sanitasi antara lain melakukan pembersihan tanaman perdu atau
gulma yang berada di areal pertanaman padi dan sekitarnya, seperti di
daerah pematang sawah, tanggul saluran irigasi dan jalan sawah, dengan
tujuan agar tikus tidak bersarang di habitat tersebut. Tikus akan tidak
nyaman dan takut menghuni daerah yang bersih, terang dan terbuka karena
akan mudah dimangsa predator.
Tikus
sawah pada umumnya menyukai habitat pematang sawah atau tanggul irigasi
yang tinggi dan lebar. Pematang sawah dianjurkan dibuat rendah kira-kira
tinggi kurang dari 30 cm, agar pematang tersebut tidak digunakan tikus
bersarang dan berkembangbiak (Lam, 1993). Sanitasi dan manipulasi
habitat akan menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan
sumber pakan alternatif terutama pada periode bera, sehingga secara
tidak langsung dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut
(Sudarmaji, 2004).
3.2 Kultur Teknis
Pengelolaan
budi daya tanaman padi dapat menunjang pengendalian tikus apabila
dilakukan usaha bersama diantara petani atau kelompok tani dalam suatu
hamparan luas atau sekurang-kurangnya tingkat desa. Pengaturan pola
tanam bertujuan untuk membatasi ketersedian pakan tikus yaitu padi, guna
membatasi perkembangbiakan tikus sawah di lapangan. Tikus sawah hanya
akan berkembangbiak pada saat terdapat stadium padi generatif. Pola
tanam padi-palawija atau bera setelah menanam padi akan dapat membatasi
bahkan menghentikan aktifitas reproduksi tikus sawah. Nutrisi dari
tanaman palawija diperkirakan kurang cocok bagi metabolisme tikus sawah
untuk perkembangbiakannya dibandingkan dengan nutrisi yang tersedia pada
padi. Pada pola tanam padi dua kali setahun diikuti masa bera panjang
musim kemarau (padi-padi-bera) akan menyebabkan tikus kehilangan sumber
pakan pada periode bera dan akan terjadi perpindahan tikus atau migrasi
ke tempat lain atau mati karena kekurangan pakan.
Pengaturan
waktu tanam dilakukan dengan mengatur waktu tanam dan varietas yang
sama pada areal yang luas atau hamparan padi. Apabila terpaksa varietas
yang digunakan dalam satu hamparan tersebut berbeda, diusahakan agar
waktu stadium generatif padi dapat serempak, atau tidak lebih dari dua
minggu. Tujuan pengaturan waktu tanam adalah agar periode generatif padi
bersamaan waktunya. Apabila periode padi generatif berbeda waktunya,
maka tanaman padi yang bunting lebih awal akan mendapat serangan tikus
paling berat dan kemungkinan dapat terjadi puso (gagal panen).
Pertanaman padi yang tidak serempak akan menghasilkan periode padi
generatif yang lebih panjang pada wilayah tersebut, sehingga periode
perkembangbiakan tikus sawah juga menjadi lebih panjang. Hal tersebut
dapat meningkatkan populasi tikus secara cepat. Oleh karena itu
penanaman padi secara serempak pada skala luas dapat membatasi
perkembangbiakan tikus dan mencegah konsentrasi serangan tikus pada
tanaman padi yang bunting lebih awal.
Penanaman
padi dengan jarak tanam lebih longgar dari biasanya bertujuan untuk
membuat lingkungan yang lebih terbuka sehingga kurang disukai tikus,
seperti halnya cara tanam ‘legowo’. Tikus kurang menyukai tempat yang
bersih atau terang karena akan merasa terancam oleh musuh alaminya
terutama predator. Tipe serangan tikus yang selalu dimulai dari tengah
petak sawah dan menyisakan pada daerah dekat pematang adalah ciri khas
perilaku tikus yang tidak menyukai kondisi terang.
3.3 Pengendalian Secara Fisik
Pengendalian
secara fisik yaitu mengubah lingkungan fisik agar menyebabkan kematian
tikus. Tikus mempunyai batas toleransi terhadap beberapa faktor fisik
seperti suhu, cahaya, air, dan suara. Tujuan pengendalian dengan cara
ini adalah mengubah faktor lingkungan fisik menjadi tidak sesuai untuk
kehidupan tikus sawah. Sedangkan pengendalian mekanis merupakan usaha
untuk membunuh tikus secara langsung oleh manusia. Cara pengendalian ini
cukup murah, mudah dan sederhana tetapi biasanya membutuhkan lebih
banyak tenaga kerja. Beberapa contoh kegiatan pengendalian secara fisik
dengan menggunakan berbagai peralatan adalah sebagai berikut:
3.3.1 Alat penyembur api (brender)
Alat
tersebut bila digunakan dapat menyemburkan api dan udara panas ke dalam
sarang tikus. Suhu di dalam sarang tikus akan meningkat sehingga dapat
mengusir tikus dari dalam sarang atau bahkan membunuhnya. Alat ini juga
dapat dipakai untuk membakar belerang di mulut lubang sarang tikus,
sehingga hembusan asap belerang akan meracuni tikus dan menyebabkan
tikus mati di dalam sarang.
3.3.2 Penggunaan sinar lampu
Sinar
lampu dapat digunakan sebagai alat untuk membantu dalam kegiatan
menangkap tikus pada malam hari. Sinar lampu dengan intensitas tinggi
yang mengenai mata tikus dapat menyebabkan tikus menjadi silau dan
berhenti beraktifitas sejenak. Pada kondisi tersebut, tikus dapat dengan
mudah untuk dipukul atau dibunuh. Petani biasanya menggunakan sinar
lampu ini dari obor minyak tanah, lampu petromak atau lampu senter untuk
memburu tikus sawah pada malam hari. Kegiatan ini dapat dilakukan
karena tikus sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari atau
nokturnal.
3.3.3 Memompa air atau lumpur ke dalam sarang tikus
Cara
tersebut dapat dilakukan untuk mengusir tikus keluar dari sarang
sehingga mudah untuk dibunuh atau tikus dapat mati di dalam sarang
karena terjebak lumpur. Cara tersebut dapat dilakukan pada
habitat-habitat utama tikus seperti tanggul irigasi, jalan sawah dan
habitat lainnya. Waktu yang paling tepat untuk pelaksanaan metode ini
adalah pada periode bera dan pengolahan tanah bersamaan dengan kegiatan
gropyokan massal. Selain itu juga tepat dilakukan pada saat periode padi
generatif ketika tikus sawah sedang beranak di dalam sarangnya.
3.3.4 Mengusir tikus dengan suara ultrasonik
Penggunaan suara ultrasonik pada frekuensi tertentu dapat memekakkan
telinga tikus, sehingga tikus menghindar ke tempat lain yang lebih
aman. Oleh karena itu fungsi penggunaan alat ini hanya untuk mengusir
tikus saja. Namun demikian alat yang ada (telah dikomersialkan) sampai
saat ini masih sangat terbatas jangkauan frekuensinya dan baru dapat
digunakan di dalam ruangan dengan ukuran tertentu. Untuk penggunaan di
lapangan terbuka masih belum tersedia peralatannya. Penggunaan alat
tersebut pada umumnya dilakukan di dalam gudang penyimpanan bahan pangan
untuk mengusir hama tikus. Mengusir tikus dengan bunyi-bunyian juga
dapat dilakukan, tetapi jika suara itu telah menjadi suara yang rutin,
maka tikus sudah tidak merasa terganggu lagi.
3.3.5 Gropyokan massal (community actions)
Metode gropyokan massal merupakan salah satu cara pengendalian tikus
yang murah dan efektif yang biasa dilakukan oleh petani di berbagai
daerah di Indonesia. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan secara
bersama-sama dengan cara membongkar sarang tikus pada habitat utama,
memburu, dan membunuh tikus yang ada. Di beberapa daerah hasil gropyokan
tikus ini setiap ekor ditukar dengan uang oleh pemerintah daerah, yang
besarnya bervariasi antara 500 rupiah hingga 2.500 rupiah per ekor, dan
cara ini disebut “bounty system” (Sudarmaji, 2004). Waktu
kegiatan gropyokan massal yang tepat adalah menjelang tanam (pengolahan
tanah). Pada periode tersebut untuk memburu tikus relatif lebih mudah
karena tidak ada pertanaman padi yang dapat digunakan tikus untuk
bersembunyi. Penggalian sarang tikus menyebabkan tikus keluar dari
sarang sehingga dapat mudah ditangkap. Di beberapa daerah untuk
menangkap tikus dari hasil penggalian ini digunakan bantuan anjing
pemburu yang telah terlatih.
Kegiatan
gropyokan massal ini telah terbukti dapat menurunkan populasi tikus
secara nyata dengan banyaknya tangkapan yang diperoleh dalam suatu
kegiatan gropyokan massal. Sebagai contoh kegiatan gropyokan missal yang
dilakukan oleh petani di Kecamatan Tirtamulya, Karawang, Jawa Barat
pada musim tanam padi 2008 diperoleh total tangkapan 20.710 ekor tikus
(Tabel 2).
Kegiatan
gropyokan ini apabila dilakukan secara massal, luas dan berkelanjutan
akan merupakan kunci utama untuk menurunkan populasi tikus secara dini
pada awal tanam, dan menentukan keberhasilan pengendalian tikus dalam
satu musim tanam padi dari serangan hama tikus sawah.
Tabel 2. Hasil tangkapan tikus kegiatan gropyokan massal di Kecamatan Tirtamulya Karawang, Jawa Barat pada kegiatan MT-I 2008
3.3.6 Pemerangkapan (trapping)
Beberapa jenis perangkap dapat digunakan untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup dan mati. Jenis perangkap dapat berupa multiple live capture trap atau singgle trap
dengan umpan pakan tikus di dalamnya. Umpan dapat digunakan dari jenis
biji-bijian dengan pemerangkapan dilakukan pada periode bera dan stadium
awal padi vegetatif. Sedangkan pemerangkapan pada periode padi
generatif, umpan yang digunakan dari bahan yang mengandung protein
tinggi seperti yuyu bakar atau jenis ikan kering lainnya. Pemerangkapan
ini biasanya hanya efektif apabila dilakukan pada kondisi lahan sawah
tidak banyak tersedia pakan tikus alternatif. Jenis perangkap tikus
lainnya adalah snap trap yaitu perangkap yang apabila mengenai
sasaran tikus, maka tikus akan terjepit dan mati ditempat. Perangkap
model ini banyak digunakan di lokasi perumahan untuk menangkap jenis
tikus rumah.
3.3.7 Sistem bubu perangkap linier (linier trap barrier system atau LTBS)
Alat
ini pertama kali di gunakan pada tahun 1995 di Balai Penelitian Tanaman
Padi Sukamandi. Pada awalnya LTBS digunakan untuk menangkap tikus sawah (trapping)
untuk sampel tikus hidup guna keperluan penelitian (Leung dan
Sudarmaji, 1999), dan pada waktu itu tidak ada metode lain yang efektif
untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup pada semua stadium padi.
Berdasarkan hasil pengujian, LTBS terbukti efektif dan mudah digunakan
untuk menangkap tikus sawah. Oleh karena itu, selanjutnya LTBS
direkomendasikan sebagai komponen teknologi utama untuk pengendalian
tikus sawah.
Linier trap barrier system
(LTBS) dirancang untuk menangkap tikus di daerah sarang/habitat tikus,
ketika melakukan pergerakan keluar sarang untuk beraktifitas pada malam
hari. Linier trap barrier system (LTBS) juga cocok untuk
menangkap tikus yang sedang migrasi (melakukan perpindahan secara
massal). Alat ini dirancang mudah dipasang dan dibongkar untuk dapat
dipindah-pindahkan ke tempat lain yang diperlukan LTBS; terdiri dari
pagar plastik, bubu perangkap, penyangga ajir bambu dan tanpa
menggunakan tanaman perangkap atau umpan (Gambar 5) (Sudarmaji dan
Anggara, 2006).
Penggunaan
LTBS untuk pengendalian tikus pada daerah dekat habitat sebaiknya
dipasang diantara pertanaman padi dan habitat, dimana tikus akan menuju
ke arah tanaman padi pada malam hari. Corong masuk bubu perangkap
sebaiknya diarahkan ke habitat atau sesuai arah datangnya tikus. Corong
bubu juga dapat diarahkan berseling apabila menginginkan tangkapan tikus
dari kedua arah. Pemasangan dapat dilakukan selama satu minggu atau
sampai tidak ada tangkapan tikus lagi, kemudian dibongkar dan dapat
dipindahkan ketempat lain. Pengambilan tangkapan tikus dilakukan setiap
pagi hari. Alat ini juga dapat dipasang untuk mengatasi migrasi tikus
terutama pada daerah atau blok yang mempunyai perbedaan waktu tanam atau
panen dengan blok lainnya.
3.3.8 Sistem bubu perangkap (trap barrier system atau TBS)
Sistem bubu perangkap (TBS) merupakan unit alat untuk menangkap tikus,
terdiri dari tiga komponen utama yaitu bubu perangkap tikus yang
berfungsi sebagai jebakan dan pengumpul tikus, pagar plastik berfungsi
mengarahkan tikus masuk ke dalam bubu perangkap, dan tanaman perangkap
berfungsi sebagai penarik (attractant) agar tikus bergerak ke lahan penangkapan TBS (Sudarmaji dkk., 2007).
Berdasarkan hasil penelitian, ukuran petak tanaman perangkap sangat menentukan tingkat wilayah tikus tertangkap (halo effect) terhadap pertanaman disekitarnya. Makin besar ukuran petak tanaman perangkap makin besar jumlah tangkapan tikus dan luas halo effect yang ditimbulkannya tetapi juga memerlukan biaya lebih banyak (Singleton et al., 2003). Halo effect
adalah luasan pertanaman bebas tikus sebagai pengaruh TBS terhadap
perlindungan serangan tikus di sekelilingnya. Hal tersebut dapat terjadi
karena tikus disekitar TBS tertarik menuju tanaman perangkap dan
terperangkap oleh bubu perangkap. Akibatnya populasi tikus disekitar TBS
rendah. Hasil penelitian membuktikan bahwa unit TBS berukuran 50mx50m
dapat melindungi tanaman padi disekitarnya seluas 10–15 ha (Singleton et al., 2003). Hasil tersebut juga diperkuat melalui hasil penelitian daya jelajah tikus yang dipantau dengan “radio tracking” untuk melihat pergerakan tikus menuju tanaman perangkap (Brown et al., 2001). Skema TBS disajikan dalam Gambar 6 sebagai berikut.
Keunggulan
teknologi TBS adalah efektif menangkap tikus dalam jumlah besar dan
terus-meneus di daerah endemis tikus serta dapat digunakan sebagai
indikator adanya migrasi tikus sawah. TBS dapat menghemat tenaga karena
hanya sekali memasang untuk sepanjang musim tanam dan ramah lingkungan
karena tanpa menggunakan umpan rodentisida. Singleton et al. (2005), telah membuktikan keuntungan penggunaan TBS untuk pengendalian tikus di Karawang, Jawa Barat dengan benefit-cost ratio
25:1. Teknologi TBS merupakan teknologi sederhana yang mudah dipahami
dan dapat dipraktekkan oleh petani. Hasil penelitian Sudarmaji dan
Anggara (2006), menunjukkan bahwa total tangkapan tikus sawah pada 16
TBS yang dipasang selama 4 musim tanam padi mencapai 15.991 ekor.
Tangkapan tersebut terdiri dari 7.765 ekor dari hasil tangkapan pada
periode MH dan 8.226 ekor dari periode MK (Gambar 7).
Tikus
yang tertangkap masih dalam keadaan hidup sehingga dapat juga
dimanfaatkan untuk keperluan lain, misalnya pakan ikan, itik dan
lainnya. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemantauan rutin untuk
pengambilan tangkapan tikus setiap hari, dan harus tetap mempertahankan
kualitas TBS (pagar plastik tidak berlubang). Penempatan tanaman
perangkap yang ditanam 21 hari lebih awal dari umur padi disekitarnya
dapat menyulitkan petani, serta memerlukan modal awal pembuatan TBS.
Konsep penggunaan TBS agar efisien, pengelolaannya harus dilakukan pada
skala kelompok tani. Jenis TBS dengan tanaman perangkap yaitu TBS
dengan tanam perangkap tanam awal, tanam akhir, dan pesemaian.
Rekomendasi
penggunaan TBS dengan tanaman perangkap diprioritaskan untuk diterapkan
pada daerah endemik tikus dengan populasi tinggi terutama pada musim
kemarau. Pengelolaan TBS sebaiknya dilakukan secara kelompok pada suatu
hamparan, baik pemeliharaan maupun pembiayaannya. Teknologi TBS
merupakan salah satu komponen teknologi pengendalian tikus yang
pelaksanaannya harus dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lain.
3.4 Pemanfaatan Musuh Alami
Pada
ekosistem sawah irigasi, musuh alami tikus sawah jarang ditemukan,
sehingga diperkirakan peran musuh alami dalam regulasi populasi tikus
sawah pada ekosistem sawah irigasi relatif kecil. Musuh alami tikus
diperkirakan banyak terdapat di daerah-daerah sawah yang berbatasan
dengan hutan atau di daerah dengan ekosistem yang tidak terganggu oleh
manusia.
Musuh
alami jenis pemangsa tikus sawah pada umumnya berasal dari kelompok
burung, mamalia dan reptilia. Pemangsa dari kelompok burung antara lain Tito alba javanica (burung hantu putih), Bubo ketupu (burung hantu cokelat) dan Nyctitorac nyctitorac (burung kowak maling). Pemangsa dari kelompok mamalia yaitu Verricula malaccensis (musang bulan atau rase), Herpestes javanicus (garangan), Felis catus (kucing) dan Canis familiaris (anjing). Diantara jenis dari kelompok reptilia adalah Ptyas koros (ular tikus), Naja naja (ular kobra), Trimeresurus hagleri (ular hijau), dan Phyton reticulatus (ular sanca) (Priyambodo, 1995).
Pemangsa
terbaik tikus sawah adalah burung hantu. Hal tersebut disebabkan karena
burung hantu mempunyai laju fisiologis yang besar sehingga mampu
mengkonsumsi tikus dalam jumlah banyak. Pemangsa jenis burung juga
mempunyai kemampuan mencari mangsanya lebih baik dibandingkan jenis
pemangsa lain. Walaupun demikian, burung hantu memerlukan habitat yang
sesuai seperti daerah perkebunan, pegunungan atau perkampungan.
Sedangkan pada daerah sawah irigasi yang luas dan terbuka, burung hantu
kurang cocok berdomisili di daerah tersebut. Cara yang paling mudah
untuk mengoptimalkan peran predator tikus adalah dengan memberikan
lingkungan yang cocok dan melindungi predator tikus tersebut.
Endoparasit
tikus sawah telah diteliti dan ternyata tikus sawah terinfeksi berbagai
jenis cacing di dalam organ dalamnya, tetapi tidak dapat menimbulkan
kematian secara langsung (Herawati dan Sudarmaji, 2003). Penggunaan
patogen antara lain bakteri salmonella telah dikembangkan sebagai
bentuk umpan tikus di beberapa negara. Di Vietnam digunakan jenis
rodentisida dengan bahan aktif bakteri salmonella dengan nama BIORAT,
tetapi umpan rodentisida tersebut juga membahayakan kesehatan manusia.
Di Australia telah dikembangkan metode pemandulan (imunocontracepsi)
pada kelinci dan mencit dengan suatu jenis virus spesifik. Penelitian
serupa untuk pengendalian tikus di Indonesia masih dalam tahap
identifikasi jenis virus spesifik sebagai agen pemandul pada tikus
sawah.
3.5 Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi merupakan pengendalian dengan penggunaan
bahan-bahan kimia yang dapat membunuh tikus atau dapat menganggu
aktivitas tikus, baik aktivitas untuk makan, minum, mencari pasangan
maupun reproduksi. Secara umum pengendalian dengan cara kimiawi
dibedakan menjadi empat jenis yaitu umpan beracun, bahan fumigasi, bahan
kimia repellent dan bahan kimia antifertilitas.
3.5.1 Rodentisida
Rodentisida
atau umpan racun merupakan teknologi pengendalian yang paling banyak
dikenal dan digunakan oleh petani untuk membunuh tikus sawah.
Rodentisida yang dipasarkan pada umumnya dalam bentuk siap pakai, atau
mencampur sendiri dengan bahan umpan. Rodentisida digolongkan menjadi
racun akut dan antikoagulan. Racun akut dapat membunuh tikus langsung
ditempat setelah makan umpan, sehingga dapat menyebabkan tikus jera.
Sedangkan rodentisida antikoagulan akan menyebabkan tikus mati setelah
lima hari memakan umpan dengan dosis yang cukup sehingga tidak
menyebabkan jera umpan. Namun demikian jenis rodentisida anticoaglan
mempunyai efek sekunder negatif terhadap predator tikus.
Keberhasilan
pengumpanan rodentisida sangat dipengaruhi oleh waktu pengumpanan,
jenis umpan dan penempatannya. Waktu yang tepat untuk pengumpanan adalah
ketika dilapangan sudah tidak ada lagi pakan padi (bera) sampai padi
vegetatif. Pada periode padi generatif tikus sawah lebih sulit diumpan
dengan rodentisida, karena lebih tertarik dengan tanaman padi yang ada.
Penggunaan rodentisida untuk pengendalian tikus sebaiknya merupakan
alternatif terakhir, karena sifatnya yang dapat mencemari lingkungan.
Teknik aplikasinya harus tepat dan sesuai dosis anjuran agar mendapatkan
hasil yang maksimal.
3.5.2 Fumigasi
Bahan
fumigan yang sering digunakan oleh petani sampai saat ini adalah asap
belerang dan karbit. Penggunaan emposan asap belerang merupakan cara
pengendalian tikus yang efektif, mudah diaplikasikan dengan biaya murah.
Teknik tersebut merupakan teknik untuk membunuh tikus sawah di dalam
sarang dan dapat dilakukan kapan saja atau pada periode bera dan saat
pertanaman padi. Namun demikian fumigasi dengan cara pengemposan yang
paling efektif adalah dilakukan pada saat padi generatif, yaitu ketika
tikus sawah sedang beranak di dalam sarang. Teknik tersebut dapat
membunuh anak tikus bersama induknya di dalam sarang (Sudarmaji, 2004).
Cara
fumigasi yang tepat adalah memasukkan cukup asap belerang kedalam lubang
sarang tikus, kemudian semua lubang keluar yang ada ditutup dan tidak
perlu dilakukan penggalian. Penggalian sarang setelah fumigasi merupakan
kegiatan yang tidak efisien karena memerlukan banyak waktu dan tenaga
hanya untuk membuktikan bahwa tikus yang difumigasi benar-benar mati.
Jenis fumigasi lainnya yang dapat dipakai adalah “tiram”, suatu cara
fumigasi menggunakan teknik asap kembang api dengan bahan aktif
belerang. Tiram dimasukkan ke dalam sarang tikus dan dinyalakan
sumbunya, maka asap belerang akan keluar dan dapat membunuh tikus.
Selain itu juga dapat digunakan fumigan untuk hama gudang seperti
Phostoxin, Detia dan lainnya.
3.5.3 Repellant
Repellent adalah bahan untuk menolak atau membuat tikus tidak nyaman
berada di daerah yang dikendalikan. Penggunaan repellent di lapangan
untuk mencegah/mengusir tikus sawah masih jarang digunakan, karena hanya
bersifat mengusir dan tidak membunuh tikus. Beberapa bahan alami nabati
seperti akar wangi diduga mempunyai efek repellent terhadap tikus,
namun masih diperlukan penelitian yang lebih intensif.
3.5.4 Antifertilitas
Cara
pemandulan tikus baik untuk tikus jantan maupun tikus betina dapat
digunakan untuk pengendalian tikus. Cara tersebut mempunyai prospek baik
karena tikus sawah mempunyai perkembangbiakan yang cepat dan jumlah
anak yang banyak dalam setiap kelahiran. Beberapa jenis bahan kimia yang
digunakan untuk pemandulan manusia juga dapat digunakan untuk
memandulkan tikus sawah.
Kesulitan
dalam penggunaan bahan antifertilitas dilapangan pada umumnya
menyangkut dosis umpan yang dikonsumsi tikus sawah kurang cukup
(subdosis) sehingga tikus yang mengkonsumsi bahan antifertilitas
tersebut tidak efektif menjadi mandul. Ekstrak minyak biji jarak (Richinus communis)
telah diteliti juga dapat digunakan sebagai rodentisida dan
antifertilitas nabati pada dosis sublethal. Perlakuan dosis sublethal
secara oral dapat menurunkan produksi sperma tikus jantan hingga 90% dan
kemandulan pada tikus betina.
4. Strategi Pengendalian
Pengendalian
tikus sawah dilakukan dengan pendekatan yang sangat berbeda dengan
pengendalian untuk hama padi lainnya. Pengendalian hama tikus dilakukan
dengan pendekatan pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) yaitu
pengendalian tikus yang di dasarkan pada pemahaman ekologi tikus,
dilakukan secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan
teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan
pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan
terkoordinir dengan cakupan sasaran pengendalian dalam skala luas.
Strategi
pengendalian tikus sawah terutama harus dilakukan pada saat populasi
tikus masih rendah dan mudah pelaksanaannya yaitu pada periode awal
tanam, dengan sasaran menurunkan populasi tikus betina dewasa sebelum
terjadi perkembangbiakan. Membunuh satu ekor tikus betina dewasa pada
awal tanam, setara dengan membunuh 80 ekor tikus setelah terjadi
perkembangbiakan pada saat setelah panen (Sudarmaji dkk., 2005).
Penurunan
tingkat populasi pada awal tanam (dini) adalah sangat penting karena
menentukan keberhasilan pengendalian tikus sepanjang musim tanam.
Disamping itu pengendalian tikus yang dilakukan ketika tanaman padi
telah tinggi (canopinya telah menutup) akan lebih sulit, karena sebagian
tikus sudah berada di tengah pertanaman padi. Pada periode bera, tikus
berada pada berbagai habitat disekitar persawahan seperti tanggul
irigasi, pematang besar, jalan sawah, anak sungai, pinggiran desa dan
lain-lain. Oleh karena itu, tindakan pengendalian dini ditujukan pada
habitat-habitat tikus tersebut.
Pengendalian
pada saat bera dan persiapan pengolahan tanah, dapat dilakukan dengan
cara gropyokan dan tindakan sanitasi habitat tikus yaitu di tepi
kampung, tanggul-tanggul irigasi, pematang besar, jalan sawah, pinggiran
anak sungai dan lainnya. Sebaiknya dilakukan usaha mengubah habitat
tikus yang ada di lingkungan persawahan menjadi habitat yang tidak
disukai tikus sebagai tempat berlindung dan bersarang. Usaha tersebut
merupakan salah satu cara pengendalian tikus yang efektif untuk jangka
panjang. Gropyokan dapat dilakukan dengan cara empos-gali, memompa air
ke dalam sarang tikus, dan cara-cara lain. Pengumpanan rodentisida hanya
direkomendasikan apabila populasi tikus sangat tinggi untuk
menurunkan tingkat populasi segera pada periode sebelum tanam.
Pada
periode pesemaian, gropyokan massal (berburu tikus) masih harus terus
dilakukan. Pemagaran persemaian dengan plastik dan pemasangan bubu
perangkap perlu dilakukan. Hal tersebut selain dapat mengamankan
pesemaian juga dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut.
Pesemaian sebaiknya dibuat sebagai pesemaian kelompok sehingga akan
lebih memudahkan pengelolaan.
Menyiapkan
dan memasang TBS dengan tanaman perangkap harus sudah direncanakan dan
dipersiapkan sejak awal, khususnya penanaman tanaman perangkap. Ketika
petani pada hamparan tersebut menyemai padi, tanaman perangkap harus
sudah ditanam dan sekaligus memasang pagar plastik serta perangkap
bubunya. Persemaian untuk tanaman perangkap harus dipersiapkan lebih
awal yaitu tiga minggu dari waktu semai petani di hamparan tersebut.
Sistem perangkap bubu tersebut akan efektif menarik dan memerangkap
tikus dari periode pengolahan tanah hingga panen. Tangkapan tikus pada
perangkap bubu akan tinggi pada waktu TBS mulai dipasang dan di
sekitarnya masih bera/pengolahan tanah serta pada saat tanaman perangkap
telah bunting/malai dimana tanaman sekitarnya masih stadium vegetatif.
Pengendalian tikus harus mencakup target areal yang luas dengan memperhatikan habitat perlindungan tikus (refuge habitats)
pada saat bera di luar daerah persawahan. Habitat tersebut merupakan
sumber infestasi tikus sawah pada saat ada pertanaman padi. Sebaiknya
dilakukan pemasangan LTBS di daerah tepi kampung untuk menangkap tikus
yang akan kembali ke sawah. Mengatur waktu tanam dan panen serempak,
mempertahankan adanya periode bera, sanitasi ratun padi dan gulma,
merupakan usaha yang perlu dilakukan oleh petani untuk menghambat laju
populasi tikus sawah. Pengendalian tikus pada stadium padi generatif
sebaiknya ditujukan pada habitat tanggul irigasi yang merupakan habitat
utama tempat tikus berkembangbiak. Cara fumigasi merupakan metode
pengendalian yang efektif pada periode perkembangbiakan tikus karena
dapat membunuh induk dan anak-anaknya di dalam sarang.
Kunci
sukses pengendalian hama tikus terpadu adalah adanya partisipasi semua
petani dan dilakukan secara berkelanjutan serta terkoordinir dengan
baik. Pengendalian tikus yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri tidak
akan mendapatkan hasil yang efektif. Hal tersebut disebabkan oleh
mobilitas tikus sawah yang tinggi, sehingga daerah yang telah
dikendalikan akan segera terisi oleh tikus yang berasal dari daerah
sekitarnya (ekologi kompensasi).
Organisasi
pengendalian hama tikus sawah di tingkat desa sebaiknya beranggotakan
seluruh petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani dalam suatu
hamparan atau tingkat desa. Pelaksanaan pengendalian oleh kelompok tani
tersebut dikoordinir oleh aparat desa setempat (kepala desa) dan
digerakkan oleh PPL setempat. Pada tingkat yang lebih tinggi peran
camat, bupati atau gubernur sebagai pemegang komando gerakan
pengendalian tikus sangat penting dan menentukan.
|
No comments:
Post a Comment