Wednesday, June 6, 2012

Hama dan Penyakit Padi

EKOLOGI TIKUS SAWAH DAN TEKNOLOGI PENGENDALIANNYA
Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob dan Kloss) merupakan hama utama tanaman padi dari golongan mamalia (binatang menyusui), yang mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda dibandingkan jenis hama utama padi lainnya. Oleh karena itu dalam pengendalian hama tikus ini, diperlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan cara penanganan hama padi dari kelompok serangga.
Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi mulai dari saat pesemaian padi hingga padi siap dipanen, dan bahkan menyerang padi di dalam gudang penyimpanan. Kerusakan akibat tikus sawah di negara-negara Asia mencapai 10–15% setiap tahun (Singleton, 2003), dan di Indonesia luas serangan tikus sawah setiap tahun rata-rata mencapai lebih dari 100.000 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003). Kerugian akibat hama tikus dapat jauh lebih tinggi lagi karena kerusakan pada periode pesemaian dan stadium padi vegetatif tidak termasuk  kerugian yang dilaporkan.
Distribusi keberadaan tikus sawah sangat luas, karena dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan/lahan kering, maupun lahan sawah rawa pasang surut. Namun demikian keberadaan tikus sawah lebih dominan sebagai hama utama padi di lahan sawah irigasi. Tikus sawah tergolong binatang pemakan dari berbagai jenis tumbuhan dan hewan (omnivora), sehingga juga berperan sebagai hama pada tanaman hortikultura, perkebunan dan hama gudang. Tikus sawah juga diketahui sebagai vektor penyebab penyakit berbahaya pada manusia dan binatang ternak  (Begon, 2003).

Pengendalian hama tikus pada tanaman padi sampai saat ini keberhasilannya masih belum konsisten, dan belum semua petani di berbagai propinsi di Indonesia memahami cara pengendalian tikus yang benar. Beberapa faktor penyebab kurang berhasilnya pengendalian tikus oleh petani antara lain: (1) monitoring terhadap keberadaan hama tikus oleh petani masih kurang, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mengantisipasi pengendalian, (2). pemahaman petani terhadap berbagai aspek sifat-sifat biologis hama tikus dan teknologi pengendaliannya masih lemah, (3) kegiatan pengendalian belum terorganisir dengan baik (masih sendiri-sendiri), dan tidak berkelanjutan, (4) ketersediaan sarana pengendalian masih terbatas dan (5) masih banyak petani yang mempunyai persepsi “mistis” terhadap tikus yang dapat menghambat pelaksanaan pengendalian.

Berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, telah direkomendasikan alternatif-alternatif pendekatan pengendalian tikus sawah yang telah terbukti efektif yaitu pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) (Sudarmaji, 2006). Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT) adalah pengendalian tikus yang didasarkan pada pemahaman ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinasi dengan cakupan sasaran pengendalian berskala luas (hamparan atau desa).

Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya menekan tingkat populasi tikus menjadi serendah mungkin melalui berbagai metode dan teknologi pengendalian, sehingga secara ekonomi keberadaan tikus di lahan pertanian tidak merugikan secara nyata. Menjaga populasi tikus sawah agar selalu berada pada tingkat populasi yang rendah adalah penting. Oleh karena itu, perlu diupayakan langkah-langkah dan strategi pengendalian tikus sawah dengan pendekatan PHTT. Berbagai komponen teknologi untuk pengendalian tikus sawah yang telah ada sampai saat ini sebenarnya cukup efektif apabila penerapannya telah sesuai dengan rekomendasinya. Ketepatan waktu pelaksanaan pengendalian, habitat sasaran pengendalian, dan pemilihan jenis teknologi yang dipakai, akan menentukan keberhasilan usaha pengendalian tikus sawah.
1. . Kerusakan oleh Tikus Sawah pada Tanaman Padi
Tikus sawah merupakan hama padi yang menimbulkan kerusakan dan kerugian besar pada tanaman padi di negara-negara Asia pada umumnya, termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan  Singleton (2003), kehilangan hasil padi akibat tikus sawah di 11 negara Asia (Banglades, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippina, Thailand dan Vietnam) diperkirakan mencapai 5–10%. Apabila dihitung kerugian sebesar 5% saja, nilainya setara dengan 30 juta ton beras dan cukup untuk memberi makan 180 juta orang  selama 12 bulan.
Tingkat kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi di Indonesia, bervariasi dari kerusakan ringan sampai terjadi puso atau gagal panen. Rata-rata intensitas serangan tikus setiap tahun pada tanaman padi di Indonesia selama sepuluh tahun (1989–1998) mencapai 19,3%, dengan luas serangan 90.837 ha. Sedangkan pada kurun waktu tahun 1998–2002 tercatat luas serangan mencapai 165.381 ha dan 7.699 ha diantaranya puso (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003). Kerusakan akibat hama tikus pada tanaman padi tersebut, selalu merupakan kerusakan terbesar dibanding dengan kerusakan yang ditimbul­kan oleh hama utama padi lain, seperti wereng cokelat dan penggerek batang padi. Rata rata tingkat kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi selama kurun waktu 1977–2005 diseluruh Indonesia disajikan pada Gambar 1.
Distribusi kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi, terjadi di seluruh propinsi di Indonesia, dengan intensitas dan luas serangan bervariasi. Sebagai contoh pada tahun 2002 serangan tikus paling berat terjadi di Jawa Barat yaitu lebih dari 20.000 ha, disusul Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan masing-masing antara 10.000–20.000 ha, Jawa Timur, Lampung dan Sulawesi Tenggara masing-masing antara 5.000–10.000 ha, serta propinsi lainnya masing-masing kurang dari 5.000 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003).
Tikus sawah juga menyebabkan kerusakan pada berbagai komoditas pertanian lain baik pada tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan, serta, tidak hanya di lahan sawah irigasi, tetapi juga di daerah lahan kering dan lahan rawa pasang surut. Oleh sebab itu, jenis tikus sawah ini dikenal sebagai hama lintas agroekosistem dan komoditas pertanian.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi mulai dari pesemaian hingga padi menjelang panen. Rochman (1992), mencatat pada pesemaian padi berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata 283 bibit padi dalam satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif) merusak anakan padi rata-rata 79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang, serta pada stadium padi bermalai 12 batang  per malam.  Tikus  sawah  diketahui  lebih  suka  menyerang  tanaman padi   yang sedang bunting, sehingga pada umumnya padi stadium bunting akan mengalami kerusakan yang paling tinggi. Berdasarkan pengamatan dari malai padi yang dipotong, ternyata hanya beberapa malai saja yang dimakan (Rochman dan Toto, 1976). Kebutuhan pakan tikus setiap hari hanya seberat kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan daya rusaknya terhadap malai padi lima kali lebih besar dari bobot malai padi yang dikonsumsi.
Hasil penelitian Sudarmaji (2004), menunjukkan bahwa intensitas kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah di lapangan terbuka dan di dalam sawah berpagar (enclosure), menunjukkan intensitas kerusakan yang berbeda diantara stadium padi. Intensitas kerusakan tertinggi terjadi pada stadium padi bunting, baik di lapangan terbuka maupun di dalam sawah berpagar (Tabel 1).
Tingginya kerusakan yang terjadi pada stadium padi bunting, berkaitan erat dengan adanya preferensi tikus terhadap pakan padi bunting. Telah dibuktikan bahwa tanaman padi stadium bunting merupakan pakan yang paling disukai tikus sawah dibandingkan dengan jenis pakan yang ada di habitat hidupnya yaitu di ekosistem sawah irigasi (Tristiani et al., 1992;  Rahmini dan  Sudarmaji, 1997).  Ketertarikan  tikus  sawah terhadap padi bunting, telah digunakan sebagai dasar pengendalian tikus dengan konsep Trap Barrier System (TBS) sebagai tanaman perangkap di ekosistem sawah irigasi (Singleton et al., 1997; Sudarmaji dan Anggara, 2006; Sudarmaji et al., 2007).  Dilaporkan juga oleh Sudarmaji (2004), bahwa kerusakan yang disebabkan oleh enam pasang ekor tikus dan keturunannya selama satu musim tanam padi mencapai 37,02%, yang nilainya setara dengan kehilangan gabah tiga ton atau 4,5 juta rupiah dalam satu ha sawah. Perhitungan tersebut dengan asumsi bahwa hasil panen mencapai 8 ton/ha gabah kering panen dengan harga jual Rp1.500,- /kg.
Tabel 1. Intensitas kerusakan tanaman padi oleh tikus sawah di lapangan terbuka dan di dalam sawah berpagar (enclosure)

Stadium padi
Rata-rata intensitas kerusakan tanaman padi (%)
di sawah berpagar
(1 musim tanam)
di sawah terbuka
(7 musim tanam)
Bertunas maksimum
6,60±0,68  a
2,18±0,39  a
Bunting
20,85±2,12  b
5,33±1,14  b
Matang panen
9,57±2,11  a
1,12±0,17  a
Kumulatif
37,02±4,91
8,63±1,70

2.  Ekologi Tikus Sawah

2.1  Klasifikasi dan Deskripsi
Tikus termasuk golongan binatang mengerat atau Rodensia yang merupakan kelompok terbesar dari kelas binatang Mamalia, karena memiliki jumlah spesies terbesar (2.000 spesies) atau 40% dari 5.000 spesies binatang yang termasuk kelas Mamalia (Aplin et al., 2003). Di Indonesia kurang lebih terdapat 164 spesies tikus  dan lebih dari 25 spesies tikus diantaranya menyebabkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman, dan hanya 13 spesies tikus yang merupakan hama di daerah pertanian. (Aplin et al., 2003). Menurut Sudarmaji et al. (2005), spesies tikus yang termasuk jenis hama di daerah pertanian di Indonesia berasal dari Genus Bandicota, Rattus dan Mus. Diantara spesies tikus yang termasuk hama, tikus sawah (Rattus argentiventer, Rob and Kloss) merupakan hama utama padi dan juga berperan sebagai vektor penyebab penyakit pada manusia dan hewan ternak. Di daerah ekosistem sawah irigasi di Karawang Jawa Barat, Sudarmaji et al,. (2005) mendapatkan tiga spesies tikus yaitu tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus rumah (Rattus rattus diardii) dan tikus wirok (Bandicota indica). Pada daerah tersebut spesies tikus sawah lebih dominan dibanding spesies lainnya yang mencapai 98,6%.
Pada tahun 1916, Robinson dan Kloss memberi nama pertama kali Taxon argentiventer berdasarkan seekor tikus dewasa yang ditemukan di Pasir Ganting daerah pantai Sumatra Barat. Selama kurun waktu 1916–1945, telah tujuh nama diajukan dalam literatur mammalogi untuk spesies yang sekarang dikenal sebagai Rattus argentiventer, yaitu: argentiventer untuk tikus yang berasal dari Sumatra; brevicaudatus yang berasal dari Jawa; bali yang berasal dari pulau Bali; pesticulus untuk tikus yang berasal dari Sulawesi; saturnus untuk yang berasal dari Sumba; chaseni yang berasal dari Malaya; dan umbriventer yang berasal dari Mindoro Philippina (Musser, 1973).
Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi binatang menurut  Murakami et al. (1992) adalah sebagai berikut :

Filum

:  Chordata

Subfilum

:  Vertebrata

Kelas

:  Mammalia

Ordo

:  Rodentia

Famili

:  Muridae

Genus

:  Rattus

Spesies

:  Rattus argentiventer (Rob & Kloss) atau tikus sawah.
2.2  Perkembangbiakan
Perkembangbiakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan laju peningkatan populasi tikus sawah. Perkembangbiakan tikus erat kaitannya dengan kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia. Tikus bersifat omnivora, meskipun demikian tanaman padi merupakan sumber utama pakan tikus yang paling disukainya (Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Hasil penelitian Rochman dan Sudarmaji (1997), menunjukkan bahwa tanaman padi bunting apabila dikonsumsi oleh tikus sawah, akan berpengaruh positif terhadap perkembangbiakannya. Pada periode tersebut terjadi awal proses reproduksi tikus. Generasi yang dihasilkan pada waktu padi stadium bunting merupakan pemicu dari penggandaan populasi dan berlanjut hingga padi bermalai dan masa panen. Rochman dkk. (1982), memaparkan bahwa di daerah dengan pola tanam padi 2 kali dalam 1 tahun akan terdapat 2 kali periode perkembang-biakan tikus sawah. Di daerah dengan pola tanam padi tidak serempak memperlihatkan pola perkembangbiakan tikus yang tidak teratur. Tikus sawah akan berkembangbiak aktif sepanjang tahun apabila selalu tersedia tanaman padi yang sedang menguning atau pada stadium generatif padi.
Pada umumnya jenis binatang pengerat dan seperti halnya tikus sawah, mempunyai potensi perkembangbiakan cepat sehingga populasinya akan berkembang dengan cepat pula.  Tikus betina bunting selama 21 hari dan menyusui anaknya selama 21 hari. Tikus mampu bunting dan menyusui dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Meehan, 1984). Pada kondisi lingkungan yang baik, di dalam satu sarang dapat dihuni induk betina yang sedang bunting bersama dua generasi anak-anaknya (Sudarmaji dkk., 2007). Tikus sawah dapat berkembangbiak apabila telah mencapai kematangan seksual. Kematangan seksual tikus betina relatif lebih cepat yaitu pada umur 28 hari, yang ditandai dengan membukanya vagina (estrus) dan kebuntingan dapat terjadi pada umur 40 hari.  Kematangan seksual tikus jantan lebih lambat yaitu setelah berumur 60 hari. Sudarmaji dan Rahmini (1997), mendapatkan tikus betina bunting berumur 45 hari dan tidak mendapatkan tikus betina bunting dari sampel tikus yang diambil dari lapangan yang berumur lebih dari 12 bulan.
Jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina bervariasi pada setiap periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya jumlah embrio setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi dihasilkan oleh induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi bunting sampai pengisian malai (bunting pertama) dengan rata-rata jumlah embrio 12,83±0,8 embrio, pada kebuntingan kedua (padi matang) 11,49±1,1 embrio, dan pada kebuntingan ketiga (panen/bera awal) 7,80±1,0 embrio (Sudarmaji dkk., 2007).
Tersedianya pakan padi yang cukup dengan kualitas baik, pada saat padi bunting dan awal pengisian malai, merupakan faktor yang diduga kuat berpengaruh terhadap jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk betina. Selain itu, diketahui bahwa tikus-tikus muda yang melahirkan pertama kali akan menghasilkan embrio lebih banyak dibandingkan tikus betina yang berumur lebih tua (Sudarmaji, 2004). Penurunan jumlah embrio juga disebabkan oleh terbatasnya pakan yang berkualitas khususnya pada periode bera, dan tikus betina cenderung merespon dengan mengurangi jumlah anaknya menjadi lebih sedikit agar dapat bertahan hidup setelah dilahirkan. Tikus betina bunting dapat mengabsorbsi sebagian embrio yang dikandungnya apabila kondisi lingkungan kurang menguntung­kan. Berdasarkan hasil penelitian dengan pengambilan sampel penggalian sarang tikus, diketahui bahwa dari total 77 ekor induk betina yang melahirkan anak, didapatkan anak-anak tikus sebanyak 785 ekor. Jumlah anak yang dilahirkan bervariasi dari 4 ekor sampai 16 ekor per induk betina, dengan rata-rata 10,14± 4,5 ekor anak setiap melahirkan (Sudarmaji dkk., 2007).
Frekuensi tikus betina dalam melahirkan anak, dapat diidentifikasi berdasarkan jumlah set plasenta scars. Plasenta scars merupakan bekas luka tempat menempelnya embrio pada uterus tikus betina yang tampak berupa bintik merah, hitam sampai kecokelatan. Berdasarkan hasil otopsi terhadap 164 ekor tikus betina dewasa yang pernah melahirkan diketahui bahwa proporsi populasi tikus betina di lapangan dengan satu set plasenta scar atau melahirkan satu kali mencapai 54,27%, dua kali melahirkan 34,76%, tiga kali melahirkan 10,36% dan empat kali melahirkan 0,60% (Sudarmaji dkk., 2007).  Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tikus sawah selama hidupnya mempunyai potensi melahirkan anak sampai empat kali, namun demikian kelahiran anak dari tikus-tikus yang berumur tua (lebih dari satu tahun) sangat jarang terjadi.
Sudarmaji (2004) melaporkan, bahwa pada varietas padi unggul baru dengan rata-rata umur padi mencapai 120 hari, perkawinan tikus diperkirakan dimulai sejak padi stadium bertunas maksimum (maximum tillering). Tikus sawah bunting selama 21 hari dan dapat kawin lagi 48 jam setelah melahirkan (post-partum oestrous), sehingga selama satu musim tanaman padi dapat terjadi tiga kali kelahiran. Berdasarkan kelahiran yang terjadi pada satu musim tanam dan banyaknya anak yang dilahirkan, dapat dihitung jumlah individu yang dihasilkan oleh satu ekor tikus betina. Tikus sawah menghasilkan anak rata-rata 10 ekor dalam satu kali kelahiran dengan nisbah kelamin sama. Dalam satu musim tanam padi dapat terjadi tiga kali kelahiran dan dihasilkan 30 ekor tikus muda. Apabila terjadi tanam padi tidak serempak sehingga terjadi keterlambatan panen lebih dari dua minggu, atau terdapat ratun padi yang bermalai pada periode sawah bera, maka tikus betina muda yang dilahirkan pertama kali oleh induknya telah dapat melahirkan anak. Lima ekor tikus betina muda dari kelahiran pertama tersebut akan melahirkan anak sebanyak 50 ekor, sehingga total jumlah anak yang dapat dihasilkan dari satu ekor induk betina dalam satu musim tanam padi diperkirakan mencapai 80 ekor (Gambar 2).
Peneliti lain melaporkan bahwa dari satu ekor induk tikus mampu menghasilkan keturunan 510 ekor selama 10 bulan dan akan menjadi 2.046 ekor dalam 13 bulan (Sama dan Rochman, 1988). Murakami et al., (1992), mendapatkan sekurang-kurangnya jumlah anak tikus dari satu induk betina dalam satu musim tanam mencapai 100 ekor  dari dua sampai tiga kali kelahiran.
Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi daya dukung perkembangan populasi tikus sawah. Tersedianya habitat yang memadai akan menguntungkan tikus untuk mendapatkan tempat hidup dan tempat berkembangbiak dengan baik. Oleh karena itu, pemahaman habitat tikus sangat diperlukan dalam upaya pengelolaan populasi tikus, khususnya pada lahan sawah dengan pertanaman padi.
Tikus sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari (nokturnal).  Pada siang hari tikus berlindung di dalam sarang dengan membuat liang di dalam tanah atau di semak-semak.  Penelitian dengan menggunakan pelacak gelombang radio (radio tracking) menunjukkan bahwa pada malam hari tikus lebih banyak mengunjungi daerah pertanaman padi (60%) dibandingkan berbagai jenis habitat lain yang ada disekitarnya.  Pada siang hari tikus lebih banyak berada di luar daerah pertanaman padi yaitu di tanggul irigasi dan daerah-daerah dekat perkampungan (Sudarmaji dan Rahmini, 2002). Hadi dkk. (2006) melaporkan, tikus sawah pada siang hari 82% tinggal di daerah pematang dan sebaliknya pada malam hari 95% aktif di tengah pertanaman tengah padi. Brown et al. (2001), juga melaporkan tidak terdapat perbedaan nyata daya jelajah tikus sawah di habitatnya antara tikus jantan dan betina. Rata-rata daya jelajah tikus jantan adalah 3,01 ha dan tikus betina 1,97 ha, sedangkan Tristiani et al. (2003) juga mendapatkan daya jelajah tikus jantan lebih besar dari tikus betina dengan pergerakan tikus 63% berada di daerah pertanaman padi selama musim tanam padi.
Tikus memilih sarang terutama pada habitat yang memberikan perlindungan dan aman dari gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan dan air.  Sarang tikus berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara anak dan untuk menimbun pakan. Sejalan dengan bertambahnya anggota kelompok tikus di dalam sarang, maka jaringan sarang akan semakin luas. Murakami et al. (1992), melaporkan bahwa pada stadium padi vegetatif, konstruksi sarang masih dangkal, pendek dan belum banyak cabang. Setelah pertumbuhan tanaman padi mencapai stadium generatif, konstruksi sarang tikus menjadi lebih dalam, panjang dan bercabang-cabang serta mempunyai pintu keluar lebih dari satu pintu. Pada kondisi tersebut tikus mempersiapkan diri untuk melahirkan anak-anaknya. Dilapor­kan juga oleh Sudarmaji (1990), bahwa panjang dan volume sarang tikus pada stadium padi generatif dua kali lebih panjang dan lebih besar dibanding pada stadium padi vegetatif. Panjang sarang rata-rata empat meter dan volumenya mencapai 10,3 liter. Hal tersebut karena tikus memerlukan sarang yang lebih longgar dan nyaman untuk membesarkan anak-anaknya.
Tingkat hunian sarang tikus bervariasi tergantung kondisi lingkungan dan tidak semua sarang dihuni oleh tikus (aktif). Pada periode kekurangan pakan atau banjir sarang tikus akan ditinggalkan. Hal tersebut terjadi pada saat sawah periode bera, periode pengolahan tanah dan periode tanam. Pada periode tersebut tikus bermigrasi dan akan kembali setelah pertanaman padi berumur dua bulan atau menjelang stadium padi generatif (Sudarmaji dan Herawati, 2001). Rochman (1982), melaporkan bahwa pada pertanaman padi berumur satu bulan, hanya 25% sarang yang dihuni.
Pada ekosistem padi sawah, berdasarkan laporan Sudarmaji dan Rochman (1997), diperkirakan terdapat preferensi habitat spesifik tikus sawah. Lam (1983), menemukan bahwa 97% tikus sawah khususnya dari jenis R. argentiventer, membangun sarangnya pada pematang dengan ketinggian 15 cm dan lebar 30 cm atau lebih. Sudarmaji dkk. (2007), mengidentifikasi 5 jenis habitat tikus sawah di ekosistem sawah irigasi dan didapatkan habitat tepi kampung dan tanggul irigasi merupakan habitat yang paling banyak dihuni tikus sawah. Tangkapan tikus sawah paling tinggi berasal dari habitat kampung (35,1%), tanggul irigasi (29,8%), jalan sawah (16,5%), dan tangkapan tikus terendah berasal dari habitat parit sawah dan tengah sawah masing masing-masing 9,6% dan 9,0% (Gambar 3).
Habitat kampung merupakan habitat yang menjadi tujuan tikus sawah migrasi pada periode bera, untuk mendapatkan pakan alternatif dan tempat berlindung sementara. Oleh karena itu, tangkapan tikus pada habitat kampung selama periode bera selalu paling tinggi dibandingkan tangkapan pada habitat lain. Tikus sawah di habitat kampung pada umumnya tidak membuat sarang, tetapi berlindung dalam tumpukan jerami atau kayu, kandang ternak dan bahkan rumah penduduk. Sudarmaji dan Herawati (2001), mendapatkan tangkapan tikus yang tinggi pada habitat kampung, tetapi tidak menemukan sarang aktif tikus di habitat tersebut. Keberadaan tikus sawah di habitat kampung pada periode bera, diperkirakan akan mendapat ancaman cukup besar dari pemangsa jenis kucing dan predator lain. Populasi tikus yang dapat bertahan hidup dan kembali ke daerah persawahan lagi diperkirakan jumlahnya akan berkurang.
Tanggul irigasi di ekosistem sawah irigasi merupakan habitat penting tikus sawah dan merupakan habitat utama untuk berkembangbiak (Sudarmaji dkk., 2007). Habitat tanggul irigasi dipilih tikus sawah karena apabila terjadi banjir, sarang pada tanggul tersebut tidak terendam air. Pada umumnya tanggul irigasi dibangun dari tanah berukuran lebar 1–2 meter dengan tinggi lebih dari satu meter. Di daerah habitat tanggul irigasi maupun kampung pada umumnya masih tersedia sumber air dan pakan tikus alternatif ketika sawah dalam keadaan bera, sehingga habitat tersebut disebut sebagai habitat perlindungan tikus.
2.3 Habitat
Tikus sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya, yaitu berat badan tikus dewasa antara 100–230 g, panjang kepala-badan antara 70–208 mm,  panjang tungkai belakang 32–39 mm dan panjang telinga 20–22 mm. Ekor biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal berwarna cokelat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga memberi kesan seperti berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, abdominal dan inguinal berwarna putih, dan sisa bagian bawah lainnya putih keperakan atau putih keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan warna badan dan banyak yang berwarna cokelat gelap pada bagian karpal dan tarsal. Ekor berwarna gelap pada bagian atas dan bawah (Murakami et al., 1992 ; Aplin et al., 2003).
Tikus betina mempunyai puting susu berjumlah duabelas buah. Ukuran dan berat badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan testisnya. Anak tikus yang baru dilahirkan berwarna merah, tidak berambut dan belum dapat melihat (Meehan, 1984). Anak tikus yang berumur 7–10 hari, rambut akan tumbuh lengkap dan matanya mulai terbuka sehingga dapat melihat. Pada umur tersebut anak tikus masih disusui oleh induknya di dalam sarang yang berada di dalam tanah. Anak tikus setelah berumur 20 hari, akan disapih oleh induknya untuk hidup mandiri. Apabila kondisi lingkungan cukup baik seperti pakan yang berlimpah, maka anak tikus akan tinggal di dalam sarang bersama induknya lebih lama. Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5–9 minggu.
2.4 Dinamika Populasi
Mempelajari dinamika populasi terutama bertujuan mempelajari perubahan ukuran kerapatan populasi pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta menjelaskan mekanisme yang mendasari perubahan tersebut (Richards, 1982). Di dalam populasi juga terdapat faktor-faktor yang saling mempengaruhi baik faktor internal maupun eksternal, yang berpengaruh terhadap tingkat kerapatan populasi dari waktu ke waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kerapatan populasi di alam antara lain peningkatan karena adanya kelahiran (natalitas), peningkatan karena masuknya beberapa individu sejenis dari populasi lain (imigrasi), penurunan karena kematian (natalitas), dan penurunan karena keluarnya beberapa individu dari populasi ke populasi lain (emigrasi) (Krebs, 1995). Faktor pakan, tempat berlindung, musuh alami dan kompetisi berpengaruh terhadap ke empat faktor utama penyebab perubahan populasi tersebut.
Tikus sawah, seperti binatang hama pada umumnya memiliki tipe strategi r (r-strategist), yaitu mereka dapat berkembangbiak dalam waktu singkat sehingga akan terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau sering disebut dengan ledakan populasi. Hal tersebut dapat terjadi apabila kondisi lingkungan yang memungkinkan seperti tersedianya pakan yang melimpah, terdapat tempat berlindung dan bersarang yang memadai (Macdonald and Fenn, 1994). Setelah terbentuk populasi dengan tingkat kerapatan yang tinggi, selanjutnya terjadi berkurangnya persediaan pakan, tempat perlindungan, dan kompetisi, sehingga populasi tikus akan turun kembali secara alamiah.
Pada daerah agroekosistem sawah irigasi terdapat kecenderungan bahwa populasi tikus dan tingkat kerusakan tanaman padi di Indonesia pada musim kemarau (MK) lebih tinggi dibanding pada musim hujan (MH).  Periode bera MH yang pendek yaitu kurang dari dua bulan, memberi peluang masih cukup tersedianya pakan alternatif di lapangan, dan berpengaruh positif terhadap tingkat hidup tikus sawah. Tikus yang dapat bertahan hidup akan dapat berkembangbiak pada musim tanam MK berikutnya (Sudarmaji dan Baehaki, 1994). Namun demikian di beberapa daerah, lama periode bera MH dan MK hampir sama karena terkait dengan golongan pengairan sehingga populasi tikus pada MK dan MH relatif tidak berbeda.
Berdasarkan pemantauan pada lahan sawah seluas 2 ha diketahui bahwa pada saat kerapatan populasi rendah jumlah tikus hanya mencapai 5 ekor sampai 25 ekor/ha dan pada puncak kerapatan populasi dapat mencapai 250–900 ekor/ha. Peningkatan populasi tersebut terjadi sangat cepat dan untuk mencapai puncak kerapatan populasi, hanya dibutuhkan waktu 1,5 hingga 2 bulan (Tristiani dkk., 1992). Wood (1994) melaporkan bahwa, pada tanaman padi di Indonesia puncak populasi tikus sawah terjadi pada satu sampai dua bulan setelah panen dengan populasi lima ekor sampai 25 ekor/ha pada awal tanam, meningkat menjadi lebih dari 700 ekor/ha pada saat panen.
Berdasarkan hasil penelitian selama empat tahun di ekosistem sawah irigasi di Karawang, Jawa Barat (Sudarmaji dkk., 2005), diketahui tingkat kerapatan populasi tikus sawah berfluktuasi sangat tajam selama periode musim tanam padi dan bera. Perubahan kepadatan populasi tersebut polanya selalu berulang (repeated pattern) dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun (Gambar 4). Terdapat 1 kali puncak populasi dalam 1 kali musim tanam padi, sehingga pada pola tanam padi-padi-bera dalam 1 tahun terdapat 2 kali puncak populasi tikus sawah. Puncak populasi tikus sawah tertinggi terjadi pada periode bera yang merupakan hasil kelahiran tikus pada periode stadium generatif padi.
Faktor utama penyebab peningkatan populasi tikus sawah adalah tersedianya pakan padi, sehingga terjadi kelahiran tikus yang cepat (tiga kali kelahiran) pada stadium padi generatif dan menyebabkan peningkatan kerapatan populasi yang tinggi pada periode bera. Pakan padi stadium generatif merupakan pakan tikus yang berkualitas tinggi dan berpengaruh nyata terhadap peningkatan berat badan tikus. Tanpa adanya tanaman padi tikus sawah tidak berkembangbiak dan terjadi kematian (Sudarmaji, 2004). Malai ratun padi merupakan pakan alternatif penting bagi tikus sawah pada periode bera dan memperpanjang periode perkembangbiakan.
Penurunan populasi tikus terjadi setelah periode bera bulan kedua, karena migrasi tikus akibat hilangnya pakan padi (panen), terjadinya gangguan habitat tikus karena proses budidaya padi, dan aktivitas pengendalian tikus oleh petani. Curah hujan tidak menyebabkan turunnya populasi tikus sawah. Peran pemangsa tikus relatif kecil dalam regulasi populasi tikus sawah di ekosistem sawah irigasi, karena keberadaan jenis pemangsa tikus sangat jarang ditemukan. Prevalensi infeksi cacing hati pada tikus sawah tinggi, tetapi tidak menyebabkan kematian tikus sawah secara langsung (Sudarmaji, 2004).
3. Komponen Teknologi Pengendalian
Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya menekan tingkat populasi tikus pada tingkat serendah mungkin melalui berbagai cara dan teknologi pengendalian. Teknologi pengendalian yang tersedia sampai saat ini berasal dari hasil penelitian para pakar di bidang hama tikus, dan dari kearifan lokal petani yang telah lama digunakan secara turun temurun. Teknologi yang telah tersedia sampai saat ini sebenarnya telah dapat diandalkan dan efektif untuk pengendalian tikus apabila diterapkan sesuai rekomendasi dengan pelaksanaan secara benar.
Efektifitas hasil pengendalian tikus selain ditentukan oleh pemilihan teknologi yang tepat, juga ditentukan oleh ketepatan dalam pemilihan waktu pengendalian, sasaran habitat yang dikendalikan dan kekompakan petani untuk melaksanakan pengendalian tikus secara bersama-sama. Beberapa komponen teknologi pengendalian dan metoda pengendalian yang tersedia sampai saat ini disajikan dalam tulisan ini.
3.1  Sanitasi Lingkungan dan Manipulasi Habitat
Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan untuk menjadikan lingkungan sawah menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus. Kegiatan sanitasi antara lain melakukan pembersihan tanaman perdu atau gulma yang berada di areal pertanaman padi dan sekitarnya, seperti di daerah pematang sawah, tanggul saluran irigasi dan jalan sawah, dengan tujuan agar tikus tidak bersarang di habitat tersebut. Tikus akan tidak nyaman dan takut menghuni daerah yang bersih, terang dan terbuka karena akan mudah dimangsa predator.
Tikus sawah pada umumnya menyukai habitat pematang sawah atau tanggul irigasi yang tinggi dan lebar. Pematang sawah dianjurkan dibuat rendah kira-kira tinggi kurang dari 30 cm, agar pematang tersebut tidak digunakan tikus bersarang dan berkembangbiak (Lam, 1993). Sanitasi dan manipulasi habitat akan menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan alternatif terutama pada periode bera, sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut (Sudarmaji, 2004).
3.2  Kultur Teknis
Pengelolaan budi daya tanaman padi dapat menunjang pengendalian tikus apabila dilakukan usaha bersama diantara petani atau kelompok tani dalam suatu hamparan luas atau sekurang-kurangnya tingkat desa. Pengaturan pola tanam bertujuan untuk membatasi ketersedian pakan tikus yaitu padi, guna membatasi perkembangbiakan tikus sawah di lapangan. Tikus sawah hanya akan berkembangbiak pada saat terdapat stadium padi generatif. Pola tanam padi-palawija atau bera setelah menanam padi akan dapat membatasi bahkan meng­hentikan aktifitas reproduksi tikus sawah. Nutrisi dari tanaman palawija diperkirakan kurang cocok bagi metabolisme tikus sawah untuk perkembangbiakannya dibandingkan dengan nutrisi yang tersedia pada padi. Pada pola tanam padi dua kali setahun diikuti masa bera panjang musim kemarau (padi-padi-bera) akan menyebabkan tikus kehilangan sumber pakan pada periode bera dan akan terjadi perpindahan tikus atau migrasi ke tempat lain atau mati karena kekurangan pakan.
Pengaturan waktu tanam dilakukan dengan mengatur waktu tanam dan varietas yang sama pada areal yang luas atau hamparan padi. Apabila terpaksa varietas yang digunakan dalam satu hamparan tersebut berbeda, diusahakan agar waktu stadium generatif padi dapat serempak, atau tidak lebih dari dua minggu. Tujuan pengaturan waktu tanam adalah agar periode generatif padi bersamaan waktunya. Apabila periode padi generatif berbeda waktunya, maka tanaman padi yang bunting lebih awal akan mendapat serangan tikus paling berat dan kemungkinan dapat terjadi puso (gagal panen). Pertanaman padi yang tidak serempak akan menghasilkan periode padi generatif yang lebih panjang pada wilayah tersebut, sehingga periode perkembangbiakan tikus sawah juga menjadi lebih panjang. Hal tersebut dapat meningkatkan populasi tikus secara cepat. Oleh karena itu penanaman padi secara serempak pada skala luas dapat membatasi perkembangbiakan tikus dan mencegah konsentrasi serangan tikus pada tanaman padi yang bunting lebih awal.
Penanaman padi dengan jarak tanam lebih longgar dari biasanya bertujuan untuk membuat lingkungan yang lebih terbuka sehingga kurang disukai tikus, seperti halnya cara tanam ‘legowo’. Tikus kurang menyukai tempat yang bersih atau terang karena akan merasa terancam oleh musuh alaminya terutama predator. Tipe serangan tikus yang selalu dimulai dari tengah petak sawah dan menyisakan pada daerah dekat pematang adalah ciri khas perilaku tikus yang tidak menyukai kondisi terang.
3.3 Pengendalian Secara Fisik
Pengendalian secara fisik yaitu mengubah lingkungan fisik agar menyebabkan kematian tikus. Tikus mempunyai batas toleransi terhadap beberapa faktor fisik seperti suhu, cahaya, air, dan suara. Tujuan pengendalian dengan cara ini adalah mengubah faktor lingkungan fisik menjadi tidak sesuai untuk kehidupan tikus sawah. Sedangkan pengendalian mekanis merupakan usaha untuk membunuh tikus secara langsung oleh manusia. Cara pengendalian ini cukup murah, mudah dan sederhana tetapi biasanya membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Beberapa contoh kegiatan pengendalian secara fisik dengan menggunakan berbagai peralatan adalah sebagai berikut:
3.3.1 Alat penyembur api (brender)
Alat tersebut bila digunakan dapat menyemburkan api dan udara panas ke dalam sarang tikus. Suhu di dalam sarang tikus akan meningkat sehingga dapat mengusir tikus dari dalam sarang atau bahkan membunuhnya.  Alat ini juga dapat dipakai untuk membakar belerang di mulut lubang sarang tikus, sehingga hembusan asap belerang akan meracuni tikus dan menyebabkan tikus mati di dalam sarang.
3.3.2 Penggunaan sinar lampu
Sinar lampu dapat digunakan sebagai alat untuk membantu dalam kegiatan menangkap tikus pada malam hari. Sinar lampu dengan intensitas tinggi yang mengenai mata tikus dapat menyebabkan tikus menjadi silau dan berhenti beraktifitas sejenak. Pada kondisi tersebut, tikus dapat dengan mudah untuk dipukul atau dibunuh. Petani biasanya menggunakan sinar lampu ini dari obor minyak tanah, lampu petromak atau lampu senter untuk memburu tikus sawah pada malam hari. Kegiatan ini dapat dilakukan karena tikus sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari atau nokturnal.
3.3.3 Memompa air atau lumpur ke dalam sarang tikus
Cara tersebut dapat dilakukan untuk mengusir tikus keluar dari sarang sehingga mudah untuk dibunuh atau tikus dapat mati di dalam sarang karena terjebak lumpur. Cara tersebut dapat dilakukan pada habitat-habitat utama tikus seperti tanggul irigasi, jalan sawah dan habitat lainnya. Waktu yang paling tepat untuk pelaksanaan metode ini adalah pada periode bera dan pengolahan tanah bersamaan dengan kegiatan gropyokan massal. Selain itu juga tepat dilakukan pada saat periode padi generatif ketika tikus sawah sedang beranak di dalam sarangnya.
3.3.4 Mengusir tikus dengan suara ultrasonik
Penggunaan suara ultrasonik pada frekuensi tertentu dapat memekakkan telinga tikus, sehingga  tikus menghindar ke tempat lain yang lebih aman. Oleh karena itu fungsi penggunaan alat ini hanya untuk mengusir tikus saja. Namun demikian alat yang ada (telah dikomersialkan) sampai saat ini masih sangat terbatas jangkauan frekuensinya dan baru dapat digunakan di dalam ruangan dengan ukuran tertentu. Untuk penggunaan di lapangan terbuka masih belum tersedia peralatannya. Penggunaan alat tersebut pada umumnya dilakukan di dalam gudang penyimpanan bahan pangan untuk mengusir hama tikus. Mengusir tikus dengan bunyi-bunyian juga dapat dilakukan, tetapi jika suara itu telah menjadi suara yang rutin, maka  tikus sudah tidak merasa terganggu lagi.
3.3.5 Gropyokan massal (community actions)
Metode gropyokan massal merupakan salah satu cara pengendalian tikus yang murah dan efektif yang biasa dilakukan oleh petani di berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan secara bersama-sama dengan cara membongkar sarang tikus pada habitat utama, memburu, dan membunuh tikus yang ada. Di beberapa daerah hasil gropyokan tikus ini setiap ekor ditukar dengan uang oleh pemerintah daerah, yang besarnya bervariasi antara 500 rupiah hingga 2.500 rupiah per ekor, dan cara ini disebut “bounty system” (Sudarmaji, 2004). Waktu kegiatan gropyokan massal yang tepat adalah menjelang tanam (pengolahan tanah). Pada periode tersebut untuk memburu tikus relatif lebih mudah karena tidak ada pertanaman padi yang dapat digunakan tikus untuk bersembunyi. Penggalian sarang tikus menyebabkan tikus  keluar dari sarang sehingga dapat mudah ditangkap. Di beberapa daerah untuk menangkap tikus dari hasil penggalian ini digunakan  bantuan anjing pemburu yang telah terlatih.
Kegiatan gropyokan massal ini telah terbukti dapat menurunkan populasi tikus secara nyata dengan banyaknya tangkapan yang diperoleh dalam suatu kegiatan gropyokan massal. Sebagai contoh kegiatan gropyokan missal yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Tirtamulya, Karawang, Jawa Barat pada musim tanam padi 2008 diperoleh total tangkapan 20.710 ekor tikus (Tabel 2).
Kegiatan gropyokan ini apabila dilakukan secara massal, luas dan berkelanjutan akan merupakan kunci utama untuk menurunkan populasi tikus secara dini pada awal tanam, dan menentukan keberhasilan pengendalian tikus dalam satu musim tanam padi dari serangan hama tikus sawah.
Tabel 2. Hasil tangkapan tikus kegiatan gropyokan massal di Kecamatan Tirtamulya  Karawang, Jawa Barat pada kegiatan MT-I 2008

3.3.6 Pemerangkapan (trapping)
Beberapa jenis perangkap dapat digunakan untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup dan mati. Jenis perangkap dapat berupa multiple live capture trap atau singgle trap dengan umpan pakan tikus di dalamnya. Umpan dapat digunakan dari jenis biji-bijian dengan pemerangkapan dilakukan pada periode bera dan stadium awal padi vegetatif. Sedangkan pemerangkapan pada periode padi generatif, umpan yang digunakan dari bahan yang mengandung protein tinggi seperti yuyu bakar atau jenis ikan kering lainnya. Pemerangkapan ini biasanya hanya efektif apabila dilakukan pada kondisi lahan sawah tidak banyak tersedia pakan tikus alternatif. Jenis perangkap tikus lainnya adalah snap trap yaitu perangkap yang apabila mengenai sasaran tikus, maka tikus akan terjepit dan mati ditempat. Perangkap model ini banyak digunakan di lokasi perumahan untuk menangkap jenis tikus rumah.
3.3.7 Sistem bubu perangkap linier (linier trap barrier system atau LTBS)
Alat ini pertama kali di gunakan pada tahun 1995 di Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Pada awalnya LTBS digunakan untuk menangkap tikus sawah (trapping) untuk sampel tikus hidup guna keperluan penelitian (Leung dan Sudarmaji, 1999), dan pada waktu itu tidak ada metode lain yang efektif untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup pada semua stadium padi. Berdasarkan hasil pengujian, LTBS terbukti  efektif dan mudah digunakan untuk menangkap tikus sawah. Oleh karena itu, selanjutnya LTBS direkomendasikan sebagai komponen teknologi utama untuk pengendalian tikus sawah.
Linier trap barrier system (LTBS) dirancang untuk menangkap tikus di daerah sarang/habitat tikus, ketika melakukan pergerakan keluar sarang untuk beraktifitas pada malam hari. Linier trap barrier system (LTBS) juga cocok untuk menangkap tikus yang sedang migrasi (melakukan perpindahan secara massal). Alat ini dirancang mudah dipasang dan dibongkar untuk dapat dipindah-pindahkan ke tempat lain yang diperlukan LTBS; terdiri dari pagar plastik, bubu perangkap, penyangga ajir bambu dan tanpa menggunakan tanaman perangkap atau umpan (Gambar 5) (Sudarmaji dan Anggara, 2006).

Penggunaan LTBS untuk pengendalian tikus pada daerah dekat habitat sebaiknya dipasang diantara pertanaman padi dan habitat, dimana tikus akan menuju ke arah tanaman padi pada malam hari. Corong masuk bubu perangkap sebaiknya diarahkan ke habitat atau sesuai arah datangnya tikus. Corong bubu juga dapat diarahkan berseling apabila menginginkan tangkapan tikus dari kedua arah. Pemasangan dapat dilakukan selama satu minggu atau sampai tidak ada tangkapan tikus lagi, kemudian dibongkar dan dapat dipindahkan ketempat lain. Pengambilan tangkapan tikus dilakukan setiap pagi hari. Alat ini  juga dapat dipasang untuk mengatasi migrasi tikus terutama pada daerah atau blok yang mempunyai perbedaan waktu tanam atau panen dengan blok lainnya.
3.3.8  Sistem bubu perangkap (trap barrier system atau TBS)
Sistem bubu perangkap (TBS) merupakan unit alat untuk menangkap tikus, terdiri dari tiga komponen utama yaitu bubu perangkap tikus yang berfungsi sebagai jebakan dan pengumpul tikus, pagar plastik berfungsi mengarahkan tikus masuk ke dalam bubu perangkap, dan tanaman perangkap berfungsi sebagai penarik (attractant) agar tikus bergerak ke lahan penangkapan TBS (Sudarmaji dkk., 2007).
Berdasarkan hasil penelitian, ukuran petak tanaman perangkap sangat menentukan tingkat wilayah tikus tertangkap (halo effect) terhadap pertanaman disekitarnya. Makin besar ukuran petak tanaman perangkap makin besar jumlah tangkapan tikus dan luas halo effect yang ditimbulkannya tetapi juga memerlukan biaya lebih banyak (Singleton et al., 2003). Halo effect adalah luasan pertanaman bebas tikus sebagai pengaruh TBS terhadap perlindungan serangan tikus di sekelilingnya. Hal tersebut dapat terjadi karena tikus disekitar TBS tertarik menuju tanaman perangkap dan terperangkap oleh bubu perangkap. Akibatnya populasi tikus disekitar TBS rendah. Hasil penelitian membuktikan bahwa unit TBS berukuran  50mx50m dapat melindungi tanaman padi disekitarnya seluas 10–15 ha (Singleton et al., 2003). Hasil tersebut juga diperkuat melalui hasil penelitian daya jelajah tikus yang dipantau dengan “radio tracking” untuk melihat pergerakan tikus menuju tanaman perangkap (Brown et al., 2001). Skema TBS disajikan dalam Gambar 6 sebagai berikut.

Keunggulan teknologi TBS adalah efektif menangkap tikus dalam jumlah besar dan terus-meneus di daerah endemis tikus serta dapat digunakan sebagai indikator adanya migrasi tikus sawah. TBS dapat menghemat tenaga karena hanya sekali memasang untuk sepanjang musim tanam dan ramah lingkungan karena tanpa menggunakan umpan rodentisida. Singleton et al. (2005),  telah membuktikan keuntungan penggunaan TBS untuk pengendalian tikus di Karawang, Jawa Barat dengan benefit-cost ratio 25:1. Teknologi TBS merupakan teknologi sederhana yang mudah dipahami dan dapat dipraktekkan oleh petani. Hasil penelitian Sudarmaji dan Anggara (2006), menunjukkan bahwa total tangkapan tikus sawah pada 16 TBS yang dipasang selama 4 musim tanam padi mencapai 15.991 ekor. Tangkapan tersebut terdiri dari 7.765 ekor dari hasil tangkapan pada periode MH dan 8.226 ekor dari periode MK (Gambar 7).

Tikus yang tertangkap masih dalam keadaan hidup sehingga dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan lain, misalnya pakan ikan, itik dan lainnya. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemantauan rutin untuk pengambilan tangkapan tikus setiap hari, dan harus tetap mempertahankan kualitas TBS (pagar plastik tidak berlubang). Penempatan tanaman perangkap yang ditanam 21 hari lebih awal dari umur padi disekitarnya dapat menyulitkan petani, serta memerlukan modal awal pembuatan TBS. Konsep penggunaan TBS agar efisien,  pengelolaannya harus dilakukan pada skala kelompok tani. Jenis TBS dengan tanaman perangkap yaitu TBS dengan tanam perangkap tanam awal, tanam akhir, dan pesemaian.
Rekomendasi penggunaan TBS dengan tanaman perangkap diprioritaskan untuk diterapkan pada daerah endemik tikus dengan populasi tinggi terutama pada musim kemarau. Pengelolaan TBS sebaiknya dilakukan secara kelompok pada suatu hamparan, baik pemeliharaan maupun pembiayaannya. Teknologi TBS merupakan salah satu komponen teknologi pengendalian tikus yang pelaksanaannya harus dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lain.
3.4  Pemanfaatan Musuh Alami
Pada ekosistem sawah irigasi, musuh alami tikus sawah jarang ditemukan, sehingga diperkirakan peran musuh alami dalam regulasi populasi tikus sawah pada ekosistem sawah irigasi relatif kecil. Musuh alami tikus diperkirakan banyak terdapat di daerah-daerah sawah yang berbatasan dengan hutan atau di daerah dengan ekosistem yang tidak terganggu oleh manusia.
Musuh alami jenis pemangsa tikus sawah pada umumnya berasal dari kelompok burung, mamalia dan reptilia. Pemangsa dari kelompok burung antara lain Tito alba javanica (burung hantu putih), Bubo ketupu (burung hantu cokelat) dan Nyctitorac nyctitorac (burung kowak maling). Pemangsa dari kelompok mamalia yaitu Verricula malaccensis (musang bulan atau rase), Herpestes javanicus (garangan), Felis catus (kucing) dan Canis familiaris (anjing).  Diantara jenis dari kelompok reptilia adalah Ptyas koros (ular tikus), Naja naja (ular kobra), Trimeresurus hagleri (ular hijau), dan Phyton reticulatus (ular sanca) (Priyambodo, 1995).
Pemangsa terbaik tikus sawah adalah burung hantu. Hal tersebut disebabkan karena burung hantu mempunyai laju fisiologis yang besar sehingga mampu  mengkonsumsi  tikus  dalam  jumlah  banyak. Pemangsa jenis burung juga mempunyai kemampuan mencari mangsanya lebih baik dibandingkan jenis pemangsa lain. Walaupun demikian, burung hantu memerlukan habitat yang sesuai seperti daerah perkebunan, pegunungan atau perkampungan. Sedangkan pada daerah sawah irigasi yang luas dan terbuka, burung hantu kurang cocok berdomisili di daerah tersebut. Cara yang paling mudah untuk mengoptimalkan peran predator tikus adalah dengan memberikan lingkungan yang cocok dan melindungi predator tikus tersebut.
Endoparasit tikus sawah telah diteliti dan ternyata tikus sawah terinfeksi berbagai jenis cacing di dalam organ dalamnya, tetapi tidak dapat menimbulkan kematian secara langsung (Herawati dan Sudarmaji, 2003). Penggunaan patogen  antara lain bakteri salmonella telah dikembangkan sebagai bentuk umpan tikus di beberapa negara. Di Vietnam digunakan jenis rodentisida dengan bahan aktif bakteri salmonella dengan nama BIORAT, tetapi umpan rodentisida tersebut juga membahayakan kesehatan manusia. Di Australia telah dikembangkan metode pemandulan (imunocontracepsi) pada kelinci dan  mencit dengan suatu jenis virus spesifik. Penelitian serupa untuk pengendalian tikus di Indonesia masih dalam tahap identifikasi jenis virus spesifik sebagai agen pemandul pada tikus sawah.
3.5  Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi merupakan pengendalian dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat membunuh tikus atau dapat menganggu aktivitas tikus, baik aktivitas untuk makan, minum, mencari pasangan maupun reproduksi. Secara umum pengendalian dengan cara kimiawi dibedakan menjadi empat jenis yaitu umpan beracun, bahan fumigasi, bahan kimia repellent dan bahan kimia antifertilitas.
3.5.1  Rodentisida

Rodentisida atau umpan racun merupakan teknologi pengendalian yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh petani untuk membunuh tikus sawah. Rodentisida yang dipasarkan pada umumnya dalam bentuk siap pakai, atau mencampur sendiri dengan bahan umpan. Rodentisida digolongkan menjadi racun akut dan antikoagulan. Racun akut dapat membunuh tikus langsung ditempat setelah makan umpan, sehingga dapat menyebabkan tikus jera. Sedangkan rodentisida antikoagulan akan menyebabkan tikus mati setelah lima hari memakan umpan dengan dosis yang cukup sehingga tidak menyebabkan jera umpan. Namun demikian jenis rodentisida anticoaglan mempunyai efek sekunder negatif terhadap predator tikus.

Keberhasilan pengumpanan rodentisida sangat dipengaruhi oleh waktu pengumpanan, jenis umpan dan penempatannya. Waktu yang tepat untuk pengumpanan adalah ketika dilapangan sudah tidak ada lagi pakan padi (bera) sampai padi vegetatif. Pada periode padi generatif tikus sawah lebih sulit diumpan dengan rodentisida, karena lebih tertarik dengan tanaman padi yang ada. Penggunaan rodentisida untuk pengendalian tikus sebaiknya merupakan alternatif terakhir, karena  sifatnya yang dapat mencemari lingkungan. Teknik aplikasinya harus tepat dan sesuai dosis anjuran agar mendapatkan hasil yang maksimal.

3.5.2 Fumigasi
Bahan fumigan yang sering digunakan oleh petani sampai saat ini adalah asap belerang dan karbit. Penggunaan emposan asap belerang merupakan cara pengendalian tikus yang efektif, mudah diaplikasikan dengan biaya murah. Teknik tersebut merupakan teknik untuk membunuh tikus sawah di dalam sarang dan dapat dilakukan kapan saja atau pada periode bera dan saat pertanaman padi. Namun demikian fumigasi dengan cara pengemposan yang paling efektif adalah dilakukan pada saat padi generatif, yaitu ketika tikus sawah sedang beranak di dalam sarang. Teknik tersebut dapat membunuh anak tikus bersama induknya di dalam sarang (Sudarmaji, 2004).
Cara fumigasi yang tepat adalah memasukkan cukup asap belerang kedalam lubang sarang tikus, kemudian semua lubang keluar yang ada ditutup dan tidak perlu dilakukan penggalian. Penggalian sarang setelah fumigasi merupakan kegiatan yang tidak efisien karena memerlukan banyak waktu dan tenaga hanya untuk membuktikan bahwa tikus yang difumigasi benar-benar mati. Jenis fumigasi lainnya yang dapat dipakai adalah “tiram”, suatu cara fumigasi menggunakan teknik asap kembang api dengan bahan aktif belerang. Tiram dimasukkan ke dalam sarang tikus dan dinyalakan sumbunya, maka asap belerang akan keluar dan dapat membunuh tikus. Selain itu juga dapat digunakan fumigan untuk hama gudang seperti Phostoxin, Detia dan lainnya.
3.5.3  Repellant
Repellent adalah bahan untuk menolak atau membuat tikus tidak nyaman berada di daerah yang dikendalikan. Penggunaan repellent di lapangan untuk mencegah/mengusir tikus sawah masih jarang digunakan, karena hanya bersifat mengusir dan tidak membunuh tikus. Beberapa bahan alami nabati seperti akar wangi diduga mempunyai efek repellent terhadap tikus, namun masih diperlukan penelitian yang lebih intensif.
3.5.4  Antifertilitas
Cara pemandulan tikus baik untuk tikus jantan maupun tikus betina dapat digunakan untuk pengendalian tikus. Cara tersebut mempunyai prospek baik karena tikus sawah mempunyai perkembangbiakan yang cepat dan jumlah anak yang banyak dalam setiap kelahiran. Beberapa jenis bahan kimia yang digunakan untuk pemandulan manusia juga dapat digunakan untuk memandulkan tikus sawah.
Kesulitan dalam penggunaan bahan antifertilitas dilapangan pada umumnya menyangkut dosis umpan yang dikonsumsi tikus sawah kurang cukup (subdosis) sehingga tikus yang meng­konsumsi bahan antifertilitas tersebut tidak efektif menjadi mandul. Ekstrak minyak biji jarak (Richinus communis) telah diteliti juga dapat digunakan sebagai rodentisida dan anti­fertilitas nabati pada dosis sublethal. Perlakuan dosis sublethal secara oral dapat menurunkan produksi sperma tikus jantan hingga 90% dan kemandulan pada tikus betina.
4. Strategi Pengendalian

Pengendalian tikus sawah dilakukan dengan pendekatan yang sangat berbeda dengan pengendalian untuk hama padi lainnya. Pengendalian hama tikus dilakukan dengan pendekatan pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) yaitu pengendalian tikus yang di dasarkan pada pemahaman ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinir dengan cakupan sasaran pengendalian dalam skala luas.

Strategi pengendalian tikus sawah terutama harus dilakukan pada saat populasi tikus masih rendah dan mudah pelaksanaannya yaitu pada periode awal tanam, dengan sasaran menurunkan populasi tikus betina dewasa sebelum terjadi perkembangbiakan. Membunuh satu ekor tikus betina dewasa pada awal tanam, setara dengan membunuh 80 ekor tikus setelah terjadi perkembangbiakan pada saat setelah panen (Sudarmaji dkk., 2005).
Penurunan tingkat populasi pada awal tanam (dini) adalah sangat penting karena menentukan keberhasilan pengendalian tikus sepanjang musim tanam. Disamping itu pengendalian tikus yang dilakukan ketika tanaman padi telah tinggi (canopinya telah menutup) akan lebih sulit, karena sebagian tikus sudah berada di tengah pertanaman padi. Pada periode bera, tikus berada pada berbagai habitat disekitar persawahan seperti tanggul irigasi, pematang besar, jalan sawah, anak sungai, pinggiran desa dan lain-lain. Oleh karena itu, tindakan pengendalian dini ditujukan pada habitat-habitat tikus tersebut.
Pengendalian pada saat bera dan persiapan pengolahan tanah, dapat dilakukan dengan cara gropyokan dan tindakan sanitasi habitat tikus yaitu di tepi kampung, tanggul-tanggul irigasi, pematang besar, jalan sawah, pinggiran anak sungai dan lainnya. Sebaiknya dilakukan usaha mengubah habitat tikus yang ada di lingkungan persawahan menjadi habitat yang tidak disukai tikus sebagai tempat berlindung dan bersarang. Usaha tersebut  merupakan salah satu cara pengendalian tikus yang efektif untuk jangka panjang. Gropyokan dapat dilakukan dengan cara empos-gali, memompa air ke dalam sarang tikus, dan cara-cara lain. Pengumpanan rodentisida hanya direkomen­dasi­kan apabila populasi tikus sangat tinggi untuk menurunkan tingkat populasi segera pada periode sebelum tanam.
Pada periode pesemaian, gropyokan massal (berburu tikus) masih harus terus dilakukan. Pemagaran persemaian dengan plastik dan pemasangan bubu perangkap perlu dilakukan. Hal tersebut selain dapat mengamankan pesemaian juga dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut. Pesemaian sebaiknya dibuat sebagai pesemaian kelompok sehingga akan lebih memudahkan pengelolaan.
Menyiapkan dan memasang TBS dengan tanaman perangkap harus sudah direncanakan dan dipersiapkan sejak awal, khususnya penanaman tanaman perangkap. Ketika petani pada hamparan tersebut menyemai padi, tanaman perangkap harus sudah ditanam dan sekaligus memasang pagar plastik serta perangkap bubunya. Persemaian untuk tanaman perangkap harus dipersiapkan lebih awal  yaitu tiga minggu dari waktu semai petani di hamparan tersebut. Sistem perangkap bubu tersebut akan efektif menarik dan memerangkap tikus dari periode pengolahan tanah hingga panen. Tangkapan tikus pada perangkap bubu akan tinggi pada waktu TBS mulai dipasang dan di sekitarnya masih bera/pengolahan tanah serta pada saat tanaman perangkap telah bunting/malai dimana tanaman sekitarnya masih stadium vegetatif.
Pengendalian tikus harus mencakup target areal yang luas dengan memperhatikan habitat perlindungan tikus (refuge habitats) pada saat bera di luar daerah persawahan. Habitat tersebut merupakan sumber infestasi tikus sawah pada saat ada pertanaman padi. Sebaiknya dilakukan pemasangan LTBS di daerah tepi kampung untuk menangkap tikus yang akan kembali ke sawah. Mengatur waktu tanam dan panen serempak, mempertahankan adanya periode bera, sanitasi ratun padi dan gulma, merupakan usaha yang perlu dilakukan oleh petani untuk menghambat laju populasi tikus sawah. Pengendalian tikus pada stadium padi generatif sebaiknya ditujukan pada habitat tanggul irigasi yang merupakan habitat utama tempat tikus berkembangbiak. Cara fumigasi merupakan metode pengendali­an yang efektif pada periode perkembangbiakan tikus karena dapat membunuh induk dan anak-anaknya di dalam sarang.
Kunci sukses pengendalian hama tikus terpadu adalah adanya partisipasi semua petani dan dilakukan secara berkelanjutan serta terkoordinir dengan baik. Pengendalian tikus yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri tidak akan mendapatkan hasil yang efektif. Hal tersebut disebabkan oleh mobilitas tikus sawah yang tinggi, sehingga daerah yang telah dikendalikan akan segera terisi oleh tikus yang berasal dari daerah sekitarnya (ekologi kompensasi).
Organisasi pengendalian hama tikus sawah di tingkat desa sebaiknya beranggotakan seluruh petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani dalam suatu hamparan atau tingkat desa. Pelaksanaan pengendalian oleh  kelompok tani tersebut dikoordinir oleh aparat desa setempat (kepala desa) dan digerakkan oleh PPL setempat. Pada tingkat yang lebih tinggi peran camat, bupati atau gubernur sebagai pemegang komando gerakan pengendalian tikus sangat penting dan menentukan.
 
Lampu Perangkap ( Light Trap ): Monitoring Sekaligus Sebagai Pengendali Serangga
Lampu Perangkap ( Light Trap ):
Monitoring Sekaligus Sebagai Pengendali Serangga

Lampu perangkap merupakan suatu unit alat untuk menangkap atau menarik serangga. Berfungsi untuk mengetahui keberadaan atau jumlah populasi serangga di lahan pertanian. Serangga yang tertangkap adalah serangga-serangga yang tertarik cahaya pada waktu malam hari. Beberapa jenis Perangkap untuk serangga adalah lampu perangkap ( light trap ), yellowpan trap, airnet trap, dan pitfall. Pemilihan jenis perangkap yang akan digunakan tergantung dari kondisi dan tujuan yang ingin diketahui.
Light trap rancangan Baehaki (2010) seperti pada gambar 1.  Kompenen - komponen utama yaitu lampu, corong dan kantong plastik serta rangka beratap.  Lampu (minimal 100watt) berfungsi untuk menarik serangga-serangga pada waktu malam hari, corong merupakan tempat masuknya serangga, kantong plastik berfungsi untuk  menampung serangga-serangga yang tertangkap/terperangkap, sedangkan rangka beratap fungsinya untuk melindungi lampu dan hasil tangkapan terutama  dari hujan. Lampu perangkap diletakkan di dalam lahan sawah (lahan pertanian) di pinggir pematang. Letak bisa disesuaikan dengan kondisi tempat, karena alat ini menggunakan lampu sehingga memerlukan sumber aliran listrik.  Satu unit lampu perangkap sebagai monitoring dapat digunakan untuk luasan 300-500 ha, sedangkan untuk pengendalian seluas 50 ha. Lampu dinyalakan setiap hari mulai dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi, hasil tangkapan diambil setiap pagi kemudian diamati jenis dan jumlah serangga yang tertangkap.
Lampu perangkap ini berfungsi untuk monitoring sekaligus juga pengendalian. Sebagai deteksi dini wereng coklat imigran dan Ngengat penggerek batang padi sehingga dapat mengetahui datangnya hama imigran dan puncak tangkapan populasi suatu hama. Rekomendasi waktu semai atau tanam adalah 15 hari setelah puncak hasil tangkapan. Untuk pengendalian penggerek batang padi, 4 hari setelah adanya penerbangan (hasil tangkapan) dilakukan penyemprotan insektisida. Pada saat kondisi lahan sedang bera atau pengolahan tanah, lampu perangkap digunakan terus untuk memantau perkembangan populasi serangga hama terutama wereng coklat dan penggerek batang. Serangga-serangga yang dapat tertangkap antara lain wereng coklat (dewasa makroptera), Ngengat penggerek batang padi, orong-orong (anjing tanah), kepinding tanah (Scotinophara coarctata ), Coccinella Sp, Paederus Sp, Ophionea Sp dll. Pada saat populasi tinggi, lampu perangkap di BB Padi Sukamandi dapat menangkap wereng coklat 376 ribu ekor /malam/unit, Ngengat penggerek batang padi kuning 12 ribu ekor/malam/unit dan kepinding tanah 146 ribu ekor/malam/unit. Serangga-serangga hama yang terperangkap setelah diamati kemudian dimusnahkan sedangkan serangga-serangga musuh alami seperti kumbang Coccinella, Paederus Sp, Ophionea SP dll dapat dilepaskan kembali ke lahan. (Eko, BB Padi).

Bagi yang membutuhkan lampu perangkap tersebut, dapat segera menghubungi BB Padi.
Gambar 1. Light Trap Rancangan Baehaki (2010)
 

No comments:

Post a Comment